Selasa, 05 Maret 2013

Cerpen Delapan Jurnalis Sumsel

Prosa di Genggaman Jurnalis

Judul: Bunga Rampai 8 Jurnalis dari Bumi Sriwijaya
Editor: Maspriel Aries
Tebal: 179 hlm.
Penerbit: Institut Jurnalistik Palembang
Terbit: Januari, 2013

Jurnalis, menulis berdasarkan fakta yang ada. Karena memang berdasarkan itulah sebuah berita yang harus disampaikan. Terkadang, tidak selamanya sang jurnalis menulis berita dengan gaya penyajian bersifat lugas tanpa ada diksi yang berbau sastra (straight news). Adakalanya berita tersebut harus disajikan dengan gaya penyajian yang langsung menyentuh emosi pembaca, diksi berbau sastra (feature news). Bila demikian, jurnalis juga sebenarnya seorang sastrawan ketika dia melaporkan berita dalam bentuk feature itu.

Cerpen-cerpen yang ditulis oleh delapan jurnalis dari Bumi Sriwijaya ini mengarah apa yang disampaikan sebelumnya. Sebagian besar tema yang diangkat berangkat dari realitas kehidupan yang biasa mereka temukan, baik cerita perjalanan mereka, kisah percintaan yang romantis, maupun satire juga tak luput dari perhatian penulis. Tema tentang sejarah yang sedikit berbeda dengan tema-tema lainnya juga ditampilkan dalam kumpulan cerpen ini.

Kedelapan jurnalis yang menampilkan cerpennya, Anto Narasoma (Sumatera Ekspres): Tamu Misterius dari Laut Lepas dan Tragedi Boncel dan Halimah; Iman Handiman (Berita Pagi): Dulmulek dan Dhuuut!; Imron Supriyadi (Kabar Sumatera): Selamat Pagi, Mr. Gagu dan Ayam unutk Tuan Bupati; Maspril Aries (Republika): Bunga di Bilik Jantungku dan Cinta Merdeka; Muhamad Nasir (Sinar Harapan): Cinta Tak Berbumbu dan Gila Berhitung; Noparina Bahraq (Palembang Pos): Mengejar Cinta mu Hingga Ujung Waktudan Togar Mencari Hanny di Botol Tuak; Triono Junaidi (Sumatera Ekspres): Perempuan Muda di Sudut Café Ya Shao dan Terpasung dalam Terungku Kaum Penjarah; Taufik Wijaya (Detik.com): Mati atau Hidup Sebagai Anak Ibu dan Belanda Menjaga Makam Batanghari Sembilan.

Keanekaragaman tema-tema yang ditawarkan, membuat pembaca bertambah kaya akan pengalaman kehidupan yang dinikmati. Kisah tentang kaum papah dalam sisi kehidupan yang tersingkirkan sering menjadi bahan untuk dinarasikan. Betapa sulitnya mereka dalam meminta hak mereka sebagai warga kemanusiaan yang tinggal di negari ini. Seperti Cerita Tragedi Boncel dan Halimah dalam kutipannya: “Oh, alangkah kejamnya rumah sakit ini. Padahal saya sudah mendaftarkan diri dengan surat Jamkesmas. Ternyata surat ini tidak ada gunanya sama sekali, begitu Halimah menangis. Suaranya membuat orang-orang yang berobat di sana berpaling ke arahnya.” (hlm.35). Ataupun Kisah orang-orang kaya yang jiwa kepekaan sosialnya sangat terbatas seperti dalam kutipan: “Kamu tidak punya utang. Pinjaman itu langsung lunas. Lima bulan ke depan kamu tidak terima gaji dulu,” kata Pak Dul, kali ini terdengar oleh Kemas seperti geledek. (Dulmulek:46).

Bahasa-bahasa kiasan ataupun sindiran tentang perilaku para pejabat di negeri ini dengan lugas disampaikan dalam alur yang menarik. Tatkala pejabat yang hanya tunduk pada atasannya, bukan memikirkan kepentingan rakyat yang menjadi kewajibannya seperti yang disampaikan dalam cerpen Ayam untuk Tuan Bupati.

Terlepas dari itu semua, berita realitas kehidupan yang setiap saat dijumpai oleh jurnalis layak untuk disajikan dalam bentuk narasi untuk menggugah emosi pembacanya.

Peresensi:
Darwin Effendi, M.Pd.
Staf Pengajar Universitas PGRI Palembang



Tidak ada komentar: