Senin, 29 Juni 2009

Bayi Kembar siam di Muaraenim

Bayi Kembar Siam Lahir di Muaraenim

Palembang:


Bayi kembar siam dari pasangan Edi Irawan (28), dan Aprianti (25) lahir di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) HM Rabain, Muaraenim melalui operasi cesar, Senin (29/6).

Proses persalinan bayi laki-laki dengan berat 5 kg itu berlangsung lancar dibantu dr Heri Wardani SpOg. Kondisi bayi kembar siam tersebut sehat.

Karena keterbatasan peralatan, pihak RSUD HM Rabain Muaraenim merujuk bayi kembar tersebut ke Rumah Sakit Muhammad Hoesin (RSMH) Palembang untuk dilakukan pemisahan tubuh kedua bayi mungil tersebut. Bayi kembar siam tersebut dirujuk ke Palembang ditemani kedua orangtua dan keluarganya.

Aprianti, warga Kemayoran Kelurahan Pasar 1,Muaraenim masuk ke RSUD HM Rabain, Jumat (26/6) lalu untuk pemeriksaan kehamilannya di ruang poli. Dia lalu dirujuk ke sal kebidanan karena sudah waktunya untuk melahirkan. Sempat dirawat beberapa hari, kemarin, Aprianti melahirkan anak ketiganya dengan kondisi kembar siam.

Dokter Spesialis Heri membenarkan bahwa bayi kembar siam tersebut dirujuk ke RSMH Palembang untuk diupayakan pemisahan.

”Kami akan terus melakukan upaya pemisahan keduanya. Sebab meskipun kondisi terakhir kedua bayi tersebut sehat dan normal, keduanya masih berdempetan, ”ujarnya. Untuk diagnosa lanjutan menurut dia pihaknya akan terus melakukan pemeriksaan melalui rongent dan berkoordinasi dengan pihak RSMH Palembang.
Sebelumnya, tahun 2006 pernah lahir bayi kembar siam putrid pasangan Yunus dan Herdiana. Bayi yang diberi nama Yesa dan Yesi ini, akhirnya meninggal setelah sempat dilakukan pemisahan di RSCM Jakarta. (sir)

Sabtu, 20 Juni 2009

Bahasa Daerah

" Bahasa Daerah yang Kurang Menggoda "



Koran Jakarta, Selasa, 09 Juni 2009 01:29 WIB
Posting by : warso

http://www.koran-jakarta.com/ver02/detail-news.php?id=10069



Jangan terkejut bila bahasa daerah akhirnya akan punah semua. Bila metode belajar yang membosankan dan ketiadaan kebijakan vitalisasi etnolinguistik masih terus berlangsung.

Jangan terkejut bila bahasa daerah akhirnya akan punah semua. Bila metode belajar yang membosankan dan ketiadaan kebijakan vitalisasi etnolinguistik masih terus berlangsung.

“Kalau suka sama cowok, masa smsnya: Mas, aku tresno kowe. Norak kalee!” kata Monica Ajeng Dea, siswi kelas SMP 6 Yogyakarta. Komentar itu juga langsung ditimpali Valensia Putri, teman satu tingkat di bawah Dea. “Cape deh.”

Dea dan Valensia adalah secuil wajah kaum muda yang apatis terhadap bahasa daerah. Mereka yang notabene lahir dari keluarga Jawa, justru menganggap bahasa Jawa kurang seksi, lugas, dan modern. Bahasa Jawa dirasa kurang artikulatif untuk seluruh perasaan-perasaan dan kehidupan mereka. Bagi Dea dan Valensia, bahasa Inggris malah lebih penting. Sebab bisa menjadi ukuran mencari sekolah nomor wahid atau mendukung untuk mendapatkan karier yang bagus. “Memang ada sekolah bagus atau karier bagus yang menyaratkan kemampuan bahasa Jawa?” ujar Valensia balik bertanya.

Eksistensi bahasa daerah terancam pudar. Padahal, upaya membumikan kembali bahasa daerah, khususnya pada siswa sekolah, telah digalang sejak 2004. Bahasa daerah dijadikan pelajaran muatan lokal di SD dan SMP. Misalnya bahasa Sunda untuk siswa sekolah di wilayah Jawa Barat dan sekitarnya atau bahasa Jawa untuk siswa sekolah di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Begitu pula di wilayah lain di seluruh Indonesia.

Pada perkembangannya, muatan lokal mulai tergerus. Dari pantauan Koran Jakarta, selain di Yogyakarta, beberapa SD di Palembang, Sumatra Selatan, juga mengalami hal yang sama. Bahkan ada kebijakan sekolah yang menghilangkan bahasa daerah sebagai pelajaran muatan lokal. Kemudian menggantinya dengan pelajaran bahasa Inggris atau melukis.

“Kami sudah tidak mengajarkan bahasa daerah lagi, tapi menggantinya dengan bahasa Inggris,” ujar Murni, Kepala Sekolah SD Negeri 187, Kecamatan Kemuning, Palembang, Sumatra Selatan. Untuk diketahui, perpustakaan SMP 6, Yogyakarta, lebih memilih berlangganan koran Sunday Times. Sedangkan Jaka Lodang, majalah berbahasa Jawa yang cukup terkenal di kota itu dan kadang dijadikan materi pendukung belajar bahasa Jawa, tidak ada sama sekali.

Peniadaan bahasa daerah di sekolahnya, menurut Murni, karena beberapa alasan. Pertama, bahasa Inggris dinilai lebih pas untuk sekolah yang berada di wilayah perkotaan. Hal itu untuk menyesuaikan dengan tuntutan lingkungan. Kedua, Sumatra Selatan memiliki 350 lebih bahasa daerah yang tersebar tiap kabupaten dan kota. Bahkan, setiap kelurahan memunyai lima bahasa daerah atau lebih. Misalnya bahasa Lematang di Kabupaten Lahat, Sekayu, di Kabupaten Musi Banyuasi, Komering dan Kayuagung di Komering, dan masih banyak lagi. Sedangkan murid di SD Negeri 187 berasal dari berbagai daerah di Sumatra Selatan. “Jadi agak sulit, murid mau diberikan bahasa daerah yang mana? Pun, Dinas Pendidikan tidak mengeluarkan kulikulum khusus bahasa daerah. Jadi, lebih baik kami memberikan bahasa Inggris karena lebih bermanfaat untuk siswa,” jelas dia. Selain itu, mencari guru bahasa daerah di Palembang lebih sulit ketimbang mencari guru bahasa Inggris.

Vitalisasi Etnolinguistik
Soal itu, Muhammad Nasir, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa Indonesia dari Universitas PGRI Palembang mengatakan penyebab lunturnya bahasa daerah karena generasi muda lebih tertarik mempelajari bahasa asing. Sedangkan ketertarikan itu didorong faktor biaya dan keuntungan. “Orang rela belajar bahasa Inggris dengan biaya mahal karena ada keuntungan yang diperoleh kelak,”papar dia.

Maka perlu adanya upaya pembalikan pergeseran bahasa. Langkahnya tak cukup dengan pengajaran bahasa yang selama ini dilakukan di instansi-instansi pendidikan. Caranya dengan menumbuhkan kesadaran dan menjadikan bahasa tersebut sebagai alat komunikasi keseharian,” ujar Nasir.

Selain itu, juga diperlukan vitalisasi etnolinguistik. Bentuknya bisa menghidupkan kembali dan membiasakan berkomunikasi sehari-hari dengan bahasa daerah. Metode itu cukup berhasil di kalangan orang Ogan, Komering, dan Besemah di Sumatra Selatan yang masih setia menggunakan bahasa ibu. Berbeda dengan bahasa Uluan yang makin punah. “Metode vitalisasi etnolinguistik juga berhasil dalam menghidupkan dan melestarikan bahasa Ibrani di dunia,” tambah dia.

Artinya, kelestarian bahasa ibu (bahasa daerah) juga dimulai dari keluarga. “Hal itu terbukti dari keluarga-keluarga etnis Tionghoa yang menggunakan bahasa Hokian di keluarga mereka,” papar Sri Harti Widyasari, dosen Jurusan Bahasa Jawa Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Yogyakarta.



Salah Metode

Namun persoalan tampaknya tidak semudah itu. Tengok saja komentar Valensia yang mengaku tidak tertarik belajar bahasa daerah lantaran metode belajar pengajar yang dianggap tidak menarik. “Kami selalu dibiarkan untuk membaca buku pelajaran sendiri. Andai kami diceritakan hal-hal menarik, mungkin akan berbeda,” ujar dia yang mengaku sebenarnya ingin mendalami bahasa Jawa.

Soal kesalahan metode belajar itu juga dibuktikan Sri melalui penelitiannya belum lama ini. Bahwa berbahasa daerah akan lebih mengundang antusiasme kaum muda bila disajikan dalam bentuk kontekstual, bukan tekstual. “Konkretnya mengubah bentuk hapalan menjadi pembudayaan dan perilaku. Apalagi bahasa Jawa, termasuk juga bahasa daerah lainnya, memiliki unsur kearifan berperilaku,” ujar perempuan yang mengampu mata kuliah Apresiasi Budaya, Filologi Jawa, dan Sejarah Sastra Jawa itu.

Sayangnya, hal tersebut kurang disadari para pengajar. Di sisi lain, kemajuan teknologi dan globalisasi mempercepat memudarnya bahasa daerah di Tanah Air. “Apalagi anak-anak sekarang lebih takut bila tidak bisa segera menyerap bahasa TI, yang tentunya hanya berasal dari bahasa Indonesia atau Inggris,” tambah dia.
Fenomena itu, menurut Dendy Sugono, Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, menguatkan asumsi penyebab kepunahan bahasa daerah berasal dari aspek alami. “Jumlah penutur yang semakin berkurang karena malu menggunakan bahasa daerah ataupun menganggap bahasa daerah tidak gaul,” ujar dia. Aspek alami merupakan penyebab terbesar kepunahan bahasa daerah dibanding aspek non alami. Bentuk-bentuk lain aspek alami seperti keberadaan kawin campur dan perubahan jaman.

Sejauh ini, dari total 746 bahasa daerah di Nusantara, tercatat 300 di antaranya terancam punah. Bahasa-bahasa itu tersebar di wilayah Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Papua. Seperti bahasa Lom (Sumatra), bahasa Budong-budong, Dampal, Bahonsuai, dan Baras (Sulawesi), dan bahasa Lengilu, Punan Merah, serta Kareho Uheng (Kalimantan). Semua bahasa tersebut memiliki jumlah penutur kurang dari 200 orang. PL/YK/mer/L-4