Rabu, 29 Juli 2009

tradisi tutur

Tradisi Tutur Masih Diminati Anak Daerah

Palembang: Tradisi tutur ternyata masih diminati anak-anak. Terlihat dari antusias siswa SMP se-Sumsel mengikuti Lomba Tutur Sastra Lisan siswa SMP se-Sumsel yang di gelar di Atrium Palembang Indah Mal (PIM) selama dua hari lalu.

Sedikitnya 67 siswa dari berbagai SMP di Sumsel mengirimkan utusannya. Dari 15 kabupaten/kota di Sumsel hanya tiga yang tidak mengirim, yakni Muba, Pagaralam, dan OKI.

Tampil di panggung, anak-anak ini tidak canggung lagi. Meski memang ada sebagian anak yang terlihat tidak hapal naskah cerita atau ada yang tampil seadanya.

Tetapi sebagian tampil memikat, dengan gaya penuturan yang menarik, dilengkapi dengan aksesoris pendukung cerita serta berpakaian adapt atau.

Berbagai cerita lisan dibawakan, mulai dari kisah asmara Pulau Kemarau, sejarah perahu bidar, Si Mata Empat dan si Pahit Lidah, Bujang Jelihim, Bujang Kurap, atau beberapa legenda dari daerah asal mereka.

Dari even ini terlihat bahwa anak-anak ternyata masih bisa menerima dan melestarikan sastra local dan tradisi local. Itulah memang yang diharapkan bias terus dikembangkan dari even ini, seperti dikemukakan Abu Hanifah, Kasi Pendidikan Anak Usia Dini kerika menutup kegiatan mewakili Kepala Dinas Pendidikan Sumsel, Edi Karyana yang berhalangan hadir.

“Kami berharap melalui pelestarian dan pengembangan cerita rakyat anak-anak dapat menyerap tata nilai yang bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan Ketua Tim Juri, Yudhy Syarofi. Menurutnya, melalui even ini diharapkan memang akan dapat juga ditemukan sosok atau figure anak-anak yang bias menularkan tutur cerita rakyat. Sehingga, anak-anak yang lai juga semakin terpikat.

Dari segi kuantitas, memang peserta berkurang disbanding tahun lalu yang mencapai lebih dari 120 peserta. Tetapi dari minat dan antusias peserta serta kemampuan masih bisa diacungi jempol.
Dari hasil lomba yang digelar selama dua hari Senin-Selasa (27-28/7), terlihat juara pertama hingga juara ketiga didominasi peserta dari daerah. “Ini menunjukkan memang ternyata kreativitas dan kemampuan bercerita tidak semata ditentukan pendidikan formal. Anak-anak di daerah memang masih punya banyak waktu untuk bermain dan mereka bisa mengasah kemampuan serta kreativitas. Berbeda dengan anak-anak di kota yang waktunya sudah tersita untuk kegiatan belajar,” ujar Yudhi.
Tim juri lainnya, Yose Ilyas juga menambahkan bahwa tradisi tutur dan budaya lokal memang masih terlihat kental di daerah. “Bagaimana anak-anak masih punya kebiasaan bertutur sapa dan menyampaikan sesuatu dengan memperhatikan tradisi dan kebiasaan. Berbeda dengan anak-anak kota yang sudah terpengaruh teknologi. Game online, main play station. Lalu di luar itu, sibuk les, bimbingan belajar, dan beragam aktivitas sekolah lainnya,” timpalnya.
Namun beruntung, di tengah persoalan itu, anak-anak kota masih punya minat terhadap tradisi cerita rakyat. Terlihat dari banyaknya peserta yang ikut, didominasi peserta dari Palembang.

Hanya saja, yang menang memang diborong peserta dari daerah. Juara pertama, Ari Fadli dari SMPN 2 Lubuklinggau membawakan Cerita Asal Mula Danau Raye. Juara II, Resti Meli dari SMPN 2 Banding Agung, OKU Selatan, membawakan Cerita Legenda Danau Ranau. Lalu juara III, Iren dari SMPN 2 Lubuklinggau membawakan cerita Burung Puyuh dan Baginda Raja.

Lomba tutur ini memang telah usai, namun setiap tahun terus digelar. Beberapa guru pendamping menyesalkan kurangnya sosialisasi kegiatan sehingga mereka tak punya kesempatan mempersiapkan anak didiknya. Nila, guru pendamping dari SMPN 10 Palembang menuturkan bahwa informasi lomba baru mereka terima dua hari sebelum perlombaan. Sehingga, utusan yang dikirim belum terseleksi dengan tepat. ”Beda misalnya kalau informasi sudah diterima jauh-jauh hari,” katanya menyesalkan kurangnya informasi kegiatan tersebut.
Pihak panitia sendiri menyatakan bahwa informasi ke Dinas Pendidikan kabupaten/kota sudah disampaikan sebulan sebelumnya. Kalaupun terlambat diterima, birokrasi di Diknas kabupaten/kota yang mungkin terlalu njelimet. (sh/muhamad nasir)

Kamis, 16 Juli 2009

sekolah gratis tapi bayar

http://www.sinarharapan.co.id/berita/back_to/arsip/read/sekolah-gratis-kok-bayar-jutaan-rupiah/?tx_ttnews%5Byears%5D=2009&tx_ttnews%5Bmonths%5D=07&tx_ttnews%5Bdays%5D=22&cHash=c68c90b3d7




Gubernur Sumsel H Alex Noerdin bersama Mendiknas Bambang Sudibyo ketika melaunching program sekolah gratis 26/3 lalu di GOR Sriwijaya Palembang.





Di Sumsel, Sekolah Gratis Tapi Bayar

Palembang:

Di Sumsel, program sekolah gratis untuk semua jenjang dan tingkat pendidikan bak swasta maupun negeri mulai dilaksanakan tahun ajaran baru 2009/2010 ini. Hanya saja, meski namanya gratis ternyata untuk masuk sekolah orang tua siswa tetap harus merogoh kocek hingga jutaan rupiah.

Karenanya, para orang tua pun banyak mengeluhkan persoalan ini. “Katanya program sekolah gratis sudah diluncurkan, kok masih bayar? Ini mah, namanya gratis tapi bayar,” ujar Ida Sahrul, orang tua siswa yang anaknya tidak lolos di sekolah negeri dan harus masuk ke sekolah swasta, SMA Bina Warga Palembang.

Tidak tanggung-tanggung, dia harus merogoh kocek mencapai Rp 2,4 juta untuk biaya seragamsekolah, kaos olahraga, dan sepatu serta uang pembangunan. Sementara anaknya yang lain yang duduk di kelas X, untuk daftar ulang juga membayar Rp 940 ribu.

Sementara untuk sekolah unggulan, yakni SMAN 17, SMAN 6, dan SMAN 5, biaya yang dikeluarkan justru lebig besar lagi. SMAN 17 misalnya, uang sumbangan minimal Rp 10 juta dan SPP per bulan Rp 500 ribu. Begitupun SMAN 5 dan SMAN 6 yang baru tahun ini ditetapkan sebagai sekolah unggulan, uang sumbangan bervariasi antara Rp 3 juta hingga Rp 5 juta dengan SPP per bulan mencapai Rp 450 ribu.

Ketua Kelompok Kerja Kepala Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Kota Palembang, Drs Somat menjelaskan, dalam peraturan gubernur No. 31 tahun 2009 diatur bahwa biaya personal seperti stelan pakaian olahraga, pakaian seragam khas sekolah termasuk atribut sama sekali tidak dibebankan pada pihak sekolah.

Menurutnya, itu menjadi tanggungjawab siswa bersangkutan.Somat, yang juga kepala SMAN 13 mencontohkan, di sekolahnya total biaya personal Rp375 ribu. Angka tersebut sama dengan tahun ajaran lalu. “Besaran pungutan itu baru ditetapkan nanti dalam rapat komite sekolah. Bakal kita musyawarahkan dengan wali siswa. Kemungkinan naik atau tidaknya, tergantung kesepakatan nanti,” tegas Somat.

Sumbangan personal juga bakal dilakukan oleh SMAN 2 Palembang. “Kisarannya antara Rp300-375 ribu. Tidak dipaksakan. Semua kita serahkan kepada wali siswa dan masih akan dibicarakan lagi,” ungkap Dra Hj Amiziah.

Ia merinci biaya personal tersebut mencakup seragam sekolah (batik), pakaian olah raga, pakaian muslim, buku persiapan masa orientasi siswa (MOS), kartu perpustakaan, asuransi, dan kartu pelajar. “Untuk biaya operasional, sesuai dengan yang diatur pergub. Non-SSN Rp80 ribu per siswa. Uang itu, diambilkan dari sharing pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Bagi sekolah sudah SSN bisa menarik selisihnya dengan syarat ada persetujuan kepala daerah setempat,” beber Amiziah.

Umumnya, pungutan juga masih tinggi. SMA Arinda misalnya, biaya daftar ulang bagi siswa yang naik ke kelas II sebesar Rp900 ribu. Sementara siswa yang naik ke kelas III mencapai Rp1.020.000,-. “Kalau siswa baru, biaya masuknya Rp1.560.000,-” ungkap Efi, wali salah seorang siswa baru di SMA tersebut.
Sedikit berbeda di SMA Tri Dharma. Biaya daftar ulang yang dikenakan bagi siswa kelas dua dan tiga sama, sebesar Rp125 ribu. Khusus siswa baru Rp345 ribu.

Ramai-ramai Naik Status
Yang lebih membingungkan masyarakat lagi, sebagian besar sekolah di Sumsel ternyata telah naik status sehingga mereka diperbolehkan memungut biaya di luar subsidi yang diberikan pemerintah dengan syarat ada kesepakatan dengan orang tua siswa.

SMAN 13 dan SMAN 2 misalnya. Saat ini, bersama 15 SMAN lain di Palembang, statusnya sudah disetujui oleh Gubernur Alex Noerdin untuk menjadi SSN. Persetujuan tertuang dalam keputusan gubernur Sumsel tentang penetapan SSN, RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasional), dan SBI (sekolah bertaraf internasional).
“Se-Sumsel dari total sebanyak 610 SMA/MA/SMK—negeri dan swasta--, 195 sekolah di antaranya mengajukan diri untuk mendapatkan predikat baik SSN, SBI maupun RSBI. Gubernur pun sudah menyetujui,” tegas Drs Widodo, MPd, Kabid Pembinaan Pendidikan Menengah dan Perguruan Tinggi (Dikmenti) Disdik Sumsel.

Ia merinci, untuk SSN sebanyak 178 sekolah, SBI ada 11 sekolah dan RSBI enam sekolah. “Setelah disetujui, semester pertama tahun ajaran 2009/2010 ini, bakal kita verifikasi lagi usulan tersebut hingga Desember mendatang. Bila tak lolos verifikasi, sekolah yang bersangkutan takkan kita terbitkan sertifikatnya. Mereka wajib mematuhi aturan program sekolah gratis,” ungkap Widodo lagi.

Sedangkan tingkat SMP/MTs (negeri dan swasta) baru 39 dari total 906 sekolah se-Sumsel yang disetujui. Masing-masing, SSN ada 32 sekolah, RSBI tiga sekolah, SBI ada 4 sekolah. Tingkat SD/MI dari 3.981 sebanyak 84 telah disetujui. Masing-masing, SSN 88 sekolah, RSBI 4 sekolah, ”Khusus SD belum ada yang berstatus SBI,” tutur Widodo.

Kalau sekolah SSN, SBI dan RSBI diperkenankan memberlakukan pungutan di luar ketentuan, kata Widodo, sekolah yang non SSN, Non SBI, dan non RSBI tidak diperkenankan. Untuk memantau, pihaknya segera melakukan pengecekan langsung ke lapangan dengan melibatkan tim asesor.

“Kalau soal sanksi, sekolah bersangkutan bakal kita berikan teguran sekaligus pembinaan. Masih juga baru kita terapkan sanki, tapi sesuai PP No 30 tahun tentang PNS. Itu yang hanya bisa kita lakukan sementara ini,” tegas Widodo.

Di lapangan, diketahui beberapa sekolah ini memberlakukan berbagai cara menyiasati subsidi pemerintah yang diberikan sebesar Rp 50.000 untuk SD, Rp 60.000 untuk SMP, dan Rp 80.000 untuk SMA.

Di SMA Nurul Iman, Sekip Palembang, misalnya sudah menaikkan SPP di awal tahun ajaran baru. Sehingga kalaupun mereka menerima subsidi Rp 80.000 per bulan per siswa, orang tua siswa tetap harus membayar Rp 60.000 per bulan.

”Soalnya, SPP saat ini naik menjadi Rp 140 ribu. Kata pihak sekolah, mereka memang disubsidi Rp 80 ribu, tetapi itu tidak cukup sehingga SPP dinaikkan menjadi Rp 140 ribu. Kami hanya membayar selisihnya saja, Rp 60 ribu. Karena saat ini subsidi belum cair, kami bayar full. Nanti, jika subsidi cair baru akan dikembalikan,” ujar orang tua siswa yang minta namanya tidak disebut.

Gubernur Sumsel H Alex Noerdin ketika dikonfirmasi soal ini terlihat berang. Menurutnya, dia sudah mendapatkan banyak laporan soal pelaksanaan sekolah gratis di lapangan. Untuk itu, pihaknya akan melakukan audit terhadap sekolah-sekolah dimaksud. Termasuk memverifikasi sekolah yang kini naik menjadi SSN, RSBI, dan SBI.

Alex menuturkan, permasalahan yang paling menonjol saat ini adalah menyangkut banyak SMA di Palembang yang mengaku berstatus SSN, RSBI), dan SBI untuk menghindari Program Sekolah Gratis,sehingga boleh melakukan pungutan. (sh/muhamad nasir)

Rabu, 15 Juli 2009

Ita Diana, Melestarikan Songket



Ita Diana, menunjukkan songket motif buatannya di kediamannya






Ita Diana
Melanggar Tradisi demi Kelestarian Songket
OLEH: MUHAMAD NASIR

PALEMBANG – Cara pembuatan songket memang tak semudah yang dibayangkan. Karena untuk menenun kain songket membutuhkan waktu paling tidak seminggu.

Sebelum menenun pun, ada langkah awal yang tak kalah rumitnya, yaitu menentukan motif songket. Tahap ini disebut sebagai proses menyungkit atau membuat motif.
Di Sumatera Selatan tak banyak orang yang bisa menyungkit, karena memang pengetahuan dan keterampilan ini diperoleh secara turun-temurun. Pun tidak semua keturunan bernasib baik diajari keterampilan ini.
Maka wajarlah kalau jumlah penyungkit bisa dihitung dengan jari. Mereka tinggal di perkampungan orang asli Palembang, seperti di Tanggabuntung dan 3-4 Ulu Palembang.
Di antara orang itu ada Ita Diana. Perempuan kelahiran Palembang ini mendapatkan keahlian menyungkit dari neneknya. Tepatnya, adik dari kakeknya, almarhumah Imah. Ita beruntung diberi kepercayaan dan kesempatan untuk belajar menyungkit, meski terpaksa mengorbankan sekolah.
Ternyata istri dari Ismail ini mengaku tidak mudah untuk mendapatkan kemampuan menyungkit. Bertahun-tahun dia belajar. Tetapi ibu dari tiga anak, M Ajid Sidik, Enha Anggi Pratama, dan M Balya ini pun tidak menurunkan kemampuannya kepada anak-anaknya karena tidak punya anak perempuan.
Ketika ditemui SH di kediamannya di kawasan 3-4 Ulu, Palembang, Ita menceritakan bahwa desain songket biasanya terdiri dari teretes, hiasan pinggiran (tepi), tawur, rebung, apit, rumpak, ombak, dan kembang/tumpal. Untuk kembang atau tumpal, motif bisa berupa naga besaung nampan perak, bungo cino, ulir, ataupun kembang pacar. Khusus untuk kembang/tumpal tidak boleh diganti. Sudah menjadi pakem, kalaupun mau memodifikasi, biasanya di bagian yang lain.


Salah satu songket yang motifnya dibuat Ita Diana






Ita menjelaskan, proses pembuatan songket dimulai dari nyucuk suri, ngelak, pencungkitan (membuat motif). Setelah itu baru menenun. Namun, Ita tidak sekadar membuat motif songket Palembang, ia juga mengerjakan motif songket Jambi yang punya ciri khas tersendiri, yakni biasanya bermotif emong kuncai, kembang duren, dan angso suo.

Banyak Lidi
Ukuran songket biasanya 90 cm x 2 meter. Untuk songket dibutuhkan tujuh tukel benang, yang nantinya bisa menjadi tiga kain songket. Proses pengerjaannya bisa menghabiskan waktu selama sepuluh hari. Mengerjakan songket, mulai dari proses pembuatan motif memang tidak sedikit, di antaranya kuda-kuda (kudo dayan), apit, penyuncing, beluro, por, suri, dan teropong. Juga dibutuhkan banyak lidi, terutama dalam pembuatan motif.
Penggunaan lidi, sedikitnya 170 batang untuk satu songket. Rinciannya adalah teretes 21, tawur 12, rebung 60, rumpal/bunga api 8-10, ombak 9, dan kembang/tumpal 25-60.
Lidi-lidi itu biasanya dibeli dari pengrajin rokok gudung dengan harga seikat Rp 2.000, dan berisi sekitar 500 batang.
Motif songket setelah selesai dibuat bisa digunakan untuk menenun sedikitnya 500 songket. Namun, kalau tidak terawat dan tidak telaten, bisa-bisa hanya untuk tiga songket. ”Bergantung kepada penenunnya,” kata Ita.
Upah membuat motif itu, untuk saat ini sekitar Rp 225.000-250.000, tergantung pada tingkat kerumitannya. Hanya saja, pembuatan motif masih menemui kendala karena berbagai faktor, di antaranya masih minimnya keinginan orang untuk belajar. Selain itu juga minimnya modal untuk membuat motif sehingga pembuatan motif baru dilaksanakan jika ada yang memesan.
Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah pembuat motif ini juga bisa dihitung dengan jari, lantaran ada peraturan bahwa pembuatan motif hanya boleh diturunkan kepada generasi penerus dalam keluarga. Tetapi bagi Ita, dia mengatakan tidak masalah kalau mengajarkan teknik pembuatan motif tersebut.


Ita Diana, mengawasi anak didiknya membuat motif songket (menyungkit).







Oleh karenanya, ketika ada tawaran dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) untuk mengajar di kursus pembuatan motif, Ita tidak merasa keberatan. Begitu juga terkait beberapa kegiatan lainnya yang dilaksanakan oleh berbagai organisasi dan disponsori berbagai perusahaan, Ita mau mengikutinya.
Melalui Disperindag saja dia sudah tiga kali dilibatkan, termasuk ke berbagai daerah, seperti Ogan Komering Ilir (OKI) dan Ogan Ilir (OI). Hasilnya, kini sudah puluhan penyungkit baru lahir, termasuk di kampungnya sendiri, yang pelatihannya dilakukan melalui kelurahan.
Mengajar lewat program Disperindag sudah dilakukan tiga kali, dengan sedikitnya membimbing 60 orang. Ditambah di kelurahan, sebanyak 25 orang, kini para peserta pelatihan itu sudah produktif. Beberapa rumah tenun di Palembang, bahkan pesanan-pesanan dari luar daerah, telah memanfaatkan jasa penyungkitan tersebut.

