Rabu, 04 Agustus 2010

SFC Fenomenal, Mulanya Sekedar Manfaatkan Fasilitas PON


Piala Indonesia yang diraih SFC diarak setibanya di Palembang Selasa (3/10).


Palembang:

Sriwijaya Football Club (SFC) benar-benar fenomenal dalam sejarah persepakbolaan di Indonesia. Berbagai rekor diciptakannya, mulai dari double winner (menyatukan piala copa dan liga Indonesia), dua kali juara copa berturut-turut. Dan terakhir menjadi tiga kali berturut-turut setelah menundukkan juara Super Liga Indonesia (SLI) 2010, Arema 2-1 di Manahan, Solo Minggu (1/8).

Itu yang positif. Yang negatifnya ternyata masih ada, rekor pemain yang menghajar suporternya sendiri. Dan kini kasusnya masih diproses di Pengadilan Negeri (PN) Palembang. Empat pemain SFC menjadi pesakitan, Christian Worabay, Isnan Ali, Charis Yulianto dan Amrizal.

Kalau dilirik sejarahnya, Gubernur Syahrial Oesman ketika itu tahun 2004 meng-take over Persijatim FC Solo yang kini menjadi Sriwijaya Footbal Club (SFC) hanyalah dengan tujuan memanfaatkan fasilitas pasca PON XVI di Sumsel. Nilai take over yang dilakukan dengan Muhmmad Zein saat itu adalah Rp 6 milyar.

Ketika itu, dalam musim kompetisi 2004, Persijatim masih menyisakan tiga pertandingan home di Solo, yakni melawan Persita Tangerang, Persikota dan Persib Bandung dan dua pertandingan di luar kandang, lawan Persija dan Pelita KS.
Beralih ke Palembang, pertandingan tersebut kemudian dilanjutkan Sriwijaya FC. Beberapa pelatih tercatat pernah menukangi kesebelasan ini, seperti Henk Wulems, Hery kiswanto, Suimin Diharja sampai kepada Rahmad Darmawan.

Kepindahan Persijatim ke Sumatera Selatan sebenarnya bukan yang pertama kali. Pada musim kompetisi 2003 Persijatim sempat pindah ground base ke Solo sehingga berganti nama menjadi Persijatim Solo FC. Pada musim 2000/2001 Persijatim juga pernah berganti nama menjadi Jakarta FC, mungkin sebagai brand untuk menyaingi Persija yang berada pada grup yang sama (barat). Kebiasan menggunakan tambahan FC berawal dari sini. Pada musim kompetisi berikutnya Jakarta FC dipindah ke grup timur dan kembali menggunakan nama Persijatim.

Ketika bernama Persijatim Solo FC pada musim kompetisi 2003, prestasi Persijatim bahkan lebih baik dari Persib Bandung yang harus menjalani relegation play off. Persebaya dan PSMS malahan masih berjuang di di divisi satu. Ketika itu divisi utama Ligina hanya terdiri dari satu grup berjumlah 20 klub (pemberlakuan Liga Super sebenarnya bukan barang baru). Namun prestasi tersebut tidak bisa dipertahankan pada musim berikutnya dan drop hingga posisi 14. Musim berikutnya, Persijatim dibeli oleh Gubernur Sumatera Selatan dan akhirnya mencetak sejarah sebagai kesebelasan pertama yang mengawinkan gelar Copa Indonesia dengan Ligina pada tahun 2008. Lalu kesebelasan yang ‘menguasai’ piala Copa dua tahun berturut-turut. Semuanya ketika kesebelasan ini ditangani Rahmad Darmawan. Manajernya, Amalsyah Tarmizi. Duo militer ini berhasil mengangkat pamor SFC.

Lalu, 2010 gelar bagi SFC bertambah lagi. Tiga kali juara Piala Indonesia (dulu Copa). Prestasi ini justru ketika Rahmad Darmawan akan meninggalkan kesebelasan ini karena SFC sudah mengantongi pelatih baru, Kolev.

Sempat Dikecam
Di awal kepindahannya ke Sumsel, SFC sempat dikecam. Bahkan polemik pun mencuat soal pro dan kontra keberadaannya di daerah yang sebenarnya punya sejarah memiliki klub-klub kuat seperti Krama Yudha Tiga Berlian dan PS Pusri.

Masyarakat pun belum begitu antusias menyaksikan pertandingan timnya. Upaya keras dan berbagai cara dilakukan agar sepakbola minded tercipta di daerah ini. Sampai akhirnya berbagai kumpulan suporter pun lahir . Maniak bola pun bergaung.
Dengan prestasi yang diukir, saat Pemilihan Gubernur dua tahun lalu, SFC pun dijadikan ’jualan’ oleh salah satu kandidat. Dan di satu pihak, keberadaan SFC justru dikecam. Bahkan disebut-sebut tidak membanggakan daerah karena pemainnya bukanlah putra daerah.

