Minggu, 20 Februari 2011

SFC mandiri, mungkinkah

SFC Mandiri, Asal Didukung Pendapatan dan Sponsor Perusahaan Besar

Palembang:

Ke depan, Klub sepak bola tidak diperkenankan lagi menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Sriwijaya Football Club (SFC) telah menorehkan sejarah tidak saja bagi daerah base-nya, Sumsel, tetapi juga bagi sejarah sepakbola nasional. Berbagai prestasi hat rick diraihnya. Diantaranya, doubble winner dan dua kali juara copa.

Akankah, klub kebangaan wong Palembang ini bisa mandiri tanpa didukung APBD?

Komisaris Utama PT Sriwijaya Optimis Mandiri (SOM), badan hukum pengelola SFC, Muddai Madang memastikan bahwa klubnya bisa saja mandiri. Asal didukung berbagai hal.

Menurutnya, jika ingin membebaskan Sriwijaya FC dari dukungan dana negara, ada beberapa hal yang harus dlakukan. Antara lain adanya pemasukan dari hak siar pertandingan dan harga tiket yang memadai, atau adanya pemasukan signifikan dari sejumlah perusahaan besar di Sumatra Selatan, khususnya yang mengelola pertambangan dan migas. Juga adanya perlindungan terhadap produk-produk aksesorisnya sehingga tidak dibajak.

Diakuinya, saat ini Sriwijaya FC tidak pernah menerima pembayaran hak siar pertandingan di media televisi. Kemudian harga tiket yang relatif murah.

Kepada wartawan, Muddai madang yang juga Ketua KONI, Minggu (20/02/2011) mengungkapkan kondisi SFC yang kini terus berusaha mempertahankan prestasi di tengah gonjang-ganjing persoalan pendanaan yang tak boleh lagi menggunakan dana APBD..

Menurutnya, dapat dikatakan media massa (televisi) juga menikmati anggaran negara ini. Sebab tidak berbagi hasil dari iklan dari pernyiaran pertandingan Sriwijaya FC.
Ktika ditanya bahwa beberapa televisi swasta sudah mendapatkan hak siar dari penyelenggara liga, dia menyatakan bahwa sudah mempertanyakan kepada PSSI tetapi belum pernah mendapat respon.

Diungkapkannya juga beberapa perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam di Sumsel, seperti pertambangan dan migas belum memberikan dukungan dana yang signifikan. "Dari puluhan perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam, hanya PT Batubara Bukitasam yang menjadi sponsor. Nilainya pun berkisar Rp3 miliar. Perusahaan lainnya seperti Pertamina, Medco dan ConocoPhilips, sama sekali tidak memberikan sumbangsihnya. Padahal mereka itu menyedot hasil bumi di Sumsel dengan nilai puluhan triliun per tahun," katanya.
"Tidaklah mungkin menutupi kebutuhan Sriwijaya FC sebesar Rp40 miliar setiap tahun dari pemasukan tiket," ujarnya.
Jadi, kata Muddai, jika dengan kondisi Sriwijaya FC saat ini dibebaskan dari dana APBD maka klub yang sangat dibanggakan wong Sumsel dan sebagian rakyat Indonesia ini akan bubar.
Bagaimana caranya? Menurut Muddai ini akan dapat diwujudkan apabila publik melakukan desakan atas keinginan tersebut, DPRD Sumsel melahirkan peraturan tentang kewajiban perusahaan-perusahaan tersebut mendukung pendanaan Sriwijaya FC, serta tentunya dukungan pemerintah.

"Ini kalau memang Sriwijaya FC disadari sebagai ikon masyarakat Sumsel. Baik sebagai alat pemersatu, penyemangat, dan lainnya," kata Muddai.
"Sriwijaya FC menjadi klub yang benar-benar mandiri membutuhkan tahapan. Tidak ada begitu saja disulap berubah. Sebab ini juga terkait dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat," ujarnya.

Diakuinya, selama ini dengan adanya kucuran APBD, masayarakat bisa menikmati pertandingan bergengsi dengan tiket hanya berkisar Rp 25.000 hingga Rp 50.000. Masyarakat, selain punya kebanggaan, juga punya bahan pembicaraan setiap pra dan pasca pertandingan. Kalau menang, pasti seru, dan kalah lebih seru lagi. Ditambah umpatan dan cacian.
Selain itu, masyarakat juga punya tempat hiburan di kala ada pertandingan home. Dan secara tidak langsung, ditunjukknya Sumsel sebagai tuan rumah Sea Games juga ada peran SFC. Dengan prestasi SFC beberapa tahun terakhir, daerah ini menjadi bisa lebih dikenal dan diakui prestasi dana pembinaannya di bidang olahraga.

Direktur Keuangan SFC Augie menegaskan, paling tidak dengan adanya anggaran APBD tetap dikucurkan sebesar Rp 20 milyar bisa memberikan kesempatan bagi SFC untuk lebih berbuat dengan dana yang ada. Kalau dari sponsor, selain PT BA, juga ada dari Bank Sumsel sebesar Rp 5 milyar tahun 2011. Kebutuhan setahun mencapai Rp 35- Rp 40 milyar, paling tidak memang tidak tercukupi.

Sementara dari penjualan tiket dan apenjualan aksesoris, tak didukung kondisi dan aturan yang tegas. Sehingga, bagaimana bisa mengharapkan keuntungan dari menjual aksesoris pendukung, jika produk yang sama dijual bebas di pasar dengan harga yang sangat jauh dari murah.

Makanya, jika APBD yang selama ini tidak pernah lebih dari anggaran untuk pendidikan dan kesehatan tetap tak dipersoalkan, harapan prestasi dan nama besar daerah melalui SFC bisa terus digantungkan. Bila tidak, entah apa yang bakal terjadi.

Apalagi, kalau beberapa BUMN seperti PT Semen Baturaja, PT Pusri, Pertamina, ataupu perusahaan swasta yang bereklpoitasi di Sumsel seperti Medco, Conoco dan lainnya tetap tak peduli. (muhamad nasir)

Tidak ada komentar: