Prosa di Genggaman Jurnalis
Judul: Bunga
Rampai 8 Jurnalis dari Bumi Sriwijaya
Editor: Maspriel Aries
Tebal: 179 hlm.
Penerbit: Institut Jurnalistik Palembang
Terbit: Januari, 2013
Jurnalis, menulis
berdasarkan fakta yang ada. Karena memang berdasarkan itulah sebuah berita yang harus disampaikan. Terkadang, tidak selamanya sang jurnalis menulis
berita dengan gaya penyajian
bersifat lugas tanpa ada diksi yang berbau sastra (straight news). Adakalanya berita tersebut harus disajikan dengan
gaya penyajian yang langsung menyentuh emosi pembaca, diksi berbau sastra (feature news). Bila demikian, jurnalis
juga sebenarnya seorang sastrawan ketika dia melaporkan berita dalam bentuk
feature itu.
Cerpen-cerpen yang
ditulis oleh delapan jurnalis dari Bumi Sriwijaya ini mengarah apa yang
disampaikan sebelumnya. Sebagian besar tema yang diangkat berangkat dari
realitas kehidupan yang biasa mereka temukan, baik cerita perjalanan mereka,
kisah percintaan yang romantis, maupun satire juga tak luput dari perhatian
penulis. Tema tentang sejarah yang sedikit berbeda dengan tema-tema lainnya
juga ditampilkan dalam
kumpulan cerpen ini.
Kedelapan jurnalis yang menampilkan cerpennya,
Anto Narasoma (Sumatera Ekspres): Tamu Misterius dari Laut Lepas dan Tragedi
Boncel dan Halimah; Iman Handiman (Berita Pagi): Dulmulek dan Dhuuut!; Imron
Supriyadi (Kabar Sumatera): Selamat Pagi, Mr. Gagu dan Ayam unutk Tuan Bupati;
Maspril Aries (Republika): Bunga di Bilik Jantungku dan Cinta Merdeka; Muhamad
Nasir (Sinar Harapan): Cinta Tak Berbumbu dan Gila Berhitung; Noparina Bahraq
(Palembang Pos): Mengejar Cinta mu Hingga Ujung Waktudan Togar Mencari Hanny di
Botol Tuak; Triono Junaidi (Sumatera Ekspres): Perempuan Muda di Sudut Café Ya
Shao dan Terpasung dalam Terungku Kaum Penjarah; Taufik Wijaya (Detik.com):
Mati atau Hidup Sebagai Anak Ibu dan Belanda Menjaga Makam Batanghari Sembilan.
Keanekaragaman
tema-tema yang ditawarkan, membuat pembaca bertambah kaya akan pengalaman kehidupan yang dinikmati. Kisah
tentang kaum papah dalam sisi
kehidupan yang tersingkirkan
sering menjadi bahan untuk dinarasikan. Betapa sulitnya mereka dalam
meminta hak mereka sebagai warga kemanusiaan yang tinggal di negari ini. Seperti Cerita Tragedi Boncel dan Halimah dalam kutipannya: “Oh, alangkah kejamnya rumah sakit ini. Padahal
saya sudah mendaftarkan diri dengan surat Jamkesmas. Ternyata surat ini tidak
ada gunanya sama sekali, begitu Halimah menangis. Suaranya membuat orang-orang
yang berobat di sana berpaling ke arahnya.” (hlm.35). Ataupun Kisah orang-orang kaya yang jiwa
kepekaan sosialnya sangat terbatas seperti dalam kutipan: “Kamu tidak punya
utang. Pinjaman itu langsung lunas. Lima bulan ke depan kamu tidak terima gaji
dulu,” kata Pak Dul, kali ini terdengar oleh Kemas seperti geledek.
(Dulmulek:46).
Bahasa-bahasa kiasan ataupun sindiran tentang
perilaku para pejabat di negeri ini dengan lugas disampaikan dalam alur yang
menarik. Tatkala pejabat yang hanya tunduk pada atasannya, bukan memikirkan
kepentingan rakyat yang menjadi kewajibannya seperti yang disampaikan dalam
cerpen Ayam untuk Tuan Bupati.
Terlepas dari itu semua, berita realitas
kehidupan yang setiap saat dijumpai oleh jurnalis layak untuk disajikan dalam bentuk
narasi untuk menggugah emosi
pembacanya.
Peresensi:
Darwin Effendi, M.Pd.
Staf Pengajar
Universitas PGRI Palembang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar