Minggu, 31 Agustus 2008

profil

Sahilin, Tunanetra Pelestari Kesenian Batanghari Sembilan



Oleh Muhamad Nasir

PALEMBANG - Sosok Sahilin (59) bagi masyarakat Sumatera Selatan demikian melekat, teristimewa bila bicara soal Kesenian Batanghari Sembilan yang menjadi ciri khas daerah ini.Sekalipun untuk menuju ke rumahnya harus melalui lorong sempit di atas rawa-rawa di kawasan 35 Ilir Palembang, mencari Sahilin tidaklah sulit. Mulai dari jalan raya di depan Pelabuhan 35 Ilir Palembang, nama pria eksentrik ini sudah dikenal. Hanya saja, karena banyaknya gang kecil dan persimpangan, menanyakan anak kedua dari sembilan bersaudara ini tidaklah cukup bila sekali, terutama bagi yang baru pertama kali datang ke sini.

Di antara banyaknya seniman pelantun Batanghari Sembilan, nama Sahilin tetaplah menjadi maskot. Ketekunannya menggeluti kesenian tradisional ini membuat simpati banyak kalangan, termasuk akademi dan lembaga dari dalam maupun luar negeri seperti Philip Yampolsky dari Ford Foundations, yang pernah melakukan penelitian tahun 1992.

”Rasanya senang dan bangga didatangi orang-orang besar seperti itu. Saya tidak menyangka jika keberadaan saya di kesenian tradisional ini menjadi perhatian mereka,” kata Sahilin kepada SH yang mengunjungi kediamannya di Lorong Kedukan Bukit, 35 Ilir Palembang, belum lama ini.Belum jelas betul dari mana asal-usul nama kesenian ini sampai dinamakan Kesenian Batanghari Sembilan.

Yang jelas, penamaan itu tidak lepas dari keberadaan daerah ini sebagai daerah Batanghari Sembilan (sembilan sungai yang semuanya bermuara ke Sungai Musi). Namun menurut Sahilin, istilah ini pertama kali diperkenalkan (alm) Djaafar Malik, seorang seniman asal Lahat.

Kesenian Batanghari Sembilan berisikan pantun-pantun kehidupan sehari-hari, mulai dari masalah cinta, derita dan nasib kehidupan, pengalaman pribadi, sampai fenomena yang terjadi di masyarakat. Biasanya pantun dibawakan dengan iringan petikan gitar tunggal, lantunan jenaka, sampai lantunan mendayu-dayu penuh ratapan.

Ciri khas Sahilin lainnya di setiap penampilannya adalah kaca mata hitam untuk menutup matanya yang buta.Sejak berusia lima tahun, pria kelahiran 1948 Dusun Benawe, Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) ini, mengalami kebutaan akibat penyakit cacar yang diidapnya. Ketika ayahnya, Muhammad Saleh, wafat, pria yang buta huruf (baik latin maupun braile) ini dibesarkan oleh Demah, ibunya.

Pedih dan pahitnya kehidupan yang dialaminya tertuang dalam lagunya Sukat Malang.Sahilin juga piawai membawakan pantun atau syairnya yang lucu tentang keseharian muda-mudi atau orang yang sedang jatuh cinta, seperti lagu Buruk Tegantung yang populer lima tahun belakangan ini. Bahkan ungkapan buruk tegantung yang menyindir lelaki terlambat kawin alias bujang lapuk (bujang tua) ini, telah menjadi bahasa gaul yang sangat populer di daerah ini. Syair-syair lagunya semua hasil karyanya. Umumnya syairnya cukup panjang. Lagu Sukat Malang, misalnya, terdiri dari 10 bait. Bahkan ada juga syairnya yang mencapai 20-30 bait.Gitar dari AyahBakat seni Sahilin didapat dari ayahnya, Muhammad Saleh, seorang petani karet yang pernah menjadi tentara musik untuk Jepang.

Pemberian gitar ayahnya menjadi kenangan yang tidak terlupakan karena dari sinilah dia mulai tertarik menembang. Sejak itulah, saat orang tuanya pergi ke kebun menyadap getah karet, dia menghibur diri dengan bermain gitar.”Sejak bisa main gitar itulah saya bisa nembang lagu. Terkadang ayah saya main gitar dan saya yang bernyanyi,” kata anak kedua dari sembilan bersaudara ini, mengenang.

Dalam setiap pementasan, dan sejak dikenal luas sebagai pelantun lagu-lagu daerah tahun 1974, dia hampir selalu didampingi pedendang perempuan. Dari sekian banyak rekan duetnya, yang paling lama adalah Siti Rohmah yang menemaninya sejak 1972 sampai sekarang. Nama lainnya antara lain Robama, Layani, Zainab, Solbani, Ridaw, Chadijah, dan Cik Misah.

Petikan gitarnya yang monoton namun jernih dan unik, membuat banyak penonton terkesima. Walapun masih berada di pinggiran, belakangan Kesenian Batanghari Sembilan berhasil mencuri simpati kalangan anak muda. Mereka tidak lagi menempatkan seni ini sebagai jenis seni kampungan.“Walaupun aransemen dan syairnya sederhana, justru itulah daya tariknya. Di tengah maraknya berbagai kesenian instan saat ini, kesenian daerah ini masih menarik,” ujar Fitriansyah, seorang musisi muda di Palembang.

Di rumah panggung yang sederhana di sebuah gang sempit, Sahilin hidup bersahaja bersama istrinya, Semah (48) dan tiga anaknya—Saidina (23), Sulaiman (21), Syarwani (17)—serta seorang menantu. Demikian sederhananya kediaman berukuran 5x8 meter di atas rawa itu, karena hampir tanpa penyekat, kecuali dinding pemisah ruang depan, ruang tidur, dan dapur. Rumah ini konon dibeli Sahilin dari hasil rekaman lagu-lagu daerah yang dilantunkannya itu.

Dikutip dari Sinar Harapan

Tidak ada komentar: