Mimpi Go International Tukang Rumah Knock Down
Oleh : Muhamad Nasir (Sinar Harapan 2003)
PALEMBANG -
Rumah kayu punya ciri khas dibanding rumah batu. Oleh karena menyesuaikan perkembangan zaman, rumah kayu pun kini dibuat knock down atau bongkar-pasang, sehingga bisa didirikan di mana saja.Sayangnya, meski sudah mencoba berinovasi dengan rumah knock down, berbagai kendala membuat para tukang meranjat di Desa Tanjung Batu Seberang, Kecamatan Tanjung Batu, Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel), belum mampu menembus pasar internasional.
Di daerah lain yang juga memproduksi rumah knock down seperti Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan Bali, usaha rumah jenis ini memang banyak diminati orang asing dan menjadi langganan para bintang film kelas dunia. Menurut Syarifuddin, salah seorang pengusaha rumah knock down di Tanjung Batu, dari segi ketahanan rumah made in Tanjung Batu Seberang masih di atas produk Bali. Hanya saja karena berbagai kendala seperti permodalan dan akses pasar, peluang untuk go international masih sebatas impian.
Desa Tanjung Batu Seberang berjarak 65 km dari Palembang, bisa ditempuh dalam waktu 1,5 jam. Desa-desa di Kecamatan Tanjung Batu seperti Tanjung Batu, Tanjung Atap, dan sekitarnya termasuk Desa Tanjung Batu Seberang yang berpenduduk sekitar 1.500 keluarga tersebut, memang sejak lama memiliki tenaga terampil pertukangan sehingga kerap disebut tukang meranjat.
Kemahsyurannya sebagai daerah pemasok tenaga pertukangan berkualitas itu juga dikenal sampai ke Bengkulu, Jambi, dan Lampung. Seiring perkembangan zaman, walaupun sudah banyak tergeser oleh bangunan permanen, upaya untuk meneruskan kebiasaan turun-temurun ini tetap berjalan. Cerita digdayanya rumah knock down bikinan Desa Tanjung Batu Seberang memang bukan tanpa alasan.
Menurut Mang Din, demikian Syarifuddin kerap disapa, ini terbukti saat terjadinya gempa bumi di Liwa, Lampung Selatan, tahun 1990-an. ”Ada warga sedang memasang rumah di sana. Sedang asyik bekerja tiba-tiba terjadi gempa, rumah di daerah itu banyak yang rubuh atau retak-retak, sementara rumah panggung kayu yang sudah terpasang tidak rubuh,” tuturnya.
Seperti lazimnya rumah-rumah adat di Pulau Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan yang memakai tiang, rumah-rumah desa di sini pun demikian. Konon, ihwal tiang yang menopang rumah itu tidak lepas dari upaya warga untuk menghindari serangan binatang buas.Dan kini, saat banjir sering melanda Tanah Air, pilihan terhadap rumah kayu bertiang mungkin perlu dipertimbangkan. Di Sumatera, terutama pedesaannya, membangun rumah bertiang juga sebagai antisipasi kalau-kalau terjadi banjir. Minimal, kalau banjir yang melanda tingginya mencapai 1-2 meter, dijamin air belum akan masuk rumah.
Sesuai dengan namanya, rumah bongkar-pasang alias knock down ini berupa rumah yang sudah terpasang, yang kemudian dapat dibongkar kembali. Untuk memudahkan pemasangan nantinya, sembari dibongkar bagian-bagian rumah seperti dinding, jendela, serta kerangka-kerangka rumah tersebut diberi tanda sesuai dengan nomor urut. Bagian-bagian rumah ini nantinya tinggal dipasang kembali begitu tiba di lokasi pemesan.
Tiga Ukuran
Untuk memesan rumah ini disediakan tiga ukuran standar, yakni 5x7 meter, 7x10 meter, serta 7x12 meter. Ukuran 5x7 meter paling banyak diminati, meskipun yang paling sering dikehendaki konsumen bukan hanya ukuran tetapi bagian ornamennya.“Mereka ingin ornamen khusus yang tidak kita miliki agar penampilan rumah ini menarik,” kata Mang Din, kakek sembilan cucu yang masih terlihat awet muda ini.
Untuk mengerjakan rumah ukuran 5x7 meter diperlukan 3-4 pekerja dalam dua bulan, dan tiga bulan untuk ukuran 7x10 m dan 7x12 m. Harganya Rp 1.200.000/meter, tidak termasuk bagian genting (atap), tiang, dan plafon. Harga itu sudah termasuk ongkos angkut dan pasang di tempat pemesan, tetapi harga ini hanya untuk sampai Kota Bandung dan sekitarnya. Untuk bagian dinding dan lantai, terdiri dari kayu meranti atau kayu duren yang didapat dari daerah Beringin, Muara Enim. Sementara itu, tulang (kusen) dibuat dari kayu seru dari Palembang dan dari desa-desa di sekitar Tanjung Batu. Tetapi belakangan ini pasokan bahan baku tersebut sulit didapat dan harganya melonjak. Satu kubik kayu seru berukuran panjang lebih empat meter harganya Rp 1.800.000, sedangkan di bawah empat meter Rp 1.200.000.
Sementara itu, kayu duren Rp 1.200.000 dan meranti Rp 2.000.000. Selain merambah berbagai daerah di Sumatera Selatan, pangsa pasar rumah knock down juga sampai ke Medan, Lampung, Padang, Pekanbaru, Jakarta, Bekasi, Bogor, Bandung, dan sekitarnya. Usaha rumah bongkar-pasang buatan Desa Tanjung Batu Seberang sempat merambah Spanyol beberapa tahun silam. Sayangnya, dari empat unit pesanan yang bisa dilayani hanya satu unit.“Pemasangan dilakukan orang sana (Spanyol) berdasarkan petunjuk di handycam yang sebelumnya mereka rekam. Kalau kami sendiri yang memasang, biaya menjadi tinggi karena besarnya ongkos ke sana,” jelas Mang Din.
Bupati Ogan Ilir Mawardi Yahya memberikan perhatian khusus kepada usaha kecil menengah (UKM) yang banyak terdapat di daerahnya. “Hanya saja saat ini baru sebatas pemberian pembinaan manajemen dan bimbingan menembus pasar. Sementara itu, untuk bantuan permodalan, masih terkendala dana,” tuturnya.Mau mencoba memiliki rumah knock down? Mungkin Anda perlu mengunjungi Desa Tanjung Batu. Sembari berwisata, apa salahnya kita sekaligus mencari bangunan yang bisa memberi nuansa baru di saat harga bahan bangunan terus melonjak. n
Minggu, 31 Agustus 2008
Kota
Setelah 61 Tahun, Sumsel Pertama Kali Peringati HUT
Senin, 14 Mei 2007
Palembang - Sumatera Selatan menjadi provinsi ditetapkan 15 Mei 1946 atau setahun setelah negara Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Meski umurnya lebih muda satu tahun dengan usia RI, baru tahun ini peringatan hari ulang tahun (HUT) dirayakan.Selama ini, memang polemik yang berkembang membuat kapan lahirnya provinsi Sumsel belum dapat dipastikan. Melalui kajian historis dan akademis, akhirnya baru tahun ini ditetapkan hari lahir Sumsel tanggal 15 Mei 1946. Saat pembentukan struktur pemerintahan di Pulau Sumatera yang terbagi dalam tiga subprovinsi, subprovinsi Sumatera Utara, subprovinsi Sumatera Tengah, dan subprovinsi Sumatera Selatan.
Menurut Febrian Ketua Tim Penyusun naskah akademis, Raperda Hari Jadi Sumsel, setelah proklamasi 17 Agustus 1945 PPKI dalam rapatnya tanggal 19 Agustus 1945 menetapkan pembagian daerah Republik Indonesia ke dalam delapan provinsi yang masing-masing dikepalai gubernur. Kedelapan provinsi itu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Berneo, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil.Saat itu, provinsi dibagi dalam keresidenan yang dikepalai residen gubernur. Provinsi Sumatera terdiri dari 10 keresidenan dan untuk pertama kali ditunjuk sebagai Gubernur Sumatera adalah Tengku Muhamad Hasan.
Dalam perkembangannnya melalui UU No 10 tahun 1948 tentang pemerintahan Sumatera, Provinsi Sumatera dimantapkan jadi tiga provinsi, yakni Provinsi Sumatera Utara, Sumatera tengah, dan Provinsi Sumatera Selatan. Kedudukan ketiga provinsi ini bersifat otonom.
Gubernur Sumatera Selatan yang pertama adalah dr M Isa yang dilantik Presiden RI Soekarno di Bengkulu pertengahan 1948 dan berkedudukan di Curup. Untuk wakil pemerintah pusat terdapat Komisaris Pemerintah Pusat (Kompempus) di Sumatera yang berkedudukan di Bukit Tinggi.
Cukup Rumit
Identifikasi dan penetapan hari jadi Sumsel cukup rumit dan panjang. Dimulai 2005 dengan dibentuknya tim penetapan Hari Jadi Provinsi Sumatera Selatan. Terdiri dari berbagai unsur, di antaranya Dewan Pembina adat Sumsel, Dewan Harian Daerah (DHD) 1945, Unsri, Pascasarjana Unsri, Fakultas Hukum Unsri, Staf Ahli Gubernur bidang pemerintahan, Dewan Kesenian Palembang.
Berdasarkan beberapa metode pendekatan, tim ini kemudian menyimpulkan hari jadi Provinsi Sumatera Selatan ditetapkan 15 Mei 1946. Saat Provinsi Sumatera menjadi tiga subprovinsi.Penentuan itu mengacu pendapat para pakar, seperti H Ali Amin mantan pejuang dan mantan gubernur Sumsel.
“Saya mengalami betul kejadian di mana pemerintah Provinsi Sumatera Selatan berada di Curup dalam pengungsian karena Palembang diduduki Belanda dan saat itu, di tahun 1948 Gubernur Sumsel yang pertama dilantik Presiden, dr M Isa,” ujarnya.
Prof AW Wijaya mengemukakan dalam pandangan sosiologis memang provinsi Sumsel telah ada saat diumumkan pembagunan wilayah Sumatera menjadi tiga subprovinsi. Begitu juga Prof Amzulian Rivai berpendapat secara sosiologis Sumsel telah ada sejak diumumkan Sumatera menjadi tiga subprovinsi.Tahun ini, Provinsi Sumsel yang kemudian wilayahnya menyusut setelah pemekaran Provinsi Bangka-Belitung tahun 2000, dipastikan memiliki hari jadi yang bisa diperingati setiap tahun dengan berbagai aktivitas dan kegiatan.
Dipastikan, Perda Hari Jadi Provinsi Sumsel akan diketok palu oleh DPRD Sumsel, 15 Mei 2007 di Gedung DPRD Sumsel. Lalu diikuti puncak peringatan di Griya Agung yang juga dihadiri beberapa gubernur provinsi tetangga.Ketua DPRD Zamzami Ahmad menyatakan Hari Jadi Sumsel dibahas dalam rapat paripurna. Kalau disetujui, tentu warga Sumsel boleh bergembira.
Sementara itu, Gubernur Sumsel Syahrial Oesman menyatakan bahwa peringatan hari jadi bukan hanya untuk kegiatan seremonial semata, melainkan menjadi titik tolak berpikir dan indikasi pembangunan. Sejak lahir hingga sekarang dapat dibandingkan apa-apa yang telah tercapai dan apa saja kendala yang harus diatasi bersama dalam membangun daerah ini.(muhamad nasir)
Copyright © Sinar Harapan 2003
Senin, 14 Mei 2007
Palembang - Sumatera Selatan menjadi provinsi ditetapkan 15 Mei 1946 atau setahun setelah negara Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Meski umurnya lebih muda satu tahun dengan usia RI, baru tahun ini peringatan hari ulang tahun (HUT) dirayakan.Selama ini, memang polemik yang berkembang membuat kapan lahirnya provinsi Sumsel belum dapat dipastikan. Melalui kajian historis dan akademis, akhirnya baru tahun ini ditetapkan hari lahir Sumsel tanggal 15 Mei 1946. Saat pembentukan struktur pemerintahan di Pulau Sumatera yang terbagi dalam tiga subprovinsi, subprovinsi Sumatera Utara, subprovinsi Sumatera Tengah, dan subprovinsi Sumatera Selatan.
Menurut Febrian Ketua Tim Penyusun naskah akademis, Raperda Hari Jadi Sumsel, setelah proklamasi 17 Agustus 1945 PPKI dalam rapatnya tanggal 19 Agustus 1945 menetapkan pembagian daerah Republik Indonesia ke dalam delapan provinsi yang masing-masing dikepalai gubernur. Kedelapan provinsi itu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Berneo, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil.Saat itu, provinsi dibagi dalam keresidenan yang dikepalai residen gubernur. Provinsi Sumatera terdiri dari 10 keresidenan dan untuk pertama kali ditunjuk sebagai Gubernur Sumatera adalah Tengku Muhamad Hasan.
Dalam perkembangannnya melalui UU No 10 tahun 1948 tentang pemerintahan Sumatera, Provinsi Sumatera dimantapkan jadi tiga provinsi, yakni Provinsi Sumatera Utara, Sumatera tengah, dan Provinsi Sumatera Selatan. Kedudukan ketiga provinsi ini bersifat otonom.
Gubernur Sumatera Selatan yang pertama adalah dr M Isa yang dilantik Presiden RI Soekarno di Bengkulu pertengahan 1948 dan berkedudukan di Curup. Untuk wakil pemerintah pusat terdapat Komisaris Pemerintah Pusat (Kompempus) di Sumatera yang berkedudukan di Bukit Tinggi.
Cukup Rumit
Identifikasi dan penetapan hari jadi Sumsel cukup rumit dan panjang. Dimulai 2005 dengan dibentuknya tim penetapan Hari Jadi Provinsi Sumatera Selatan. Terdiri dari berbagai unsur, di antaranya Dewan Pembina adat Sumsel, Dewan Harian Daerah (DHD) 1945, Unsri, Pascasarjana Unsri, Fakultas Hukum Unsri, Staf Ahli Gubernur bidang pemerintahan, Dewan Kesenian Palembang.
Berdasarkan beberapa metode pendekatan, tim ini kemudian menyimpulkan hari jadi Provinsi Sumatera Selatan ditetapkan 15 Mei 1946. Saat Provinsi Sumatera menjadi tiga subprovinsi.Penentuan itu mengacu pendapat para pakar, seperti H Ali Amin mantan pejuang dan mantan gubernur Sumsel.
“Saya mengalami betul kejadian di mana pemerintah Provinsi Sumatera Selatan berada di Curup dalam pengungsian karena Palembang diduduki Belanda dan saat itu, di tahun 1948 Gubernur Sumsel yang pertama dilantik Presiden, dr M Isa,” ujarnya.
Prof AW Wijaya mengemukakan dalam pandangan sosiologis memang provinsi Sumsel telah ada saat diumumkan pembagunan wilayah Sumatera menjadi tiga subprovinsi. Begitu juga Prof Amzulian Rivai berpendapat secara sosiologis Sumsel telah ada sejak diumumkan Sumatera menjadi tiga subprovinsi.Tahun ini, Provinsi Sumsel yang kemudian wilayahnya menyusut setelah pemekaran Provinsi Bangka-Belitung tahun 2000, dipastikan memiliki hari jadi yang bisa diperingati setiap tahun dengan berbagai aktivitas dan kegiatan.
Dipastikan, Perda Hari Jadi Provinsi Sumsel akan diketok palu oleh DPRD Sumsel, 15 Mei 2007 di Gedung DPRD Sumsel. Lalu diikuti puncak peringatan di Griya Agung yang juga dihadiri beberapa gubernur provinsi tetangga.Ketua DPRD Zamzami Ahmad menyatakan Hari Jadi Sumsel dibahas dalam rapat paripurna. Kalau disetujui, tentu warga Sumsel boleh bergembira.
Sementara itu, Gubernur Sumsel Syahrial Oesman menyatakan bahwa peringatan hari jadi bukan hanya untuk kegiatan seremonial semata, melainkan menjadi titik tolak berpikir dan indikasi pembangunan. Sejak lahir hingga sekarang dapat dibandingkan apa-apa yang telah tercapai dan apa saja kendala yang harus diatasi bersama dalam membangun daerah ini.(muhamad nasir)
Copyright © Sinar Harapan 2003
Bukit siguntang penuh misteri
Bukit Siguntang Yang Penuh Misteri
Oleh Muhamad Nasir (sinar harapan)
PALEMBANG-Kawasan Bukit Siguntang di Bukit Besar Palembang menyimpan misteri. Meski demikian, hal itu tak mengurungkan niat banyak orang untuk mengunjungi kawasan ini, yang ketinggiannya sekitar 27 meter di atas permukaan laut. Jika berada di atas bukit, kita memang bisa memandang sebagian Kota Palembang.
Tujuh makam tokoh yang terkenal dalam cerita rakyat yang sempat tersohor pada zaman Kesultanan Palembang ada di bukit ini. Ketujuh makam itu Makam Raja Sigentar Alam, Panglima Tuan Djundjungan, Putri Kembang Dadar, Putri Rambut Selako, Pangeran Raja Batu Api, Panglima Bagus Sekuning, dan Makam Panglima Bagus Karang.
Berdasarkan cerita legenda dan dongeng, setiap tokoh yang dimakamkan itu memiliki kharisma dan sejarah masing-masing. Kini, masing-masing makam yang berada di kaki bukit dan mengarah ke puncak bukit masih terawat baik. Bukit ini terletak di Kelurahan Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat (IB) I Palembang, Sumatera Selatan.
Sama halnya dengan jalan-jalan yang diabadikan dengan menggunakan nama tokoh-tokoh itu di dalam Kota Palembang. Hanya saja, sayangnya tak ada petunjuk khusus yang bisa didapatkan soal sejarah dan bagaimana keberadaan makam-makam itu. Di depan makam hanya tertulis nama tokoh, tanpa keterangan sedikit pun.
Dari juru kunci yang bertugas menjaga makam pun tak banyak diperoleh informasi. Misteri yang dibawa pengunjung sejak awal tak menguak misteri tersebut sepulangnya dari kunjungan ke Bukit Siguntang tersebut.
Sarkasih, salah seorang juru kunci, punya versi lain dibanding juru kunci lainnya mengenai keberadaan tokoh yang dimakamkan. Menurutnya, para tokoh itu berasal dari masa akhir Kerajaan Sriwijaya dari Mataram Hindu. Ada juga yang merupakan keturunan Majapahit. Sulaiman, juru kunci lainnya, menyatakan Panglima Bagus Sekuning dan Bagus Karang juga dimakamkan di bukit ini.
Versi lain menyatakan bahwa Panglima Bagus Kuning dimakamkan di kawasan Bagus Kuning, Plaju, Palembang. Di sini memang ditemukan juga bukti-bukti bekas makam. Namanya pun diabaikan sebagai kawasan Bagus Kuning. Banyak monyet berkeliaran di sekitar lokasi ini yang kemudian dibangun Lapangan Sepakbola, Patra Jaya.
Kondisi Bukit Siguntang sendiri, meski telah lama menjadi objek wisata, terlihat seperti tak terawat. Rumput liar memenuhi bukit, meski tangga batu masih terlihat utuh yang memudahkan pengunjung menuju ke masing-masing makam. Dengan karcis masuk Rp 2.000 saat hari libur, bukit ini justru dijadikan tempat pacaran bagi anak-anak muda. Oleh karenanya, misteri makam itu pun tak menjadi soal bagi mereka.
Hanya bagi pengunjung yang ingin berwisata sejarah atau bagi anak-anak sekolah yang dibawa gurunya ke lokasi ini, hal itu menjadi persoalan. Apalagi, menurut anak-anak, mereka umumnya tak mendapati sejarah para tokoh dalam buku pelajaran. Justru dari para juru kunci inilah mereka mendapat informasi keberadaan para tokoh tersebut, juga dari cerita dari mulut ke mulut. Itu pun dengan versi dan jalan cerita yang berbeda-beda.
Seorang peneliti Balai Arkeologi Palembang, Retno Purwanti, menjelaskan bahwa Bukit Siguntang sesungguhnya pernah menjadi pusat Kerajaan Palembang yang dipimpin Parameswara, seorang adipati Kerajaan Majapahit. Sekitar tahun 1511 Parameswara memisahkan diri dari Majapahit dan merantau ke Malaka. Pusat BuddhaSempat bentrok dengan Portugis, sang adipati kemudian menikah dengan putri penguasa Malaka dan menjadi raja. Keturunannya kemudian menjadi raja-raja Melayu yang berkuasa di Malaysia, Singapura, dan Sumatera.
Lalu sekitar tahun 1554 muncul Kerajaan Palembang yang dirintis Ki Gede Ingsuro, pelarian dari Pajang, Jawa Tengah. Bukit Siguntang ini dikeramatkan karena dua orang panglimanya yang gugur saat menunudukkan pasukan Kesultanan Banten yang menyerang Palembang, kemudian dimakamkan di bukit ini.
Karena itulah diyakini, bukit ini menjadi pusat studi keagamaan Buddha. Apalagi, berdasarkan informasi diketahui tahun 1920 ditemukan patung (arca) Buddha bergaya seni Amarawati yang merupakan raut wajah Srilangka dari abad XI Masehi dan sekarang ditempatkan di halaman Museum Sultan Mahmud Badaruddin II di samping Jembatan Ampera Palembang.
Lalu ada sejumlah peninggalan Kerajaan Dapunta Hyang Srijayanasa, kemudian kapal Sriwijaya dan prasasti Bukit Siguntang, yang bisa menjadi bukti penting tentang keberadaan Sriwijaya.
Oleh karenanya, tak heran kalau dipercaya dahulu pernah bermukim 1.000 pendeta Buddha di kawasan tersebut. Dan sekarang pun, pada waktu-waktu tertentu, bukit ini dijadikan tempat berdoa bagi para pendeta Buddha.
Untuk mencapai lokasi bukit misteri ini, Anda bisa menggunakan angkutan kota atau bus kota jurusan Bukit Besar, dengan ongkos Rp 2.000 sekali jalan. Sebut saja berhenti di Taman atau Bukit Siguntang, dijamin Anda bisa menemukan lokasinya.
Meski tak bisa menjamin akan mendapatkan jawaban atas misteri para tokoh yang dimakamkan di bukit ini, minimal Anda akan melihat bukti nyata bahwa para tokoh dalam cerita itu dan lokasi makam yang cantik, memang ada.
profil
Sahilin, Tunanetra Pelestari Kesenian Batanghari Sembilan
Oleh Muhamad Nasir
PALEMBANG - Sosok Sahilin (59) bagi masyarakat Sumatera Selatan demikian melekat, teristimewa bila bicara soal Kesenian Batanghari Sembilan yang menjadi ciri khas daerah ini.Sekalipun untuk menuju ke rumahnya harus melalui lorong sempit di atas rawa-rawa di kawasan 35 Ilir Palembang, mencari Sahilin tidaklah sulit. Mulai dari jalan raya di depan Pelabuhan 35 Ilir Palembang, nama pria eksentrik ini sudah dikenal. Hanya saja, karena banyaknya gang kecil dan persimpangan, menanyakan anak kedua dari sembilan bersaudara ini tidaklah cukup bila sekali, terutama bagi yang baru pertama kali datang ke sini.
Di antara banyaknya seniman pelantun Batanghari Sembilan, nama Sahilin tetaplah menjadi maskot. Ketekunannya menggeluti kesenian tradisional ini membuat simpati banyak kalangan, termasuk akademi dan lembaga dari dalam maupun luar negeri seperti Philip Yampolsky dari Ford Foundations, yang pernah melakukan penelitian tahun 1992.
”Rasanya senang dan bangga didatangi orang-orang besar seperti itu. Saya tidak menyangka jika keberadaan saya di kesenian tradisional ini menjadi perhatian mereka,” kata Sahilin kepada SH yang mengunjungi kediamannya di Lorong Kedukan Bukit, 35 Ilir Palembang, belum lama ini.Belum jelas betul dari mana asal-usul nama kesenian ini sampai dinamakan Kesenian Batanghari Sembilan.
Yang jelas, penamaan itu tidak lepas dari keberadaan daerah ini sebagai daerah Batanghari Sembilan (sembilan sungai yang semuanya bermuara ke Sungai Musi). Namun menurut Sahilin, istilah ini pertama kali diperkenalkan (alm) Djaafar Malik, seorang seniman asal Lahat.
Kesenian Batanghari Sembilan berisikan pantun-pantun kehidupan sehari-hari, mulai dari masalah cinta, derita dan nasib kehidupan, pengalaman pribadi, sampai fenomena yang terjadi di masyarakat. Biasanya pantun dibawakan dengan iringan petikan gitar tunggal, lantunan jenaka, sampai lantunan mendayu-dayu penuh ratapan.
Ciri khas Sahilin lainnya di setiap penampilannya adalah kaca mata hitam untuk menutup matanya yang buta.Sejak berusia lima tahun, pria kelahiran 1948 Dusun Benawe, Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) ini, mengalami kebutaan akibat penyakit cacar yang diidapnya. Ketika ayahnya, Muhammad Saleh, wafat, pria yang buta huruf (baik latin maupun braile) ini dibesarkan oleh Demah, ibunya.
Pedih dan pahitnya kehidupan yang dialaminya tertuang dalam lagunya Sukat Malang.Sahilin juga piawai membawakan pantun atau syairnya yang lucu tentang keseharian muda-mudi atau orang yang sedang jatuh cinta, seperti lagu Buruk Tegantung yang populer lima tahun belakangan ini. Bahkan ungkapan buruk tegantung yang menyindir lelaki terlambat kawin alias bujang lapuk (bujang tua) ini, telah menjadi bahasa gaul yang sangat populer di daerah ini. Syair-syair lagunya semua hasil karyanya. Umumnya syairnya cukup panjang. Lagu Sukat Malang, misalnya, terdiri dari 10 bait. Bahkan ada juga syairnya yang mencapai 20-30 bait.Gitar dari AyahBakat seni Sahilin didapat dari ayahnya, Muhammad Saleh, seorang petani karet yang pernah menjadi tentara musik untuk Jepang.
Pemberian gitar ayahnya menjadi kenangan yang tidak terlupakan karena dari sinilah dia mulai tertarik menembang. Sejak itulah, saat orang tuanya pergi ke kebun menyadap getah karet, dia menghibur diri dengan bermain gitar.”Sejak bisa main gitar itulah saya bisa nembang lagu. Terkadang ayah saya main gitar dan saya yang bernyanyi,” kata anak kedua dari sembilan bersaudara ini, mengenang.
Dalam setiap pementasan, dan sejak dikenal luas sebagai pelantun lagu-lagu daerah tahun 1974, dia hampir selalu didampingi pedendang perempuan. Dari sekian banyak rekan duetnya, yang paling lama adalah Siti Rohmah yang menemaninya sejak 1972 sampai sekarang. Nama lainnya antara lain Robama, Layani, Zainab, Solbani, Ridaw, Chadijah, dan Cik Misah.
Petikan gitarnya yang monoton namun jernih dan unik, membuat banyak penonton terkesima. Walapun masih berada di pinggiran, belakangan Kesenian Batanghari Sembilan berhasil mencuri simpati kalangan anak muda. Mereka tidak lagi menempatkan seni ini sebagai jenis seni kampungan.“Walaupun aransemen dan syairnya sederhana, justru itulah daya tariknya. Di tengah maraknya berbagai kesenian instan saat ini, kesenian daerah ini masih menarik,” ujar Fitriansyah, seorang musisi muda di Palembang.
Di rumah panggung yang sederhana di sebuah gang sempit, Sahilin hidup bersahaja bersama istrinya, Semah (48) dan tiga anaknya—Saidina (23), Sulaiman (21), Syarwani (17)—serta seorang menantu. Demikian sederhananya kediaman berukuran 5x8 meter di atas rawa itu, karena hampir tanpa penyekat, kecuali dinding pemisah ruang depan, ruang tidur, dan dapur. Rumah ini konon dibeli Sahilin dari hasil rekaman lagu-lagu daerah yang dilantunkannya itu.
Dikutip dari Sinar Harapan
Oleh Muhamad Nasir
PALEMBANG - Sosok Sahilin (59) bagi masyarakat Sumatera Selatan demikian melekat, teristimewa bila bicara soal Kesenian Batanghari Sembilan yang menjadi ciri khas daerah ini.Sekalipun untuk menuju ke rumahnya harus melalui lorong sempit di atas rawa-rawa di kawasan 35 Ilir Palembang, mencari Sahilin tidaklah sulit. Mulai dari jalan raya di depan Pelabuhan 35 Ilir Palembang, nama pria eksentrik ini sudah dikenal. Hanya saja, karena banyaknya gang kecil dan persimpangan, menanyakan anak kedua dari sembilan bersaudara ini tidaklah cukup bila sekali, terutama bagi yang baru pertama kali datang ke sini.
Di antara banyaknya seniman pelantun Batanghari Sembilan, nama Sahilin tetaplah menjadi maskot. Ketekunannya menggeluti kesenian tradisional ini membuat simpati banyak kalangan, termasuk akademi dan lembaga dari dalam maupun luar negeri seperti Philip Yampolsky dari Ford Foundations, yang pernah melakukan penelitian tahun 1992.
”Rasanya senang dan bangga didatangi orang-orang besar seperti itu. Saya tidak menyangka jika keberadaan saya di kesenian tradisional ini menjadi perhatian mereka,” kata Sahilin kepada SH yang mengunjungi kediamannya di Lorong Kedukan Bukit, 35 Ilir Palembang, belum lama ini.Belum jelas betul dari mana asal-usul nama kesenian ini sampai dinamakan Kesenian Batanghari Sembilan.
Yang jelas, penamaan itu tidak lepas dari keberadaan daerah ini sebagai daerah Batanghari Sembilan (sembilan sungai yang semuanya bermuara ke Sungai Musi). Namun menurut Sahilin, istilah ini pertama kali diperkenalkan (alm) Djaafar Malik, seorang seniman asal Lahat.
Kesenian Batanghari Sembilan berisikan pantun-pantun kehidupan sehari-hari, mulai dari masalah cinta, derita dan nasib kehidupan, pengalaman pribadi, sampai fenomena yang terjadi di masyarakat. Biasanya pantun dibawakan dengan iringan petikan gitar tunggal, lantunan jenaka, sampai lantunan mendayu-dayu penuh ratapan.
Ciri khas Sahilin lainnya di setiap penampilannya adalah kaca mata hitam untuk menutup matanya yang buta.Sejak berusia lima tahun, pria kelahiran 1948 Dusun Benawe, Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) ini, mengalami kebutaan akibat penyakit cacar yang diidapnya. Ketika ayahnya, Muhammad Saleh, wafat, pria yang buta huruf (baik latin maupun braile) ini dibesarkan oleh Demah, ibunya.
Pedih dan pahitnya kehidupan yang dialaminya tertuang dalam lagunya Sukat Malang.Sahilin juga piawai membawakan pantun atau syairnya yang lucu tentang keseharian muda-mudi atau orang yang sedang jatuh cinta, seperti lagu Buruk Tegantung yang populer lima tahun belakangan ini. Bahkan ungkapan buruk tegantung yang menyindir lelaki terlambat kawin alias bujang lapuk (bujang tua) ini, telah menjadi bahasa gaul yang sangat populer di daerah ini. Syair-syair lagunya semua hasil karyanya. Umumnya syairnya cukup panjang. Lagu Sukat Malang, misalnya, terdiri dari 10 bait. Bahkan ada juga syairnya yang mencapai 20-30 bait.Gitar dari AyahBakat seni Sahilin didapat dari ayahnya, Muhammad Saleh, seorang petani karet yang pernah menjadi tentara musik untuk Jepang.
Pemberian gitar ayahnya menjadi kenangan yang tidak terlupakan karena dari sinilah dia mulai tertarik menembang. Sejak itulah, saat orang tuanya pergi ke kebun menyadap getah karet, dia menghibur diri dengan bermain gitar.”Sejak bisa main gitar itulah saya bisa nembang lagu. Terkadang ayah saya main gitar dan saya yang bernyanyi,” kata anak kedua dari sembilan bersaudara ini, mengenang.
Dalam setiap pementasan, dan sejak dikenal luas sebagai pelantun lagu-lagu daerah tahun 1974, dia hampir selalu didampingi pedendang perempuan. Dari sekian banyak rekan duetnya, yang paling lama adalah Siti Rohmah yang menemaninya sejak 1972 sampai sekarang. Nama lainnya antara lain Robama, Layani, Zainab, Solbani, Ridaw, Chadijah, dan Cik Misah.
Petikan gitarnya yang monoton namun jernih dan unik, membuat banyak penonton terkesima. Walapun masih berada di pinggiran, belakangan Kesenian Batanghari Sembilan berhasil mencuri simpati kalangan anak muda. Mereka tidak lagi menempatkan seni ini sebagai jenis seni kampungan.“Walaupun aransemen dan syairnya sederhana, justru itulah daya tariknya. Di tengah maraknya berbagai kesenian instan saat ini, kesenian daerah ini masih menarik,” ujar Fitriansyah, seorang musisi muda di Palembang.
Di rumah panggung yang sederhana di sebuah gang sempit, Sahilin hidup bersahaja bersama istrinya, Semah (48) dan tiga anaknya—Saidina (23), Sulaiman (21), Syarwani (17)—serta seorang menantu. Demikian sederhananya kediaman berukuran 5x8 meter di atas rawa itu, karena hampir tanpa penyekat, kecuali dinding pemisah ruang depan, ruang tidur, dan dapur. Rumah ini konon dibeli Sahilin dari hasil rekaman lagu-lagu daerah yang dilantunkannya itu.
Dikutip dari Sinar Harapan
profil
Muhammad Ali Gathmyr Senen, Pelestari Seni Sumsel
OlehMuhamad Nasir
PALEMBANG - Terlahir dari keluarga “kayo lamo”, H Muhammad Ali Gathmyr Senen atau biasa dipanggil dengan Mir Senen, hingga kini menjadi pelestari budaya dan seni Sumatera Selatan (Sumsel).Ribuan koleksinya tersimpan dengan baik dan desain-desain modifikasi songket karyanya seolah membawa pemakainya ke nuansa kejayaan Palembang tempo dulu. Di Sumsel, siapa yang tidak mengenal Mir Senen. Pria kelahiran Palembang, 5 Mei 1955 ini, terkenal dengan kain songketnya yang eksklusif, mahal, dan bercita rasa tinggi. Pelanggannya pun mulai dari presiden hingga pengusaha. Mir Senen terlahir dari keluarga kaya-raya dari Palembang. Pada masa paceklik sekitar tahun 1960-an, mendekati masa pecahnya Gerakan Tiga Puluh September (Gestapu), ayahnya memperoleh banyak barang antik milik masyarakat yang ditukar dengan beras dan gula. Barang antik itu tidak hanya berupa barang pecah-belah melainkan juga kain-kain kuno yang sekarang sudah tak ternilai harganya. Kini, barang-barang itu ditata rapi di galeri berlantai empat berukuran 20x5 meter di Jalan AKBP HM Amin, Palembang. Dia memang berencana membuat museum koleksi barang seni dan budaya Sumsel, yang nantinya akan diserahkan kepada pemerintah.Koleksi benda-benda antik inilah yang kemudian menjadi titik awal usaha Mir. Pada mulanya, putra pasangan HM Senen dan Hj Cik Imah ini, tidak mendapat restu orang tua saat menekuni bidang seni. Ayahnya lebih senang kalau Mir kuliah di bidang hukum agar bisa membantu ayahnya yang tuan tanah dan sering punya masalah. Mir kemudian kuliah di Fakultas Hukum Unsri. Namun ia lalu kabur dari rumah dan meneruskan ke Akademi Perhotelan dan Kepariwisataan Trisakti, Jakarta, dan mengantongi sertifikat tahun 1976. Usai itu ia pergi ke Yogyakarta, kemudian mendaftar diam-diam di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Mir lulus, namun untuk masuk kuliah ia tidak punya uang lagi. Karena dihantui rasa takut tak bisa jadi seniman, Mir kemudian mengirim surat dan minta restu orang tuanya untuk menekuni bidang seni.Tak dinyana, sang ayah luluh juga. Sampai akhirnya Mir lulus dari jurusan Interior Dekorasi ASRI tahun 1978. Di Yogya ia banyak mendapat bimbingan dari Amri Yahya. Ia juga banyak berkecimpung di keraton serta bergaul dengan para seniman. Bimbingan dan pergaulannya itu merupakan “bekal hidup” yang kemudian dibawanya pulang ke Palembang. Ayahnya menghendaki dia melanjutkan sekolah di Australia. Selama dua tahun anak ketiga dari delapan bersaudara ini lantas mengenyam pendidikan di Mr Wood Collage Australia. Di sini dia belajar berbagai hal di bidang seni, termasuk bagaimana perilaku dunia intenasional terhadap hasil karya seni Indonesia. Pencipta Pelaminan Mir kemudian menjadi pionir pencipta pelaminan khas Palembang, sekitar tahun 1980. Mulai kursi, lemari, hingga pelaminannya khas Palembang. Banyaknya peminat pada waktu itu, membuat Mir mengajak temannya dari Yogya untuk membuat kursi dan lemari hias pengantin.Kecintaan peraih penghargaan upakarti tahun 1995 ini semakin melambung namanya sebagai seniman sekaligus perancang kain tradisional Sumatera Selatan. Mulai dari batik Palembang, kain pelangi, hingga songket Palembang, dia ciptakan dengan melakukan modifikasi sehingga digemari dunia internasional. Omzetnya kini mencapai Rp 600-700 juta per bulan. Mir juga aktif membina perajin muda. Dari sekitar 5.000 muridnya, sudah sekitar 70 orang yang membuka usaha sendiri. ”Sebetulnya jumlah ini sangat sedikit ya, tapi saya tidak harus ngotot. Yang penting saya sudah melahirkan Mir Senen-Mir Senen baru yang bisa menggantikan posisi saya kelak,” ungkapnya. Dengan motto a differently from the handmade master art yang diusungnya, kreasi Mir kini tersebar di dunia. Dia sangat paham selera orang Prancis atau Timur Tengah, dan ia punya pelanggan tetap para petinggi Malaysia dan Brunei Darussalam.Dari modal satu ruko, kini usaha Mir sudah berkembang di atas lahan sekitar 1 hektare. Kawasan Serelo, 24 Ilir, nyaris merupakan area seni yang menjadi tempat usaha Mir Senen. Namun Mir berharap pemerintah membantu industri kerajinan Palembang untuk memperoleh bahan baku kain, seperti benang emas, benang dan kain sutera. Sebab selama ini ia membelinya di luar negeri atau Jakarta, sementara para perajin terpaksa membelinya dari tengkulak. n
Copyright © Sinar Harapan 2003
OlehMuhamad Nasir
PALEMBANG - Terlahir dari keluarga “kayo lamo”, H Muhammad Ali Gathmyr Senen atau biasa dipanggil dengan Mir Senen, hingga kini menjadi pelestari budaya dan seni Sumatera Selatan (Sumsel).Ribuan koleksinya tersimpan dengan baik dan desain-desain modifikasi songket karyanya seolah membawa pemakainya ke nuansa kejayaan Palembang tempo dulu. Di Sumsel, siapa yang tidak mengenal Mir Senen. Pria kelahiran Palembang, 5 Mei 1955 ini, terkenal dengan kain songketnya yang eksklusif, mahal, dan bercita rasa tinggi. Pelanggannya pun mulai dari presiden hingga pengusaha. Mir Senen terlahir dari keluarga kaya-raya dari Palembang. Pada masa paceklik sekitar tahun 1960-an, mendekati masa pecahnya Gerakan Tiga Puluh September (Gestapu), ayahnya memperoleh banyak barang antik milik masyarakat yang ditukar dengan beras dan gula. Barang antik itu tidak hanya berupa barang pecah-belah melainkan juga kain-kain kuno yang sekarang sudah tak ternilai harganya. Kini, barang-barang itu ditata rapi di galeri berlantai empat berukuran 20x5 meter di Jalan AKBP HM Amin, Palembang. Dia memang berencana membuat museum koleksi barang seni dan budaya Sumsel, yang nantinya akan diserahkan kepada pemerintah.Koleksi benda-benda antik inilah yang kemudian menjadi titik awal usaha Mir. Pada mulanya, putra pasangan HM Senen dan Hj Cik Imah ini, tidak mendapat restu orang tua saat menekuni bidang seni. Ayahnya lebih senang kalau Mir kuliah di bidang hukum agar bisa membantu ayahnya yang tuan tanah dan sering punya masalah. Mir kemudian kuliah di Fakultas Hukum Unsri. Namun ia lalu kabur dari rumah dan meneruskan ke Akademi Perhotelan dan Kepariwisataan Trisakti, Jakarta, dan mengantongi sertifikat tahun 1976. Usai itu ia pergi ke Yogyakarta, kemudian mendaftar diam-diam di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Mir lulus, namun untuk masuk kuliah ia tidak punya uang lagi. Karena dihantui rasa takut tak bisa jadi seniman, Mir kemudian mengirim surat dan minta restu orang tuanya untuk menekuni bidang seni.Tak dinyana, sang ayah luluh juga. Sampai akhirnya Mir lulus dari jurusan Interior Dekorasi ASRI tahun 1978. Di Yogya ia banyak mendapat bimbingan dari Amri Yahya. Ia juga banyak berkecimpung di keraton serta bergaul dengan para seniman. Bimbingan dan pergaulannya itu merupakan “bekal hidup” yang kemudian dibawanya pulang ke Palembang. Ayahnya menghendaki dia melanjutkan sekolah di Australia. Selama dua tahun anak ketiga dari delapan bersaudara ini lantas mengenyam pendidikan di Mr Wood Collage Australia. Di sini dia belajar berbagai hal di bidang seni, termasuk bagaimana perilaku dunia intenasional terhadap hasil karya seni Indonesia. Pencipta Pelaminan Mir kemudian menjadi pionir pencipta pelaminan khas Palembang, sekitar tahun 1980. Mulai kursi, lemari, hingga pelaminannya khas Palembang. Banyaknya peminat pada waktu itu, membuat Mir mengajak temannya dari Yogya untuk membuat kursi dan lemari hias pengantin.Kecintaan peraih penghargaan upakarti tahun 1995 ini semakin melambung namanya sebagai seniman sekaligus perancang kain tradisional Sumatera Selatan. Mulai dari batik Palembang, kain pelangi, hingga songket Palembang, dia ciptakan dengan melakukan modifikasi sehingga digemari dunia internasional. Omzetnya kini mencapai Rp 600-700 juta per bulan. Mir juga aktif membina perajin muda. Dari sekitar 5.000 muridnya, sudah sekitar 70 orang yang membuka usaha sendiri. ”Sebetulnya jumlah ini sangat sedikit ya, tapi saya tidak harus ngotot. Yang penting saya sudah melahirkan Mir Senen-Mir Senen baru yang bisa menggantikan posisi saya kelak,” ungkapnya. Dengan motto a differently from the handmade master art yang diusungnya, kreasi Mir kini tersebar di dunia. Dia sangat paham selera orang Prancis atau Timur Tengah, dan ia punya pelanggan tetap para petinggi Malaysia dan Brunei Darussalam.Dari modal satu ruko, kini usaha Mir sudah berkembang di atas lahan sekitar 1 hektare. Kawasan Serelo, 24 Ilir, nyaris merupakan area seni yang menjadi tempat usaha Mir Senen. Namun Mir berharap pemerintah membantu industri kerajinan Palembang untuk memperoleh bahan baku kain, seperti benang emas, benang dan kain sutera. Sebab selama ini ia membelinya di luar negeri atau Jakarta, sementara para perajin terpaksa membelinya dari tengkulak. n
Copyright © Sinar Harapan 2003
Uang SOHE Hilang
Dana Kampanye SOHE Rp 1 M Hilang
Palembang:
Dana kampanye senilai Rp 1 miliar, milik pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Selatan, Syahrial Oesman-Helmy Yahya (Sohe) periode 2008-2013 diduga dibawa kabur dua sopir mobil rental yang digunakan tim sukses.
Menurut informasi Bendahara Tim Sukses Sohe Yudha,kuat dugaan dana Rp1 miliar tersebut dibawa kabur dua sopirnya, yakni Romeson dan Bambang Utoyo,warga Jalan Demang Lebar Daun I,Lorok Pakjo, No 2578,Kelurahan Ilir Barat I,Palembang, saat kendaraan ditinggal korban Dia menjelaskan, sekitar pukul 20.30 WIB,dia bersama Romeson dan Bambang Utoyo keluar dari Hotel Bukit Indah Lestari (BIL) di Jalan Garuda Lintas Sumatera menuju Rumah Makan Aneka Rasa di simpang Universitas Baturaja untuk makan malam.Lokasi rumah makan dengan hotel sekitar 500 meter. Saat itu, mereka bertiga mengendarai mobil korban Daihatsu Terios BG 1228 MN. Yudha menjelaskan, saat itu dia membawa uang tunai Rp1 miliar yang dikemas dalam dua kantong plastik masing-masing Rp500 juta. Uang tersebut diletakkan di dalam bagasi belakang mobil. Setibanya di Rumah Makan Aneka Rasa, korban Yudha lalu mengajak kedua sopirnya itu turun untuk makan malam bersama, tetapi keduanya menolak dan memilih untuk menunggu di dalam mobil.”Setelah saya selesai makan, ternyata keduanya sudah tidak ada lagi di dalam mobil bersamaan dengan raibnya uang tunai di bagasi mobil,” ujar Yudha di Polres OKU.
Terpisah calon Gubernur Sumsel Syahrial Oesman, mengaku belum tahu soal kehilangan uang tersebut. "Dak tahu aku, (tidak tahu saya- red)," ujar Syahrial singkat
Kapolres OKU AKBP Raden Eko Wahyu Prasetyo melalui Kasat Reskrim Polres OKU AKP Anissullah M Ridha membenarkan jika pihaknya telah menerima laporan dari korban. Laporan itu tertuang dalam Nopol LP.B/332/VIII/- 2008/SPK OKU sekitar pukul 22.30 WIB.Saat melapor,korban diterima Briptu Indra Irawan dan diketahui Kepala SPK I Polres OKU Aiptu Kastolani. (sir)
Palembang:
Dana kampanye senilai Rp 1 miliar, milik pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Selatan, Syahrial Oesman-Helmy Yahya (Sohe) periode 2008-2013 diduga dibawa kabur dua sopir mobil rental yang digunakan tim sukses.
Menurut informasi Bendahara Tim Sukses Sohe Yudha,kuat dugaan dana Rp1 miliar tersebut dibawa kabur dua sopirnya, yakni Romeson dan Bambang Utoyo,warga Jalan Demang Lebar Daun I,Lorok Pakjo, No 2578,Kelurahan Ilir Barat I,Palembang, saat kendaraan ditinggal korban Dia menjelaskan, sekitar pukul 20.30 WIB,dia bersama Romeson dan Bambang Utoyo keluar dari Hotel Bukit Indah Lestari (BIL) di Jalan Garuda Lintas Sumatera menuju Rumah Makan Aneka Rasa di simpang Universitas Baturaja untuk makan malam.Lokasi rumah makan dengan hotel sekitar 500 meter. Saat itu, mereka bertiga mengendarai mobil korban Daihatsu Terios BG 1228 MN. Yudha menjelaskan, saat itu dia membawa uang tunai Rp1 miliar yang dikemas dalam dua kantong plastik masing-masing Rp500 juta. Uang tersebut diletakkan di dalam bagasi belakang mobil. Setibanya di Rumah Makan Aneka Rasa, korban Yudha lalu mengajak kedua sopirnya itu turun untuk makan malam bersama, tetapi keduanya menolak dan memilih untuk menunggu di dalam mobil.”Setelah saya selesai makan, ternyata keduanya sudah tidak ada lagi di dalam mobil bersamaan dengan raibnya uang tunai di bagasi mobil,” ujar Yudha di Polres OKU.
Terpisah calon Gubernur Sumsel Syahrial Oesman, mengaku belum tahu soal kehilangan uang tersebut. "Dak tahu aku, (tidak tahu saya- red)," ujar Syahrial singkat
Kapolres OKU AKBP Raden Eko Wahyu Prasetyo melalui Kasat Reskrim Polres OKU AKP Anissullah M Ridha membenarkan jika pihaknya telah menerima laporan dari korban. Laporan itu tertuang dalam Nopol LP.B/332/VIII/- 2008/SPK OKU sekitar pukul 22.30 WIB.Saat melapor,korban diterima Briptu Indra Irawan dan diketahui Kepala SPK I Polres OKU Aiptu Kastolani. (sir)
Uang SOHE Hilang
Dana Kampanye SOHE Rp 1 M Hilang
Palembang:
Dana kampanye senilai Rp 1 miliar, milik pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Selatan, Syahrial Oesman-Helmy Yahya (Sohe) periode 2008-2013 diduga dibawa kabur dua sopir mobil rental yang digunakan tim sukses.
Menurut informasi Bendahara Tim Sukses Sohe Yudha,kuat dugaan dana Rp1 miliar tersebut dibawa kabur dua sopirnya, yakni Romeson dan Bambang Utoyo,warga Jalan Demang Lebar Daun I,Lorok Pakjo, No 2578,Kelurahan Ilir Barat I,Palembang, saat kendaraan ditinggal korban Dia menjelaskan, sekitar pukul 20.30 WIB,dia bersama Romeson dan Bambang Utoyo keluar dari Hotel Bukit Indah Lestari (BIL) di Jalan Garuda Lintas Sumatera menuju Rumah Makan Aneka Rasa di simpang Universitas Baturaja untuk makan malam.Lokasi rumah makan dengan hotel sekitar 500 meter. Saat itu, mereka bertiga mengendarai mobil korban Daihatsu Terios BG 1228 MN. Yudha menjelaskan, saat itu dia membawa uang tunai Rp1 miliar yang dikemas dalam dua kantong plastik masing-masing Rp500 juta. Uang tersebut diletakkan di dalam bagasi belakang mobil. Setibanya di Rumah Makan Aneka Rasa, korban Yudha lalu mengajak kedua sopirnya itu turun untuk makan malam bersama, tetapi keduanya menolak dan memilih untuk menunggu di dalam mobil.”Setelah saya selesai makan, ternyata keduanya sudah tidak ada lagi di dalam mobil bersamaan dengan raibnya uang tunai di bagasi mobil,” ujar Yudha di Polres OKU.
Terpisah calon Gubernur Sumsel Syahrial Oesman, mengaku belum tahu soal kehilangan uang tersebut. "Dak tahu aku, (tidak tahu saya- red)," ujar Syahrial singkat
Kapolres OKU AKBP Raden Eko Wahyu Prasetyo melalui Kasat Reskrim Polres OKU AKP Anissullah M Ridha membenarkan jika pihaknya telah menerima laporan dari korban. Laporan itu tertuang dalam Nopol LP.B/332/VIII/- 2008/SPK OKU sekitar pukul 22.30 WIB.Saat melapor,korban diterima Briptu Indra Irawan dan diketahui Kepala SPK I Polres OKU Aiptu Kastolani. (sir)
Palembang:
Dana kampanye senilai Rp 1 miliar, milik pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Selatan, Syahrial Oesman-Helmy Yahya (Sohe) periode 2008-2013 diduga dibawa kabur dua sopir mobil rental yang digunakan tim sukses.
Menurut informasi Bendahara Tim Sukses Sohe Yudha,kuat dugaan dana Rp1 miliar tersebut dibawa kabur dua sopirnya, yakni Romeson dan Bambang Utoyo,warga Jalan Demang Lebar Daun I,Lorok Pakjo, No 2578,Kelurahan Ilir Barat I,Palembang, saat kendaraan ditinggal korban Dia menjelaskan, sekitar pukul 20.30 WIB,dia bersama Romeson dan Bambang Utoyo keluar dari Hotel Bukit Indah Lestari (BIL) di Jalan Garuda Lintas Sumatera menuju Rumah Makan Aneka Rasa di simpang Universitas Baturaja untuk makan malam.Lokasi rumah makan dengan hotel sekitar 500 meter. Saat itu, mereka bertiga mengendarai mobil korban Daihatsu Terios BG 1228 MN. Yudha menjelaskan, saat itu dia membawa uang tunai Rp1 miliar yang dikemas dalam dua kantong plastik masing-masing Rp500 juta. Uang tersebut diletakkan di dalam bagasi belakang mobil. Setibanya di Rumah Makan Aneka Rasa, korban Yudha lalu mengajak kedua sopirnya itu turun untuk makan malam bersama, tetapi keduanya menolak dan memilih untuk menunggu di dalam mobil.”Setelah saya selesai makan, ternyata keduanya sudah tidak ada lagi di dalam mobil bersamaan dengan raibnya uang tunai di bagasi mobil,” ujar Yudha di Polres OKU.
Terpisah calon Gubernur Sumsel Syahrial Oesman, mengaku belum tahu soal kehilangan uang tersebut. "Dak tahu aku, (tidak tahu saya- red)," ujar Syahrial singkat
Kapolres OKU AKBP Raden Eko Wahyu Prasetyo melalui Kasat Reskrim Polres OKU AKP Anissullah M Ridha membenarkan jika pihaknya telah menerima laporan dari korban. Laporan itu tertuang dalam Nopol LP.B/332/VIII/- 2008/SPK OKU sekitar pukul 22.30 WIB.Saat melapor,korban diterima Briptu Indra Irawan dan diketahui Kepala SPK I Polres OKU Aiptu Kastolani. (sir)
tradisi sambut lebaran
Tradisi Sambut RamadanDari ”Suro'baca”, ”Munggahan”, hingga Ziarah Kubra
OlehSuriani/Didit Ernanto/Muhamad Nasir
MAKASSAR – Berbagai tradisi dengan segala keunikannya dilakukan secara berbeda-beda di berbagai daerah menjelang Puasa. Tetapi intinya sama, mempersiapkan diri memasuki Bulan Ramadan. Suku Bugis di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), mengawalinya dengan suro'baca atau berdoa bersama untuk para leluhur.Masyarakat Sunda di Jawa Barat mempunyai tradisi munggahan, tak peduli dengan kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok. Sementara itu, ziarah kubra sudah mentradisi di Kota Palembang, yang selalu dibanjiri ulama, habaib, dan kiai dari penjuru Tanah Air serta luar negeri, untuk menghadiri Haul dan Ziarah Kubra Ulama dan Auliya Palembang Darussalam.
Di kalangan Suku Bugis Makassar, suro'baca merupakan tradisi turun-temurun yang dilakukan mulai sepekan hingga satu hari sebelum Bulan Ramadan (H-7 sampai H-1 Ramadan). Kebiasaan yang masih tetap terjaga, di masyarakat pedesaan hingga perkotaan ini, biasanya diselenggarakan per rumah tangga ataupun berkelompok.Sebelum menggelar suro'baca, keluarga menyiapkan aneka hidangan seperti ayam gagape' (mirip opor ayam), ikan bandeng bakar yang dibelah dengan diberi cabai dan garam halus, lawa' (urap) dari pisang batu, dan sebagainya sesuai dengan kemampuan ekonomi si empunya hajatan. Untuk pencuci mulut, dipilih kue-kue tradisional seperti kue lapis, onde-onde, dan cucuru' bayao. Setelah semua hidangan ditata, seluruh anggota keluarga duduk bersila di depan aneka hidangan itu sambil mengikuti guru baca membaca ayat-ayat Alquran, serta mendoakan almarhum (leluhur) agar mendapat keselamatan di akhirat dan keluarga yang ditinggalkan memperoleh keselamatan, kesehatan, dan dimudahkan rezekinya.Prosesi serupa juga dilakukan jika suro'baca dilakukan secara berkelompok, artinya satu orang sebagai koordinator yang mengumpulkan pendanaan konsumsi, kemudian bersama-sama dengan anggota keluarga besar membuat aneka hidangan yang akan disajikan pada acara suro'baca pada Bulan Sya'ban itu. Setelah semuanya siap, semua anggota keluarga besar berdoa bersama dipimpin guru baca. Selanjutnya, bersalam-salaman seraya saling memaafkan sebelum memasuki Bulan Ramadan, kemudian bersantap siang bersama."Makna suro'baca ini, agar yang masih hidup tetap mengingat leluhurnya dan mengingat bahwa suatu saat dirinya juga akan ke akhirat. Selain itu, acara ini menjadi ajang silaturahmi untuk mempererat persaudaraan," jelas Daeng Mappong (75), guru baca yang sudah sepuluh tahun lebih memimpin tradisi suro'baca setiap menjelang Ramadan di lingkungan Suku Bugis Makassar di Kabupaten Maros, Sulsel.Kalangan Bugis Makassar yang masih memegang filosofi adat dan tarekat tradisional terkait dengan Agama Islam, juga memanfaatkan Bulan Syakban untuk mengajak anaknya yang sudah akil balik agar lebih memahami ajaran Islam. Guru tarekat yang sebagian besar adalah penganut tarekat Khalwatiah Syekh Jusuf--salah seorang penyebar Agama Islam dan pahlawan nasional--di Sulsel, akan menuntun pelajaran tata cara berwudu, salat, hingga mencari bekal ke alam akhirat. Begitu pula ziarah kubur menjelang Ramadan, seakan sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat Sulsel yang masih kental dengan tradisinya. Beragam MakananMasyarakat Sunda mempunyai tradisi munggahan. "Tidak mungkin tradisi ini tidak dilakukan," tegas Hj Hafsah, warga Dago, Kamis (28/8). Munggahan merupakan kebiasaan menyediakan beragam makanan, mulai dari sambal goreng kentang, opor, ikan mas goreng, sampai sambal khas Sunda. Masakan tersebut mulai disajikan sehari sebelum Bulan Puasa hari pertama.Mulanya berbagai jenis masakan ini dibagi-bagikan sebagai hantaran kepada sanak saudara maupun tetangga. Selain sebagai bentuk syukur, masakan tersebut dapat digunakan untuk makan sahur atau berbuka. Dengan banyaknya makanan, pada awal Puasa masyarakat tidak perlu lagi memasak.Tradisi munggahan ini tak hanya berlaku bagi masyarakat yang mampu, karena tidak sedikit pula warga yang masuk kategori kurang mampu tetap memaksakan diri untuk menjalankan munggah."Setahun sekali tidak apa-apa," tutur Asep, warga Sadangserang Bandung. Namun, ia mengaku pusing juga melihat harga sembako yang selalu naik setiap kali menjelang Puasa. Maka, ia harus pandai-pandai mengatur keuangan untuk keperluan munggahan. Di Palembang, sudah mentradisi menjelang Ramadan, Kota Palembang dibanjiri ulama dari penjuru Tanah Air dan luar negeri yang menyempatkan diri menghadiri Haul dan Ziarah Kubra Ulama dan Auliya Palembang Darussalam. Suasana berbeda sering kali terjadi pada hari-hari terakhir Bulan Syakban. Hari-hari tersebut dimanfaatkan kaum muslimin untuk berziarah, baik menziarahi makam anggota keluarganya, maupun ke makam ulama dan para wali Allah.Haul itu adalah Haul seorang Waliyullah besar yang menjadi penghulu sebagian nasab keturunan alawiyyin. Dia adalah Al-Faqihil Muqaddam Tsani Al-Habib Abdurrahman As-Seggaf bin Muhammad Maula Ad-Dawilaih RA yang merupakan salah seorang tokoh wali dan ulama dari Ahlil Bait Alawiyyin, yang dimakamkan di pemakaman Zanbal di Kota Tarim (Hadramaut-Yaman) pada tahun 819 H.Acara Ziarah Kubra merupakan salah satu tradisi turun-temurun, terutama bagi kaum alawiyyin (keturunan Arab) yang bermukim di Kota Palembang maupun masyarakat pencinta ulama dan wali-wali Allah. Acara ini juga melibatkan keluarga Kesultanan Palembang Darussalam mengingat eratnya hubungan kekeluargaan kaum alawiyyin dengan para sultan di Kesultanan Palembang Darussalam.Acara yang diadakan di perkampungan alawiyyin Sungai Bayas Kelurahan Kuto Batu Palembang ini selain dihadiri para ustaz dan sesepuh habaib Kota Palembang, juga dimeriahkan kedatangan beberapa ulama dan habaib dari luar Kota Palembang, bahkan dari luar negeri, seperti dari Kota Mekkah, Madinah, Yaman, Singapura, Malaysia dan Brunai Darussalam. Perjalanan dari tempat haul ke pemakaman dilakukan dengan berjalan kaki diiringi tetabuhan hajir marawis dan qasidah. n
Copyright © Sinar Harapan 2008
OlehSuriani/Didit Ernanto/Muhamad Nasir
MAKASSAR – Berbagai tradisi dengan segala keunikannya dilakukan secara berbeda-beda di berbagai daerah menjelang Puasa. Tetapi intinya sama, mempersiapkan diri memasuki Bulan Ramadan. Suku Bugis di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), mengawalinya dengan suro'baca atau berdoa bersama untuk para leluhur.Masyarakat Sunda di Jawa Barat mempunyai tradisi munggahan, tak peduli dengan kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok. Sementara itu, ziarah kubra sudah mentradisi di Kota Palembang, yang selalu dibanjiri ulama, habaib, dan kiai dari penjuru Tanah Air serta luar negeri, untuk menghadiri Haul dan Ziarah Kubra Ulama dan Auliya Palembang Darussalam.
Di kalangan Suku Bugis Makassar, suro'baca merupakan tradisi turun-temurun yang dilakukan mulai sepekan hingga satu hari sebelum Bulan Ramadan (H-7 sampai H-1 Ramadan). Kebiasaan yang masih tetap terjaga, di masyarakat pedesaan hingga perkotaan ini, biasanya diselenggarakan per rumah tangga ataupun berkelompok.Sebelum menggelar suro'baca, keluarga menyiapkan aneka hidangan seperti ayam gagape' (mirip opor ayam), ikan bandeng bakar yang dibelah dengan diberi cabai dan garam halus, lawa' (urap) dari pisang batu, dan sebagainya sesuai dengan kemampuan ekonomi si empunya hajatan. Untuk pencuci mulut, dipilih kue-kue tradisional seperti kue lapis, onde-onde, dan cucuru' bayao. Setelah semua hidangan ditata, seluruh anggota keluarga duduk bersila di depan aneka hidangan itu sambil mengikuti guru baca membaca ayat-ayat Alquran, serta mendoakan almarhum (leluhur) agar mendapat keselamatan di akhirat dan keluarga yang ditinggalkan memperoleh keselamatan, kesehatan, dan dimudahkan rezekinya.Prosesi serupa juga dilakukan jika suro'baca dilakukan secara berkelompok, artinya satu orang sebagai koordinator yang mengumpulkan pendanaan konsumsi, kemudian bersama-sama dengan anggota keluarga besar membuat aneka hidangan yang akan disajikan pada acara suro'baca pada Bulan Sya'ban itu. Setelah semuanya siap, semua anggota keluarga besar berdoa bersama dipimpin guru baca. Selanjutnya, bersalam-salaman seraya saling memaafkan sebelum memasuki Bulan Ramadan, kemudian bersantap siang bersama."Makna suro'baca ini, agar yang masih hidup tetap mengingat leluhurnya dan mengingat bahwa suatu saat dirinya juga akan ke akhirat. Selain itu, acara ini menjadi ajang silaturahmi untuk mempererat persaudaraan," jelas Daeng Mappong (75), guru baca yang sudah sepuluh tahun lebih memimpin tradisi suro'baca setiap menjelang Ramadan di lingkungan Suku Bugis Makassar di Kabupaten Maros, Sulsel.Kalangan Bugis Makassar yang masih memegang filosofi adat dan tarekat tradisional terkait dengan Agama Islam, juga memanfaatkan Bulan Syakban untuk mengajak anaknya yang sudah akil balik agar lebih memahami ajaran Islam. Guru tarekat yang sebagian besar adalah penganut tarekat Khalwatiah Syekh Jusuf--salah seorang penyebar Agama Islam dan pahlawan nasional--di Sulsel, akan menuntun pelajaran tata cara berwudu, salat, hingga mencari bekal ke alam akhirat. Begitu pula ziarah kubur menjelang Ramadan, seakan sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat Sulsel yang masih kental dengan tradisinya. Beragam MakananMasyarakat Sunda mempunyai tradisi munggahan. "Tidak mungkin tradisi ini tidak dilakukan," tegas Hj Hafsah, warga Dago, Kamis (28/8). Munggahan merupakan kebiasaan menyediakan beragam makanan, mulai dari sambal goreng kentang, opor, ikan mas goreng, sampai sambal khas Sunda. Masakan tersebut mulai disajikan sehari sebelum Bulan Puasa hari pertama.Mulanya berbagai jenis masakan ini dibagi-bagikan sebagai hantaran kepada sanak saudara maupun tetangga. Selain sebagai bentuk syukur, masakan tersebut dapat digunakan untuk makan sahur atau berbuka. Dengan banyaknya makanan, pada awal Puasa masyarakat tidak perlu lagi memasak.Tradisi munggahan ini tak hanya berlaku bagi masyarakat yang mampu, karena tidak sedikit pula warga yang masuk kategori kurang mampu tetap memaksakan diri untuk menjalankan munggah."Setahun sekali tidak apa-apa," tutur Asep, warga Sadangserang Bandung. Namun, ia mengaku pusing juga melihat harga sembako yang selalu naik setiap kali menjelang Puasa. Maka, ia harus pandai-pandai mengatur keuangan untuk keperluan munggahan. Di Palembang, sudah mentradisi menjelang Ramadan, Kota Palembang dibanjiri ulama dari penjuru Tanah Air dan luar negeri yang menyempatkan diri menghadiri Haul dan Ziarah Kubra Ulama dan Auliya Palembang Darussalam. Suasana berbeda sering kali terjadi pada hari-hari terakhir Bulan Syakban. Hari-hari tersebut dimanfaatkan kaum muslimin untuk berziarah, baik menziarahi makam anggota keluarganya, maupun ke makam ulama dan para wali Allah.Haul itu adalah Haul seorang Waliyullah besar yang menjadi penghulu sebagian nasab keturunan alawiyyin. Dia adalah Al-Faqihil Muqaddam Tsani Al-Habib Abdurrahman As-Seggaf bin Muhammad Maula Ad-Dawilaih RA yang merupakan salah seorang tokoh wali dan ulama dari Ahlil Bait Alawiyyin, yang dimakamkan di pemakaman Zanbal di Kota Tarim (Hadramaut-Yaman) pada tahun 819 H.Acara Ziarah Kubra merupakan salah satu tradisi turun-temurun, terutama bagi kaum alawiyyin (keturunan Arab) yang bermukim di Kota Palembang maupun masyarakat pencinta ulama dan wali-wali Allah. Acara ini juga melibatkan keluarga Kesultanan Palembang Darussalam mengingat eratnya hubungan kekeluargaan kaum alawiyyin dengan para sultan di Kesultanan Palembang Darussalam.Acara yang diadakan di perkampungan alawiyyin Sungai Bayas Kelurahan Kuto Batu Palembang ini selain dihadiri para ustaz dan sesepuh habaib Kota Palembang, juga dimeriahkan kedatangan beberapa ulama dan habaib dari luar Kota Palembang, bahkan dari luar negeri, seperti dari Kota Mekkah, Madinah, Yaman, Singapura, Malaysia dan Brunai Darussalam. Perjalanan dari tempat haul ke pemakaman dilakukan dengan berjalan kaki diiringi tetabuhan hajir marawis dan qasidah. n
Copyright © Sinar Harapan 2008
pilgub dijudikan
Kepsen: Foto 1: Pasangan mantan Gubernur Sumsel H Syahrial Oesman dan Raja Kuis Helmy Yahya (Sohe)
Foto2: Pasangan mantan Bupati Muba H Alex Noerdin dan mantan Bupati OKU H Eddy Yusuf (Aldy)
Pilgub pun Dijadikan Taruhan
Palembang:
Hasil penghitungan Pilgub Sumsel yang diikuti dua pasang calon . Alex Noerdin-Eddy Yusuf (Aldy) dan Syahrial Oesman-Helmy Yahya (Sohe) ternyata tidak hanya ditunggu warga Sumsel yang mengharapkan terpilihnya gubernur pilihan rakyat.
Ternyata ada juga sebagian warga yang mengharapkan hasil Pilgub bias diketahui cepat untuk memastikan apakah mereka jadi pemenang atau pecundang. Mereka inilah yang menjadikan Pilgub Sumsel sebagai ajang taruhan.
Nilai taruhannya, tak tanggung-tanggung, bahkan mencapai miliaran rupiah. Berbentuk uang tunai maupun barang mewah lainnya.
Jumlah daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 5.058.827 di 14.576 TPS merupakan objek taruhan. Berapa banyak pemiik suara itu memilih Aldy dan berapa banyak yang memilih Sohe. Tidak hanya pertandingan sepak bola yang ditaruhkan, ajang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sumatera Selatan (Sumsel) pun tidak luput menjadi bidikan para petaruh di Palembang.
Penghitungan beberapa lembaga survey dijadikan patokan para petaruh ini untuk menetakan jagonya. Tipisnya selisih penghitungan cepat sejumlah lembaga independen membuat Pilgub Sumsel menarik untuk dijadikan ajang bertaruh bagi kedua pendukung pasangan calon Aldy dan Sohe. Pada empat hari menjelang pencoblosan, bursa taruhan antar pendukung makin menggila. Pilgub sendiri dijadwalkan pada 4 September 2008.
Kalau awal kampanye penggemar taruhan hanya mempertaruhkan uang dan barang tidak lebih dari Rp5 juta, kini semakin menggila. Bahkan tidak tanggungtanggung, ada warga yang rela mempertaruhkan mobil Toyota Altis dan uang Rp5 juta. Menurut seorang tauke karet Salim Mat Bol (disamarkan Salam) (37), awalnya dia hanya ikut-ikutan teman-temannya melakukan taruhan. Pemilik beberapa toko elektronik di kawasan Pasar 16 Ilir,Palembang,ini menilai peta kekuatan dua pasangan calon relatif imbang. “Saya tak punya jago, tapi ada kawan ngajak taruhan. Dia bahkan menyatakan mobilnya Altis dan uang Rp5 juta, ya saya terima saja dan kami sepakat,” tuturnya.
Sementara di beberapa tempat, modus taruhan meng-gunakan sistem bandar. Mekanismenya, masing-masing pihak yang hendak bertaruh mendaftarkan diri dan menyerahkan sejumlah uang sebagai taruhan kepada seorang bandar. Nilai taruhan yang dibayar bervariasi dan sang bandar mendapatkan komisi dengan persentase tertentu dari nilai taruhan. Modusnya sedikit mirip dengan judi toto gelap (togel). Dalam sistem ini, sang bandar akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari komisi yang diterima,meski pasangan mana pun yang akan menang dalam pilgub nanti. Menurut informasi, untuk kalangan tertentu, taruhan uang mencapai ratusan juta rupiah. Seperti yang dilakukan para pengusaha keturunan dan tauke di Palembang dan Sumsel pada umumnya. Menurut mereka, kedua pasangan memiliki kekuatan yang sama. Hasil jajak pendapat sebuah koran nasional, pasangan calon memiliki dukungan yang sama. Aldy unggul 0,4% dari pasangan Sohe. “Ada sampling error sekitar 4,2%.Artinya,kekuatan keduanya sama dan memiliki peluang menang. Ini yang menarik untuk ditaruhkan,” ujar Amran Ceng (45), salah satu kontraktor di Palembang. Sementara itu, salah seorang bandar yang menolak namanya disebutkan mengaku telah mengumpulkan taruhan dari 18 penjudi, baik berupa uang tunai maupun barang. “Kalau dihitung nilainya mungkin miliaran. Ada 3 mobil mewah,9 sepeda motor, dan uang puluhan juta,”ucap dia. Beberapa lembaga memang menunjukkan hasil yang variatif. Lembaga survei Maestra Strategos merilis hasil survei yang menunjukkan bahwa Cagub pasangan nomor urut 1 Alex Noerdin- Eddy Yusuf (Aldy) unggul atas pesaingnya, Syahrial Oesman-HelmiYahya (Sohe).
Direktur Maestra Strategos Adman Nursal menyebutkan, berdasarkan survei yang dilakukan pada 18–24 Agustus 2008,menunjukkan bahwa pasangan Aldy mengumpulkan dukungan 46,30% suara dan Sohe 34,40% suara. Dia mengatakan, bila bertolak dari hasil survei seminggu sebelum kampanye resmi, pasangan Sohe unggul 5%, sedangkan pada saat kampanye resmi berjalan, Aldy telah berada di atas angin. Menurut Adman, saat ini dinamika pertarungan secara statistik tidak ada lagi perbedaan popularitas, karena kedua pasangan sudah dikenal masyarakat. Sementara itu, anggota Tim Sukses Pasangan Sohe Ibnu Hajar Dewantara menyatakan, hasil survei merupakan pendekatan ilmiah yang harus dilawan secara ilmiah juga dengan hasil survei. Dia menambahkan, dari berbagai hasil survei, seperti Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskabtis), Sohe tetap unggul.
Siapapun yang menang, bagi warga Sumsel tentu tak masalah. Tetapi bagi petaruh, akan ada yang manyun. Masih ada waktu untuk membatalkan taruhan.(muhamad nasir)
Palembang:
Hasil penghitungan Pilgub Sumsel yang diikuti dua pasang calon . Alex Noerdin-Eddy Yusuf (Aldy) dan Syahrial Oesman-Helmy Yahya (Sohe) ternyata tidak hanya ditunggu warga Sumsel yang mengharapkan terpilihnya gubernur pilihan rakyat.
Ternyata ada juga sebagian warga yang mengharapkan hasil Pilgub bias diketahui cepat untuk memastikan apakah mereka jadi pemenang atau pecundang. Mereka inilah yang menjadikan Pilgub Sumsel sebagai ajang taruhan.
Nilai taruhannya, tak tanggung-tanggung, bahkan mencapai miliaran rupiah. Berbentuk uang tunai maupun barang mewah lainnya.
Jumlah daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 5.058.827 di 14.576 TPS merupakan objek taruhan. Berapa banyak pemiik suara itu memilih Aldy dan berapa banyak yang memilih Sohe. Tidak hanya pertandingan sepak bola yang ditaruhkan, ajang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sumatera Selatan (Sumsel) pun tidak luput menjadi bidikan para petaruh di Palembang.
Penghitungan beberapa lembaga survey dijadikan patokan para petaruh ini untuk menetakan jagonya. Tipisnya selisih penghitungan cepat sejumlah lembaga independen membuat Pilgub Sumsel menarik untuk dijadikan ajang bertaruh bagi kedua pendukung pasangan calon Aldy dan Sohe. Pada empat hari menjelang pencoblosan, bursa taruhan antar pendukung makin menggila. Pilgub sendiri dijadwalkan pada 4 September 2008.
Kalau awal kampanye penggemar taruhan hanya mempertaruhkan uang dan barang tidak lebih dari Rp5 juta, kini semakin menggila. Bahkan tidak tanggungtanggung, ada warga yang rela mempertaruhkan mobil Toyota Altis dan uang Rp5 juta. Menurut seorang tauke karet Salim Mat Bol (disamarkan Salam) (37), awalnya dia hanya ikut-ikutan teman-temannya melakukan taruhan. Pemilik beberapa toko elektronik di kawasan Pasar 16 Ilir,Palembang,ini menilai peta kekuatan dua pasangan calon relatif imbang. “Saya tak punya jago, tapi ada kawan ngajak taruhan. Dia bahkan menyatakan mobilnya Altis dan uang Rp5 juta, ya saya terima saja dan kami sepakat,” tuturnya.
Sementara di beberapa tempat, modus taruhan meng-gunakan sistem bandar. Mekanismenya, masing-masing pihak yang hendak bertaruh mendaftarkan diri dan menyerahkan sejumlah uang sebagai taruhan kepada seorang bandar. Nilai taruhan yang dibayar bervariasi dan sang bandar mendapatkan komisi dengan persentase tertentu dari nilai taruhan. Modusnya sedikit mirip dengan judi toto gelap (togel). Dalam sistem ini, sang bandar akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari komisi yang diterima,meski pasangan mana pun yang akan menang dalam pilgub nanti. Menurut informasi, untuk kalangan tertentu, taruhan uang mencapai ratusan juta rupiah. Seperti yang dilakukan para pengusaha keturunan dan tauke di Palembang dan Sumsel pada umumnya. Menurut mereka, kedua pasangan memiliki kekuatan yang sama. Hasil jajak pendapat sebuah koran nasional, pasangan calon memiliki dukungan yang sama. Aldy unggul 0,4% dari pasangan Sohe. “Ada sampling error sekitar 4,2%.Artinya,kekuatan keduanya sama dan memiliki peluang menang. Ini yang menarik untuk ditaruhkan,” ujar Amran Ceng (45), salah satu kontraktor di Palembang. Sementara itu, salah seorang bandar yang menolak namanya disebutkan mengaku telah mengumpulkan taruhan dari 18 penjudi, baik berupa uang tunai maupun barang. “Kalau dihitung nilainya mungkin miliaran. Ada 3 mobil mewah,9 sepeda motor, dan uang puluhan juta,”ucap dia. Beberapa lembaga memang menunjukkan hasil yang variatif. Lembaga survei Maestra Strategos merilis hasil survei yang menunjukkan bahwa Cagub pasangan nomor urut 1 Alex Noerdin- Eddy Yusuf (Aldy) unggul atas pesaingnya, Syahrial Oesman-HelmiYahya (Sohe).
Direktur Maestra Strategos Adman Nursal menyebutkan, berdasarkan survei yang dilakukan pada 18–24 Agustus 2008,menunjukkan bahwa pasangan Aldy mengumpulkan dukungan 46,30% suara dan Sohe 34,40% suara. Dia mengatakan, bila bertolak dari hasil survei seminggu sebelum kampanye resmi, pasangan Sohe unggul 5%, sedangkan pada saat kampanye resmi berjalan, Aldy telah berada di atas angin. Menurut Adman, saat ini dinamika pertarungan secara statistik tidak ada lagi perbedaan popularitas, karena kedua pasangan sudah dikenal masyarakat. Sementara itu, anggota Tim Sukses Pasangan Sohe Ibnu Hajar Dewantara menyatakan, hasil survei merupakan pendekatan ilmiah yang harus dilawan secara ilmiah juga dengan hasil survei. Dia menambahkan, dari berbagai hasil survei, seperti Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskabtis), Sohe tetap unggul.
Siapapun yang menang, bagi warga Sumsel tentu tak masalah. Tetapi bagi petaruh, akan ada yang manyun. Masih ada waktu untuk membatalkan taruhan.(muhamad nasir)
Langganan:
Postingan (Atom)