Kursus Senilai Satu Suku Emas

BELAJAR mencungkit bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu lewat latihan privat atau ikut program yang dilaksanakan oleh dinas/instansi atau organisasi tertentu. Hasilnya memang tak sama, karena biaya dan waktu belajar yang dibutuhkan juga berbeda. Untuk yang privat, Ita mematok harga tertentu. Biayanya seharga satu suku emas atau 6,7 gram. Saat nilai emas naik seperti sekarang ini, harga bisa mencapai Rp 2 juta.
Waktu belajarnya selama tiga bulan, sekali seminggu, mulai dari nyucuk suri, ngelak, mencungkit (membuat motif) sekaligus menenun.
Sementara kalau ikut program instansi, hanya memerlukan dua kali pertemuan. Biasanya program ini cocok untuk mereka yang pernah memiliki kemampuan menenun sehingga sudah mempunyai kemampuan dan pengetahuan dasar tentang menyongket. Untuk menjadi pelatih dalam kursus ini, Ita biasanya dibayar Rp 500.000 dengan murid paling banyak 20 orang.
Kalau dibandingkan dengan belajar privat, tentu bayaran itu tak seimbang. ”Tetapi manfaatnya, songket tentu bisa lebih lestari,” tuturnya. (sir)

Sinar Harapan, rubric profil dan tokoh, Rabu 15 Juli 2009
http://www.sinarharapan.co.id/cetak/detail-cetak/article/melanggar-tradisi-demi-kelestarian-songket/

Minggu, 12 Juli 2009

MOS SMPN 10 Palembang

http://www.sinarharapan.co.id/cetak/detail-cetak/article/hindari-kekerasan-fisik-dalam-mos/


Hari Pertama Sekolah
Hindari Kekerasan Fisik dalam MOS
OLEH: MUHAMAD NASIR/ STEVANI ELISABETH

Jakarta – Memasuki dunia baru, siswa berbagai tingkat pendidikan mengalami hal berbeda. Ada yang harus mengikuti Masa orientasi sekolah (MOS) dengan tampil lucu dan ganjil, ada pula yang mengikuti pendidikan kedisiplinan. Namun, ada pula yang langsung belajar di kelas.

Sementara itu, berbagai kalangan mengingatkan bahwa kegiatan MOS seharusnya digunakan untuk memperkenalkan hak, kewajiban dan tradisi siswa di sekolah baru, bukan malah menjadi ajang perpeloncoan bagi siswa senior kepada juniornya. Karena, tujuan MOS adalah menumbuhkan rasa kekeluargaan di antara murid dan seluruh jajaran sekolah.

Inilah yang diingatkan oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo saat launching MOS di SMA Unggulan Muhammad Hoesni Thamrin, Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur, Senin (13/7). Ia mengatakan, dalam MOS dilarang ada tindakan yang mengandung unsur kekerasan fisik, perpeloncoan ekstrem, pemberian tugas, hukuman fisik berlebihan, dan ucapan kasar dari senior kepada juniornya.



Sebagian siswa SMPN 10 Palembang mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS) selama tiga hari sejak hari ini hingga Rabu (15/7). Meski diwarnai berbagai praktik pungutan, program sekolah gratis di Sumsel tetap jalan.

Sementara itu, suasana MOS dipantau SH di SMPN 10 Palembang. Senin kemarin, tampak Adit (12) berlari-lari kecil menuju sekolah barunya. Meski mengenakan seragam putih merah layaknya anak SD, ada yang aneh dalam penampilannya. Mengenakan topi kerucut warna hitam, di ujungnya diramaikan dengan tali rafia yang disisir halus.
Di lehernya, belasan permen digantung di tali. Lalu di dadanya tertulis nama panggilan yang diberikan panitia sehari sebelumnya. Tertulis, Sandy. Sementara di punggungnya tertulis Muhamad Nurhidayatullah Pascadh dengan Gugus atau Kelompok E. Sekolah asalnya, SDN 182 Palembang. Lebih ganjil lagi, kaus kakinya ternyata berlainan, yang kiri berwarna hitam dan kanan berwarna putih. Di pinggangnya tergantung tali rafia berwarna hitam yang disisir halus sehingga menyerupai pakaian Suku Dayak.
Kekeluargaan
Kepala SMPN 10 Palembang Juma’ani mengungkapkan, MOS dilaksanakan untuk mengenalkan sekolah, kegiatan belajar, dan lingkungan sekolah kepada siswa baru. Supaya menyenangkan, pengurus OSIS membuatnya dengan lebih banyak hiburan. ”Sehingga ketika memasuki lingkungan baru, anak bisa lebih enjoy,” ujarnya.
Berbeda dengan di SMAN 6 Palembang. MOS di sekolah unggulan ini bertujuan mempertajam naluri kepekaan dan kepedulian sosial siswa. Caranya, di akhir MOS SMAN 6 mengajak siswa baru memberikan bantuan bagi korban kebakaran di 5 Ulu Palembang. Sebelumnya, siswa digembleng kedisiplinan dan ketakwaan selama sepekan, dan memperoleh materi ESQ (Emotional Spiritual Quotient).
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Taufik Yudi Mulyanto, mengungkapkan MOS digelar di seluruh sekolah di Jakarta, yang diikuti 233.000 murid baru. Tentang SMA Unggulan MH Thamrin, Taufik mengatakan, untuk menjadi siswa di sekolah unggulan tersebut harus memiliki IQ 120-140, pintar berbahasa Inggris serta mempunyai nilai pelajaran eksakta minimal 8.

Rubrik Kesra, Sinar Harapan edisi Selasa , 14 Juli 2009

Senin, 06 Juli 2009

sman 6 bantu korban kebakaran






Pertajam Kepekaan Siswa, Bantu Korban Kebakaran

Palembang:

Bertujuan mempertajam naluri kepekaan dan kepedulian sosial siswa, SMAN 6 mengajak siswa baru memberikan bantuan bagi korban kebakaran di 5 Ulu Palembang.

Penyerahan bantuan berupa 176 paket sembako dan pakaian layak pakai dilaksanakan Senin (6/7) di lokasi kebakaran 5 Ulu Palembang. Masing-,asing paket terdiri dari beras, gula, dan mi instan.

Kepala SMAN 6 Palembang Hj Darmi Hartati saat menyerahkan bantuan mengungkapkan bahwa bantuan ini janganlah dinilai dari harganya. “Tetapi, tolong lihat lah bentuk kepedulian dan kepekaan anak didik. Bagaimana nanti akan terpatri dalam benak mereka bahwa masih banyak warga yang perlu kepedulian dan bantuan. Sebagai sesama, tentunya haruslah menunjukkan rasa kepekaan,” ujarnya.

Para siswa yang menyerahkan bantuan adalah sebanyak 224 orang didampingi guru pembimbing dan pengurus OSIS.

Ketua OSIS Rifki menyatakan bahwa melalui kegiatan ini diharapkan kepekaan dan kepedulian rekan-rekannya dapat lebih meningkat. “Sehingga mereka tidak hanya mampu menguasai iptek, tetapi juga memiliki imtak yang bisa menjadi bekal bagi kehidupan di masa depan yang lebih baik nantinya,” ujarnya.

SMAN 6 tahun ini ditetapkan sebagai salah satu sekolah unggulan di kota Palembang. Dua sekolah lainnya yang merupakan sekolah unggulan adalah SMAN 17 dan SMAN 5. Sebagai salah satu sekolah unggulan mulai tahun ajaran 2009, sedikitnya 853 siswa baru mendaftar dan 819 diantaranya ikut tes. Hasil tes, diterima sebanyak 224 siswa.”Ini menunjukkan antusias yang cukup tinggi dari orang tua murid untuk menyekolahkan anaknya di sekolah ini,” ujarnya tentang sekolahnya yang tahun ini memang ditetapkan sebagai sekolah unggulan bersama SMAN 5 Palembang menyusul SMAN 17 yang sudah dahuluan.





Sebelumnya para siswa sudah digembleng kedisiplinan dan ketakwaan selama sepekan. Materi lainnya, siswa mengikuti ESQ (Emotional Spiritual Quotient) sehingga siswa memiliki bekal iman dan takwa sesuai visi dan misi sekolah ini. “Siswa diharapkan tidk sekadar cerdas an terampil, tetapi juga memiliki keimanan dan akhlak yang baik,” tambahnya.

Sebagai penutup kegiatan sebelum memasuki proses belajar mengajar, para siswa diajak melihat lokasi kebakaran yang terjadi awal Juni lalu di Kelurahan 5 Ulu Palembang. Sekaligus menyerahkan bantuan secara langsung. (...)