Kini, saat Alex Noerdin memenangkan Pilgub, keberhasilan SFC di era Syahrial pun disempurnakan dengan prestasi yang sama. Semuanya kini telah merasakan keberadaan SFC. Mulai dari kepala daerahnya sampai kepada rakyatnya.

Cek Mad
Rahmad Darmawan --yang dikenal dengan nama panggilan Cek Mad sejak melatih SFC-- memulai kariernya sebagai pesepak bola di Persija "Macan Kemayoran" Jakarta 1985. Juga masuk Timnas U-23. Dan sempat memperkuat beberapa kesebalasan, seperti Army Force Malaysia, dan Persikota.

Saat training centre lawan Bayern Urdingan (klub divisi Utama Jerman), lututnya cedera. Mimpinya tampil di Pra Piala Dunia pun buyar. Dia kembali ke Jakarta. Mulanya menjadi asisten pelatih kesebelasan Bank Indonesia. Pelatih kepala saat itu Hari Tjong. Setahun kemudian dia menjadi pelatih kepala karena Hari Tjong menjadi pelatih PS Banda Aceh.

Tahun 1990 dia mengantongi sarjana IKIP. Lalu ditawari masuk Wamil karena ketika itu TNI punya PS ABRI yang bermain di Galatama. Hingga 1997 dia memperkuat berbagai tim sampai akhirnya kembali cidera lutut kiri saat memperkuat Persikota dan akhirnya memutuskan full sebagai pelatih.

Pensiun sebagai pemain di klub Ibu Kota itu, Rahmad mencoba peruntungannya sebagai pelatih di tim ”Bayi Ajaib” Persikota Tangerang. Rahmad melatih klub berjuluk Bayi Ajaib itu selama empat tahun, mulai dari tahun 2000.

Sembari melatih Persikota, pengagum Maradona dan Piere Lisbersky ini mengasah keterampilannya sebagai pelatih dengan belajar ke manca negara. Di penghujung karirnya sebagai Pelatih Persikota, Rahmad mengantungi International Licence di bawah bimbingan Horst Kriete dan Bernd Fisher. Usai mendapatkan lisensi tertinggi itu, Rahmad langsung hijrah ke Persipura Jayapura.

Di bawah tangan dinginnya, Persipura, yang mulai pudar namanya, kembali bangkit dan meraih gelar juara LI 2005. Prestasi ini langsung melambungkan nama Rahmad. Beberapa klub dalam dan luar negeri, seperti Perak FC Malaysia dan Persebaya Surabaya, tertarik untuk menggunakan jasanya. Tetapi, Rahmad melabuhkan hatinya ke Persija.
Pilihannya kembali ke Ibu Kota itu, pada akhirnya disesali Rahmad. Suami dari Eti Yuliawati itu mengakui kesalahannya menerima pinangan Persija. Pasalnya, di Persija dia tidak bisa berbuat banyak. Rahmad tidak bisa memilih pemain- pemain yang akan memperkuat timnya, padahal memilih pemain merupakan tugas dan kewajiban seorang pelatih kepala.

Dia mengakui kesalahan itu. Kenapa dia mau ke Persija. Saat itu, menurutnya, kesediaanya ke Persija karena dijanjikan akan ada Agu Casmir (bek Timnas Singapura), Emmanuel De Porras (mantan striker Persija dan PSIS Semarang), dan Ronald Fagundes (gelandang Persik Kediri). Ternyata semua nama-nama besar itu kabur.

Musim kompetisi tahun 2006 itu menjadi masa-masa paling sulit dalam karier Rahmad. Tetapi, dengan materi pemain seadanya dan bukan pilihannya --belum lagi intervensi dari berbagai pihak-- kapten Marinir itu masih bisa membawa Persija ke babak delapan besar Liga Indonesia dan peringkat ketiga Copa Indonesia. Jauh dari target yang ditetapkan, yaitu meraih salah satu gelar juara.

Terperosok di Ibu Kota, Rahmad terikat kontrak dengan Sriwijaya FC Palembang (d/h Persijatim Jakarta). Di klub ini, Rahmad dibebaskan mengatur segi teknis tim, tanpa ada intervensi siapa pun. Hasilnya, Rahmad meraih double winner di tahun pertamanya di Palembang. Padahal, pria yang hobi bernyanyi ini tadinya hanya ditargetkan membawa Sriwijaya FC ke zona Liga Super.

Kini, prestasi bersama SFC bakal jadi kenangan. Rahmad kiini mungkin akan berlabuh kembali ke Persija. Yang jelas, tarifnya akan melambung. Kalau dulu ada Tanri Abeng yang dijuluki Manajer 1 Miliar, kini Cek Mad mungkin bisa dijuluki Manajer 2 Miliar. Karena saat ini saja, tarifnya tak kurang dari Rp 1,2 M/musim. Bravo SFC, Cek Mad, Manajemen, Suporter dan masyarakat Sumsel. Semoga prestasi terus terukir. (muhamad nasir)

Tidak ada komentar: