Tradisi Sambut RamadanDari ”Suro'baca”, ”Munggahan”, hingga Ziarah Kubra
OlehSuriani/Didit Ernanto/Muhamad Nasir
MAKASSAR – Berbagai tradisi dengan segala keunikannya dilakukan secara berbeda-beda di berbagai daerah menjelang Puasa. Tetapi intinya sama, mempersiapkan diri memasuki Bulan Ramadan. Suku Bugis di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), mengawalinya dengan suro'baca atau berdoa bersama untuk para leluhur.Masyarakat Sunda di Jawa Barat mempunyai tradisi munggahan, tak peduli dengan kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok. Sementara itu, ziarah kubra sudah mentradisi di Kota Palembang, yang selalu dibanjiri ulama, habaib, dan kiai dari penjuru Tanah Air serta luar negeri, untuk menghadiri Haul dan Ziarah Kubra Ulama dan Auliya Palembang Darussalam.
Di kalangan Suku Bugis Makassar, suro'baca merupakan tradisi turun-temurun yang dilakukan mulai sepekan hingga satu hari sebelum Bulan Ramadan (H-7 sampai H-1 Ramadan). Kebiasaan yang masih tetap terjaga, di masyarakat pedesaan hingga perkotaan ini, biasanya diselenggarakan per rumah tangga ataupun berkelompok.Sebelum menggelar suro'baca, keluarga menyiapkan aneka hidangan seperti ayam gagape' (mirip opor ayam), ikan bandeng bakar yang dibelah dengan diberi cabai dan garam halus, lawa' (urap) dari pisang batu, dan sebagainya sesuai dengan kemampuan ekonomi si empunya hajatan. Untuk pencuci mulut, dipilih kue-kue tradisional seperti kue lapis, onde-onde, dan cucuru' bayao. Setelah semua hidangan ditata, seluruh anggota keluarga duduk bersila di depan aneka hidangan itu sambil mengikuti guru baca membaca ayat-ayat Alquran, serta mendoakan almarhum (leluhur) agar mendapat keselamatan di akhirat dan keluarga yang ditinggalkan memperoleh keselamatan, kesehatan, dan dimudahkan rezekinya.Prosesi serupa juga dilakukan jika suro'baca dilakukan secara berkelompok, artinya satu orang sebagai koordinator yang mengumpulkan pendanaan konsumsi, kemudian bersama-sama dengan anggota keluarga besar membuat aneka hidangan yang akan disajikan pada acara suro'baca pada Bulan Sya'ban itu. Setelah semuanya siap, semua anggota keluarga besar berdoa bersama dipimpin guru baca. Selanjutnya, bersalam-salaman seraya saling memaafkan sebelum memasuki Bulan Ramadan, kemudian bersantap siang bersama."Makna suro'baca ini, agar yang masih hidup tetap mengingat leluhurnya dan mengingat bahwa suatu saat dirinya juga akan ke akhirat. Selain itu, acara ini menjadi ajang silaturahmi untuk mempererat persaudaraan," jelas Daeng Mappong (75), guru baca yang sudah sepuluh tahun lebih memimpin tradisi suro'baca setiap menjelang Ramadan di lingkungan Suku Bugis Makassar di Kabupaten Maros, Sulsel.Kalangan Bugis Makassar yang masih memegang filosofi adat dan tarekat tradisional terkait dengan Agama Islam, juga memanfaatkan Bulan Syakban untuk mengajak anaknya yang sudah akil balik agar lebih memahami ajaran Islam. Guru tarekat yang sebagian besar adalah penganut tarekat Khalwatiah Syekh Jusuf--salah seorang penyebar Agama Islam dan pahlawan nasional--di Sulsel, akan menuntun pelajaran tata cara berwudu, salat, hingga mencari bekal ke alam akhirat. Begitu pula ziarah kubur menjelang Ramadan, seakan sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat Sulsel yang masih kental dengan tradisinya. Beragam MakananMasyarakat Sunda mempunyai tradisi munggahan. "Tidak mungkin tradisi ini tidak dilakukan," tegas Hj Hafsah, warga Dago, Kamis (28/8). Munggahan merupakan kebiasaan menyediakan beragam makanan, mulai dari sambal goreng kentang, opor, ikan mas goreng, sampai sambal khas Sunda. Masakan tersebut mulai disajikan sehari sebelum Bulan Puasa hari pertama.Mulanya berbagai jenis masakan ini dibagi-bagikan sebagai hantaran kepada sanak saudara maupun tetangga. Selain sebagai bentuk syukur, masakan tersebut dapat digunakan untuk makan sahur atau berbuka. Dengan banyaknya makanan, pada awal Puasa masyarakat tidak perlu lagi memasak.Tradisi munggahan ini tak hanya berlaku bagi masyarakat yang mampu, karena tidak sedikit pula warga yang masuk kategori kurang mampu tetap memaksakan diri untuk menjalankan munggah."Setahun sekali tidak apa-apa," tutur Asep, warga Sadangserang Bandung. Namun, ia mengaku pusing juga melihat harga sembako yang selalu naik setiap kali menjelang Puasa. Maka, ia harus pandai-pandai mengatur keuangan untuk keperluan munggahan. Di Palembang, sudah mentradisi menjelang Ramadan, Kota Palembang dibanjiri ulama dari penjuru Tanah Air dan luar negeri yang menyempatkan diri menghadiri Haul dan Ziarah Kubra Ulama dan Auliya Palembang Darussalam. Suasana berbeda sering kali terjadi pada hari-hari terakhir Bulan Syakban. Hari-hari tersebut dimanfaatkan kaum muslimin untuk berziarah, baik menziarahi makam anggota keluarganya, maupun ke makam ulama dan para wali Allah.Haul itu adalah Haul seorang Waliyullah besar yang menjadi penghulu sebagian nasab keturunan alawiyyin. Dia adalah Al-Faqihil Muqaddam Tsani Al-Habib Abdurrahman As-Seggaf bin Muhammad Maula Ad-Dawilaih RA yang merupakan salah seorang tokoh wali dan ulama dari Ahlil Bait Alawiyyin, yang dimakamkan di pemakaman Zanbal di Kota Tarim (Hadramaut-Yaman) pada tahun 819 H.Acara Ziarah Kubra merupakan salah satu tradisi turun-temurun, terutama bagi kaum alawiyyin (keturunan Arab) yang bermukim di Kota Palembang maupun masyarakat pencinta ulama dan wali-wali Allah. Acara ini juga melibatkan keluarga Kesultanan Palembang Darussalam mengingat eratnya hubungan kekeluargaan kaum alawiyyin dengan para sultan di Kesultanan Palembang Darussalam.Acara yang diadakan di perkampungan alawiyyin Sungai Bayas Kelurahan Kuto Batu Palembang ini selain dihadiri para ustaz dan sesepuh habaib Kota Palembang, juga dimeriahkan kedatangan beberapa ulama dan habaib dari luar Kota Palembang, bahkan dari luar negeri, seperti dari Kota Mekkah, Madinah, Yaman, Singapura, Malaysia dan Brunai Darussalam. Perjalanan dari tempat haul ke pemakaman dilakukan dengan berjalan kaki diiringi tetabuhan hajir marawis dan qasidah. n
Copyright © Sinar Harapan 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar