Dulmuluk merupakan bagian dari teater tradisional. Selama ini, kehidupan pemain Dulmuluk sudah kembang kempis. Jarang diundang untuk tampil di keramaian gelaran masyarakat, seperti sedekah, perkawinan, ataupun sunatan, membuat napas mereka menjadi tersengal. Akibatnya, bukan sekadar susah bernapas. Tetapi juga sulit mencari sesuap nasi.
Seorang pemain Dul Muluk, Randi Putra Ramadan, mengakui hal
itu. Putra pertama dari empat bersaudara pasangan Johar Saad dan Suharti Sani
(almarhumah) ini merasakan langsung manis hingga getirnya lakon Dul Muluk yang
sempat padat undangan hingga minim undangan.
Karenanya,
alumnus FKIP Jurusan Sentratasik Prodi Musik ini pun punya kiat-kiat yang
ditemukan secara tak sengaja saat Dul Muluk harus mengalami pasang surut.
Randi sendiri, kini selain tetap eksis di Dul Muluk, juga
memiliki skill lain, yakni menguasai
alat musik. Kini, suami dari Eva Dika Putriana ini dapat tetap bertahan dengan
petikan gitar Irama Batanghari Sembilan-nya.
Lebih pas lagi, Randi menyebut jurusnya ketika memasuki masa
pandemi ini sebagai rekondisi. “Mungkin kurang pas kalau disebut revitalisasi atau apalah. Artinya, bagaimana
seniman itu bisa menyesuaikan dengan kondisi,” ujar Randi yang sejak umur empat
tahun sudah diajak ayahnya belajar men-Dul Muluk.
Sebagai sebuah teater tradisional, selama pandemi juga sangat terdampak akibat Covid 19. Di
tengah himpitan tersebut, Randi mendapat kesempatan mentas secara daring.
Pementasan ini dilakukan secara daring. Dan disiarkan melalui
beberapa platform media sosial. Lenariknya lagi, pemenetasan kali ini didukung
oleh Komite
Penanganan Coronavirus Disease 2019 dan Pemulihan Ekonomi Nasional
(disingkat KPCPEN) sebuah komite yang dibentuk oleh pemerintah dalam
pemulihan ekonomi dan penanggulangan penyakit koronavirus 2019 dan Pandemi
COVID-19 di Indonesia. Komite ini dibentuk pada tanggal 20 Juli 2020 sesuai dengan
Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020.
“Dalam lakon yang dimainkan, kami menyisipkan pesan 5 M yakni
memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga
jarak, menjauhi kerumunan sert membatasi
mobilisasi dan interaksi.” Ujar Randi di sela-sela pementasan kemarin di Guns Cafe.
Selain itu, juga penyampaian program 3 T dalam penanganan
Covid 19. “Adapun maksud dari mendukung 3T tersebut adalah: bersedia melakukan
testing atau pengecekan kesehatan melalui rapid test dan tes swab jika
diperlukan; membuka diri terhadap proses tracing atau penelusuran kontak kasus
positif, serta segera menjalani treatment atau perawatan dengan benar apabila
merasakan gejala Covid-19,’ tambah Randi.
Pesan-pesan itu diselipkan dalam permainan
Dulmuluk berdurasi satu jam. Randi sendiri berperan sebagai Raja Abidin Syah,
sekaligus sutradara, Sementara, sang ayah yang
juga pelestari Dulmuluk tampak memberi dukungan dengan hadir di lokasi
pementasan.
Berawal dari Dulcik
Karier Randi di Dulmuluk sendiri dimulai sebagai Dulcik. Dulmuluk
Cilik. Belajarnya, ya di Pemulutan. “Kalau mau belajar, kami mudik ke sana,”
tuturnya. Pemulutan, termasuk wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), dan
setelah pemekaran, masuk wilayah Ogan Ilir (OI).
Dulu, papar Randi yang melanjutkan pendidikan di SMPN 45 dan
SMAN 10 Palembang, dia merasakan bagaimana ramainya undangan. Dalam seminggu,
hanya malam Jumat, yang kosong.
Acara
yang mengundang Dulmuluk, biasanya acara hajatan semisal perkawinan, khitanan,
ataupun syukuran lainnya. Namun seiring berkembangnya zaman, dan semakin modernnya
peradaban manusia maka kesenian teater Dul Muluk semakin ditinggalkan.
Terutama, ketika di tahun-tahun organ tunggal mulai merebak.
Skill teaternya, selain didapat dari Dul Muluk juga didapatnya dari teater di
sekolah, baik SMP maupu SMA. Yang paling banyak dan saya mulai sangat aktif di
Dul Muluk itu, antara tahun 2002 hingga 2007. “Sampai-sampai terkadang sering
telat ke sekolah, Karena memang pementasan itu biasanya dimulai setelah Isya
sampai sekitar jam 02-00 WIB. Jadi sekitar
6-7 jam setiap mentas,” ujarnya.
Honornya, berkisar Rp 15.000 sampai pernah Rp 25.000 per
orang. “Kalau untuk makan, biasanya dapat dari tuan rumah. Lumayan, idak cukup
honornyo tuh,” ujarnya berseloroh.
Kondisi
ini pulalah yang membuat dirinya dipaksa menyesuaikan diri. Setamat SMA, dia
bekerja di Studio Musik. Sesekali, dengan kebijakan pemilik studio, dia tetap
main Dul Muluk. Walau memang sudah agak berkurang. Ayahnya sendiri ketika mulai
sepi tanggapan, merapat ke
instansi-instansi. Dan sering diminta tampil untuk meramaikan kegiatan-kegiatan
tertentu. Dan itu bertahan hingga sekarang.
Untuk urusan musik, Randi sendiri ternyata sempat menikmati profesi
pengamen, di seputaran GOR Sriwijaya, yang waktu itu halamannya dibuka untuk
tempat kuliner malam hari.
Artinya,
rekondisi, bagi Randi senantiasa melekat di kesehariannya. Sampai akhirnya, dia
pun melanjutkan pendidikan strata 1 di Universitas PGRI Palembang, mengambil
jurusan musik. Setamat itu sempat menjadi guru di Sekayu, di SMPN 6 Unggulan
sebagai guru kesenian dan Eskul.
Namun, jiwa mudanya
tak mampu mengunci dirinya menghilang di dunia pendidikan. Dan, hanya
setahun, dia disebut menghilang, lalu kembali ke habitatnya. Ke dunia musik dan
Dul Muluk.
Ketika
pandemi merebak, maka jurus rekondisinya pun seakan terusik. Protokol kesehatan
yang membatasi aktivitas, membuat Dul Muluk dan juga petikan gitarnya menjadi
tersendat.
Mau
menampilkan Dulmuluk di daring dengan 15-20 pemain dengan durasi cerita yang
panjang, tentu tidak memungkinkan.
Karenanya dia pun mengubah format Dulmuluk menjadi seperti
sketsa yang pendek dan singkat, dengan durasi sekitar 3 sampai 5 menit. Kostum
dan peran, tetap digunakan. Tapi cerita dimodifikasi sedemikian rupa.
Sejak SD, Randi yang
sempat tiga kali pindah sekolah, dari SDN 129 Lebak Keranji, Lalu SDN 96 Balap
Sepeda, dan SDN 438 Plaju, sudah terbiasa bermain di istana negeri Barbari.
Pemain Dumuluk ini, semuanya lelaki. Kalaupun ada tokoh
perempuan, pemainnya adalah lelaki. Biasanya, menurut Randi, pementasan
Dulmuluk diiriingi oleh sedikitnya enam pemusik. Terdiri dari biola, bende (gong), jidur (beduk), dan bas senar.
Karenanya, sekali naik panggung, pemain yang terlibat antara 15 sampai 20 orang
termasuk pemusik.
Sempat ikut kegiatan mentas daring yang dibiayai oleh
Kemendikbud, lalu juga dibiayai oleh Diknas Sumatera Barat. Lalu dengan dana guliran dari Bank Indonesia, mementaskan lakon Dul Muluk dengan melibatkan
tiga grup Dul Muluk lainnya, Melati Jaya dan Karunia. “Itu semua merupakan
bagian dari jurus dan rekondisi yang bisa saling menyesuaikan,” ujar Randi yang
kini juga menguasai irama batanghari sembilan.
Diantara yang sedikit, Randi kini termasuk generasi milenial
pelestari Dul Muluk dan Irama Batang Hari Sembilan. Kondisi telah mengajarkan
dirinya untuk bisa selalui menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Bermain
peran di panggung telah mengajari kami banyak pengalaman. Pentas di panggung
dipelajari dari kehidupan sehari-hari.
“Barangkali itulah yang membuat kami bisa punya jurus
bersiasat. Terbiasa bersandiwara di panggung, dan untuk bersandiwara dengan lakon-lakon
itu, kami menyerap dari kehidupan sehari-hari,” ujarnya sedikit serius.
Paling tidak, manusia
memang punya kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi. Dalam kondisi
seperti apapun, seniman itu akan bertahan dan beradaptasi. Karena, seniman itu juga manusia. Pandemi telah
mengajarkan bahwa Covid 19 bukanlah penghalang untuk berkreasi. Tetapi, justru
memberi pintu masuk untuk bisa bertahan dan menyesuaikan diri. (muhamad nasir)