Minggu, 13 Maret 2011

Guru Lebih Tergiur Mengabdi di Kota


PALEMBANG - Juito (40) sudah mengabdi sebagai guru selama puluhan tahun. Dia mengajar di sekolah dasar (SD) negeri di daerah terpencil, di Desa Pematang Bangsal, Pemulutan, Ogan Ilir (OI).

Dia memang sudah menjabat kepala sekolah di SDN 10 Pematang Bangsal, tapi tetap bertekad untuk menjalankan fungsinya sebagai guru kelas, guru bidang studi pendidikan jasmani, sekaligus mengurus masalah administrasi.
“Ya, mau tidak mau. Soal­nya jumlah guru hanya enam orang termasuk saya, jadi saya harus bisa mengatur waktu antara kepala sekolah, guru, dan urusan tata usaha,” ujar­nya. Beruntung, Juito sudah menyelesaikan sarjana strata satu (S-1) pada 1994 dari jurusan Pen­didikan Olahraga di perguruan tinggi swasta di Palembang.
Jumlah guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di sekolahnya memang masih kurang. Idealnya, untuk SD yang mempunyai enam kelas dibutuhkan enam guru kelas, ditambah dua guru bidang studi, yakni guru pendidikan jasmani dan agama.
Apalagi, seperti di sekolahnya, ada dua kelas yang paralel, yakni kelas I dan II di ma­na ma­sing-masing ada dua ke­las se­hingga seluruhnya delapan kelas. “Artinya dibutuhkan delapan guru kelas ditambah dua guru bidang sudi. Maka, hanya dengan enam guru termasuk kepala sekolah, ini sangat ku­rang,” tambah Juito, ayah dari dua anak ini.
Kondisi kekurangan guru di SD tempat Juito mengabdi ternyata belum seberapa. Re­kan-rekannya sesama guru di sekolah lain menceritakan, ada sekolah yang gurunya hanya tiga orang termasuk kepala sekolah. Kekurangan guru ini terjadi di desa, bukan di perkotaan seperti di ibu kota provinsi, ibu kota kabupaten maupun ibu kota kecamatan.

Kesenjangan
Kepala Bidang Pening­kat­an Mutu Pendidikan dan Te­na­ga Kependidikan (PMTK) Di­nas Diknas Sumatera Selatan (Sumsel), Romzid Murod, meng­akui terjadinya kesenjangan jumlah guru di kota dan desa.

”Namun secara ideal, jumlah guru yang berstatus PNS masih jauh dari cukup. Secara keseluruhan jumlah guru yang terdata di seluruh Sumsel, untuk guru TK, SD, SLTP sederajat, dan SLTA sederajat di bawah Diknas maupun Depag, sebanyak 32.565 orang. Mereka mengajar di 118.134 sekolah di bawah naungan Diknas maupun Depag, swasta maupun negeri,” jelasnya.
Sementara itu, guru PNS di bawah naungan Diknas sekitar 19.877 orang. Mereka tersebar di seluruh Sumsel, baik di sekolah swasta maupun negeri. Keberadaan guru PNS yang minim ini banyak terbantu oleh guru honorer. Apalagi di sekolah swasta bisa saja tidak ada guru PNS-nya. Begitu juga di perkotaan, guru PNS yang mengajar di swasta—disebut dipekerjakan (DP)—tidak sedikit jumlahnya. Terkadang, ada guru yang mengajar di beberapa sekolah, sehingga meskipun jumlah sekolah 118.134 sementara jumlah guru hanya 32.564 orang, proses belajar-mengajar tetap bisa berjalan.
Penyebaran guru, khususnya yang di bawah Dinas Diknas, di Palembang ada 1.650 orang, di Ogan Komering Ilir (OKI) 1.115, Muaraenim 1.257, Lahat 1.136, Ogan Komering Ulu (OKU) Timur 1.189, Musi Banyuasin 920, OKU 589, Prabumulih 254, Pagar Alam 234, dan Ogan Ilir 837. Di Sumsel sendiri ada 12 kabupaten dan empat kota.
Dari data di atas, terlihat guru di Palembang yang juga merupakan Ibu Kota Sumsel, jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan wilayah kabupaten lainnya seperti OKU Timur yang cuma memiliki 1.1.89 guru, Muaraenim 1.257, dan OKI 1.115.
”Palembang itu hanya kota, sementara OKU Timur itu kabupaten dengan wilayah yang lebih luas, attau bandingkan dengan ibu kota wilayah kota lainnya seperti Prabumulih, Pagaralam, Lubuklinggau yang hanya ada sekitar 300 guru,” kata seorang pendidik yang enggan disebut namanya.
Banyaknya guru yang mengajar di perkotaan juga diungkapkan oleh Kepala Bidang Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (Kabid PMTK), Romzid Murod. Di SMAN 6 Palembang, misalnya, guru pelajaran Bahasa Indonesia ada tujuh. Padahal jumlah kelasnya ada 21, terdiri dari kelas X, XI, XII. ”Sehingga, masing-masing kami kebagian tiga kelas. Kalau kelas X yang ada lima jam seminggu, berarti seminggu kami mengajar hanya 15 jam. Sementara kalau kelas XII yang hanya belajar tiga jam seminggu, berarti cuma mengajar sembilan jam seminggu,” papar Elvi Martalinda, guru SMAN 6 Palembang.
Padahal, seorang guru PNS wajib mengajar minimal 24 jam seminggu. Diakui Elvi, kondisi kelebihan jumlah guru ini dirasakan ketika beberapa orang guru di sekolahnya sudah lulus sertifikasi. Saat lulus sertifikasi, seorang guru diwajibkan mengajar minimal 24 jam seminggu. Untuk memenuhi kuota mengajar tersebut, guru-guru tersebut terpaksa mengajar di sekolah lain, biasanya di sekolah swasta.
Kondisi ini terjadi hampir di semua sekolah negeri di perkotaan. Dengan demikian, menurut guru senior di SMKN 2 Palembang, Idris, kondisi sebenarnya adalah tidak meratanya penyebaran jumlah guru, terutama guru yang berstatus PNS. Akibatnya, terjadi penumpukan guru di perkotaan dan sebaliknya, terjadi kekurangan guru di pedesaan.
Menurut Romzid, tidak meratanya penyebaran guru karena guru yang sebagian besar perempuan tidak bersedia mengajar di desa. Alasannya ikut suami, terkait adanya otonomi daerah, atau ada juga yang beralasan tidak bersedia mengajar di desa karena sudah terbiasa hidup di perkotaan.
“Akibatnya, guru menumpuk di kota dan sekitar kota. Kalau pun di suatu daerah kabupaten/kota kekurangan guru, tak bisa serta merta mengirimkan guru dari daerah lain, karena di era otonomi daerah cukup rumit untuk memindahkan guru antardaerah,” jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Muhammad Nuh menegaskan bahwa Indonesia kelebihan jumlah guru. Oleh karena itu, rekrutmen guru akan didesain kembali sesuai dengan kebutuhan. “Rasio siswa dan guru di Indonesia sangat mewah dibandingkan negara lain. Jika diberlakukan standar internasional, ada kelebihan pasokan guru sebesar 20 persen atau 500.000 guru,” kata Mendiknas dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Senin (7/3).
Semua pihak tentu berharap agar pemerintah realistis. Kisah guru di Sumatera Selatan hanyalah satu contoh tentang persebaran guru yang tidak merata. Bagaimana dengan daerah lain yang semakin jauh dari Ibu Kota Jakarta?

Selasa, 08 Maret 2011

Under Mall Dipersoalkan Elemen Masyarakat


Walhi dan HMI Tolak Under Mall

Palembang:

Penolakan terhadap proyek under mall (mal bawah tanah) di lapangan parkir Bumi Sriwijaya, Palembang kian gencar dilakukan masyarakat. Kemarin, aktivis Walhi dan mahasiswa yang tergabung dalam HMI melakukan aksi demo menuntut agar proyek tersebut dihentikan.

Sejumlah aktivis lingkungan dari Mahasiswa Hijau Indonesia, Serikat Hijau Indonesia, dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel melakukan unjukrasa. Menggunakan poster, spanduk, serta menggelar aksi teatrikal, belasan peserta aksi melumuri tubuh mereka dengan cat hijau. Aksi ini digelar di halaman Kantor Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumsel, Selasa (8/3).

Dalam aksi yang mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian ini, peserta aksi menuntut agar aktivitas pembangunan under mall segera dihentikan karena belum mengantongi IMB dan amdal. Mereka juga menilai pemerintah telah melakukan kebohongan publik ke beberapa media dengan dalih pembangunan tersebut bertujuan menyejahterakan masyarakat.

“Padahal, justru sebaliknya. Pemukiman masyarakat malah terendam banjir (akibat imbas pembangunan under mall). Ini justru merampas hak rakyat. Di sisi lain,proyek ini juga mengancam kawasan ruang terbuka hijau yang ada di Palembang,” tegas koordinator aksi Doni Donovan disambut yel-yel peserta aksi lainnya.



Dia melanjutkan, saat ini pengalihfungsian kawasan ruang terbuka hijau menjadi kawasan privat semakin menjadi-jadi. Ironisnya, janji yang diberikan pelaku kebijakan justru tidak sesuai kenyataan di lapangan. Hal ini terlihat selama pelaksanaan pembangunan, yang mulanya hanya akan memakai 1/5 dari total luas kawasan GOR, tapi faktanya saat ini pembangunan telah menghabiskan setengah dari luas kawasan. Selain itu, janji untuk tidak menimbun kawasan kolam retensi juga dilanggar. Saat ini seperempat kolam retensi di kawasan itu telah ditimbun pihak perusahaan.

“Yang sangat disayangkan, proses pembangunan ini sama sekali tidak transparan. Kami pernah mencoba masuk, tapi justru diusir oleh petugas lapangan.
Kalau ini untuk kepentingan rakyat, kenapa kami tidak diizinkan untuk melihat perkembangan pembangunan. Ini yang aneh,” tegas Doni.

Pendemo juga menagih janji DPRD Sumsel untuk membangun sebuah panitia khusus (pansus) yang membahas alih fungsi lahan yang dilakukan Gubernur dan Wali Kota terhadap kawasan publik GOR Palembang. Tetapi nyatanya, rencana ini juga tidak kunjung terealisasi hingga saat ini. Puncaknya, kegiatan prakonstruksi dan konstruksi proyek ini malah telah berjalan.
“Kami minta BLH Provinsi untuk menelusuri masalah ini,” tegas Doni. Selang satu jam berorasi, pendemo selanjutnya ditemui langsung Kepala BLH Provinsi Sumsel A Najib.

Di hadapan pendemo, Najib berjanji meneruskan tuntutan ini ke Pemprov Sumsel. Terkait belum adanya izin pelaksanaan konstruksi, Najib enggan berkomentar banyak dan hanya mengatakan semuanya masih dalam proses pengurusan. “Dalam waktu dekat, semua izin tersebut bisa dikantongi. Kami juga tidak mungkin memberikan izin penggalian jika tidak ada amdal yang jelas,” katanya




Terpisah, sekitar 10 orang dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Palembang mendemo Kantor Pemprov Sumsel guna menentang proyek tersebut. Dengan pengawalan ketat anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemprov Sumsel, pendemo menyampaikan pernyataan sikapnya di hadapan Asisten I Bidang Pemerintah Pemprov Sumsel.

Koordinasi aksi Septiandi mengatakan, saat ini ada 12 pembangunan venues atau sarana olahraga yang sedang dilakukan Pemprov Sumsel terkait penyelenggaraan SEA Games di Palembang November mendatang dan sebagian besar pembangunan venues berada di kawasan Jakabaring. ”Namun,kini Pemprov Sumsel diduga melakukan kesalahan besar dengan melaksanakan proyek ilegal, yakni membangun sebuah under mall yang jelas-jelas tanpa melalui prosedur, dengan alasan demi kepentingan SEA Games,” katanya.

HMI Palembang juga menilai pembangunan under mall tidak sesuai UU No 28/ 2002 tentang Bangunan Gedung. Pada pasal 39 UU tersebut, apabila bangunan tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB), wajib dibongkar.

”Di PP 50/2007 juga disebutkan, setiap alih fungsi aset daerah harus memiliki izin atau persetujuan Dewan,” tegasnya. Namun, fakta yang terjadi di lapangan saat ini, ternyata pembangunan under mall masih belum memiliki persyaratan-persyaratan sebagaimana yang diatur dalam UU dan peraturan pemerintah tersebut. Ironisnya, pembangunan under mall telah dilaksanakan, kendati belum melalui proses tender, tidak memiliki amdal dan IMB, serta sejumlah persyaratan lainnya. Dari sejumlah persoalan tersebut, HMI cabang Palembang menyatakan sikap.

Pertama, meminta Pemprov Sumsel segera menghentikan pembangunan under mall sebelum memenuhi per-sya-ratan- persyaratan sebagaimana diatur dalam UU No 28/2002 dan PP 50/2007. Kedua, HMI meminta proses pelaksanaan tender dilakukan secara transparan/terbuka sesuai UU Keterbukaan Informasi Publik, karena lahan proyek tersebut merupakan ruang publik dan aset daerah. “Ketiga, Pemprov Sumsel harus mengutamakan kepentingan rakyat (dalam hal pembangunan), bukan mengutamakan kepentingan individu atau golongan,” tegasnya. Menyikapi tuntutan ini, Asisten I Bidang Peme-rintahan Pemprov Sumsel Mukti Sulaiman berdalih, apa yang dilakukan Pemprov Sumsel selama ini sudah sesuai prosedur.

Mantan Sekda Mura ini menjelaskan, pihaknya tentu sangat paham dengan aturan yang telah dibuat dan menegaskan jelas tidak ada aset Sumsel yang dijual dalam pembangunan under mall. ”Kalau aset dijual, pasti kami akan koordinasi dengan DPRD Sumsel dan itu wajib,” tegasnya. Dia mengungkapkan, yang membuat amdal dalam proyek under mall nanti adalah pihak ketiga, bisa Universitas Sriwijaya (Unsri) atau badan hukum lainnya.

Sedangkan, yang mengajukan usul izin amdal ke Pemkot Palembang adalah mitra kerja, bisa Badan Lingkungan Unsri atau badan lingkungan resmi lain.

“Under mall tidak ada dijual, bentuknya kerja sama, kalau BOT 30 tahun. Seperti Hotel Aryaduta, nantinya akan kembali ke kita lagi,” ulasnya. Menjawab sudah dimulainya pembangunan under mall, menurut Mukti, hal tersebut sifatnya baru sebatas tahap konstruksi teknis atau tahap awal, tapi belum dibangun semua.

”Mengenai tender, kami sudah tender di pusat, karena endak ada yang mampu mengerjakannya (mengerjakan proyek under mall) di Sumsel. Jadi, sekali lagi pelajari dulu baik-baik,diskusikan, kami sangat terbuka, dan kami tidak menutup-nutupi semua transparan,” jelasnya. (sir)