Jumat, 01 Januari 2010

Mir Senen Tutup usia



Budayawan Sumsel, Mir Senen Tutup Usia

Palembang:

Budayawan Sumsel H Muhammad Ali Gathmyr Senen alias Mir Senen meninggal dunia di usia ke-55 setelah didera penyempitan saraf otak, Jumat (1/1) Pukul 00.30 WIB di Rumah Sakit Dr AK Gani Palembang.

Usai disemayamkan di rumah duka yang juga kediaman kakak kandungnya H Jalili Senen, di Jalan Sekip, Lorong Belimbing II,No 5 Palembang, jenazah almarhum langsung diberangkatkan menuju peristirahatan terakhirnya pukul 10.00 WIB.

Pria kelahiran Palembang 5 Mei 1955 itu dikebumikan di Dusun Betung Kabupaten Banyuasin, berdekatan dengan makam kedua orangtuanya yang sudah lebih dulu meninggal dunia. Menurut adik kandung almarhum, Maryam Senen atau Nung Yah, sebelum meninggal dunia kesehatan kakaknya memang sempat terganggu, selain menderita prostat alhmarhum juga mengalami gagal ginjal dan stroke.

Puncaknya tiga hari lalu, almarhum terkena stroke dan dilarikan ke Rumah Sakit AK Gani. “Sebenarnya agak lama ya,tapi dia takut disuntik.Dia juga sempat berobat ke Malaysia dan agak baikan, tapi terakhir ada penyempitan syaraf di otaknya.Kita semua iklas dan sudah dimakamkan di makam keluarga di Betung,” jelasnya.

Terlahir dari keluarga “kayo lamo”, H Muhammad Ali Gathmyr Senen atau biasa dipanggil dengan Mir Senen, hingga kini menjadi pelestari budaya dan seni Sumatera Selatan (Sumsel).

Ribuan koleksinya tersimpan dengan baik dan desain-desain modifikasi songket karyanya seolah membawa pemakainya ke nuansa kejayaan Palembang tempo dulu.
Di Sumsel, siapa yang tidak mengenal Mir Senen. Pria kelahiran Palembang, 5 Mei 1955 ini, terkenal dengan kain songketnya yang eksklusif, mahal, dan bercita rasa tinggi.

Pelanggannya pun mulai dari presiden hingga pengusaha.
Mir Senen terlahir dari keluarga kaya-raya dari Palembang. Pada masa paceklik sekitar tahun 1960-an, mendekati masa pecahnya Gerakan Tiga Puluh September (Gestapu), ayahnya memperoleh banyak barang antik milik masyarakat yang ditukar dengan beras dan gula. Barang antik itu tidak hanya berupa barang pecah-belah melainkan juga kain-kain kuno yang sekarang sudah tak ternilai harganya.

Kini, barang-barang itu ditata rapi di galeri berlantai empat berukuran 20x5 meter di Jalan AKBP HM Amin, Palembang. Dia memang berencana membuat museum koleksi barang seni dan budaya Sumsel, yang nantinya akan diserahkan kepada pemerintah.
Koleksi benda-benda antik inilah yang kemudian menjadi titik awal usaha Mir. Pada mulanya, putra pasangan HM Senen dan Hj Cik Imah ini, tidak mendapat restu orang tua saat menekuni bidang seni. Ayahnya lebih senang kalau Mir kuliah di bidang hukum agar bisa membantu ayahnya yang tuan tanah dan sering punya masalah.
Mir kemudian kuliah di Fakultas Hukum Unsri. Namun ia lalu kabur dari rumah dan meneruskan ke Akademi Perhotelan dan Kepariwisataan Trisakti, Jakarta, dan mengantongi sertifikat tahun 1976. Usai itu ia pergi ke Yogyakarta, kemudian mendaftar diam-diam di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI).
Mir lulus, namun untuk masuk kuliah ia tidak punya uang lagi. Karena dihantui rasa takut tak bisa jadi seniman, Mir kemudian mengirim surat dan minta restu orang tuanya untuk menekuni bidang seni. (sir)

Tidak ada komentar: