Rabu, 06 Mei 2009
serapungan di empat lawang
*Tradisi Serapungan
Meniti Musi dengan Dua Batang Bambu
Palembang: Objek wisata yang bisa dinikmati, tidak saja terdapat dalam agenda resmi. Banyak even tradisional yang belum masuk agenda tujuan wisata namun ternyata memberikan nuansa tersendiri. Unik dan tak ditemukan di tempat lain. Diantaranya, tradisi serapungan di Tebingtinggi, Sumsel.
Sungai Musi bagian ulu, atau dikenal dengan Musi Ulu punya even tradisi yang cukup unik. Setiap tahun, even ini digelar serangkaian peringatan tertentu. Dahulu, setiap tujuh belasan dan kini setiap HUT Kabupaten Empat Lawang, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Lahat sejak dua tahu terakhir. Tradisi ini, berupa mengarungi arus sungai Musi menumpang dua batang bambu. Disebut serapungan.
Mengasyikkan, karena kita bisa sekaligus mengikuti peserta lomba serapungan ini. Bisa peserta serapungan kecepatan atau serapungan santai.
Serapungan kecepatan, masing-masing peserta beradu cepat sampai garis finish. Sementara serapungan santai, peserta mengarungi arus Musi dengan bambu yang dihiasi berbagai bentuk.
Jarak tempuh serapungan ini, sejauh sekitar 9 km dar Desa Terusan dengan finish di kota Tebingtinggi, Empat Lawang. Untuk serapungan kecepatan, biasanya ditempu dalam waktu 1 jam. Sementara serapungan santai, bisa 2 sampai 2,5 jam.
Transportasi
Serapungan ini, dahulunya, menurut Bupati Empat Lawang, Budi Antoni Aljufri, merupakan alat transportasi warga masyarakat menyeberangi sungai Musi menuju ladang dan kebun.
Waktu itu memang belum ada jembatan gantung di atas sungai. Setelah masyarakat, baik secara bersama-sama maupun dibiayai pemerintah, membangun jembatan gantung, tradisi ini mulai ditinggalkan. Meski demikian, sesekali atau satu dua warga, masih ada yang menyebarangi sungai menggunakan serapungan ini. Saat menyeberang, pakaian diletakkan di atas kepala.
Lalu, dengan menggunakan kedua tangan, warga mendayung dari atas kedua bambu sehingga serapungan bergerak maju. Menyeberangi sungai Musi yang lebarnya berkisar 100 hingga 125 meter.
Perlombangan serapungan dimaksudkan untuk melestraikan tradisi lama ini. Sehingga generasi muda dapat mengetahui betapa sulitnya pendahulu mereka dahulu mengangkut hasil ladangnya.
”Diharapkan nantinya, tradisi serapungan ini masuk agenda wisata Sumsel. Bahkan, bisa masuk agenda wisata nasional,” harap Budi Antoni usai melepas peserta serapungan.
Serapungan ini berupa bambu dengan panjang bervariasi 2,5 meter hingga tiga meter dengan lima ruas. Dua bambu ini diikat dengan rotan. Dikeringkan dan dikupas lapisan luar bambu tersebut. Semakin kering dan enteng biasanya semakin ringan serta cepat. Menariknya, bambu ini kemudian dicat berbagai warna. Meskipun, ada juga yang dibiarkan seperti apa adanya.
Pekan lalu, serapungan kembali digelar di Tebing Tinggi, Empat Lawang. Sedikitnya 83 peserta mengikuti serapungan kecepatan dan ribuan lainnya meramaikan serapungan santai.
Peserta serapungan cepat terdiri dari anak-anak hingga orang tua. Sementara serapungan santai, selain menggunakan serapungan hias juga banyak yang hanya menggunakan ban dalam mobil yang dipompa.
Fandra (19), merupakan warga Desa Terusan yang sejak tiga tahun terakhir menjadi juara serapungan. Dan tahun ini, dia pun kembali menjadi juara.
Ingin merasakan bagaimana rasanya wisata air, mungkin even ini bisa dijadikan tujuan wisata yang bisa dinikmati.
Hanya saja, untuk mencapai lokasi ini dari kota Palembang, cukup jauh. Jarak Palembang ke Tebing tinggi ditempuh dalam waktu 7 jam menggunakan mobil ataupun kereta api.
Kereta api, tersedia dua jadwal, siang dan malam. Kalau memilih kelas ekonomi bisa berangkat siang hari dari Stasiun Kertapati, Palembang tujuan Lubuklinggau. Atau jika memilih kelas bisnis dan eksekutif berangkat malam hari. Jika berangkat dari Kertapati pukul 21.00 WIB, tiba di Stasiun Tebing tinggi sekitar pukul 04.00 WIB.
Sementara kalau memilih menggunakan mobil bisa menumpang bus ataupun travel. Ongkosnya berbeda sesuai dengan kelasnya. Jadi untuk menikmati air terjun ini, dari Palembang membutuhkan waktu 3 hari termasuk perjalanan Tebingtinggi-Palembang.
Masalah lainnya, penginapan di kota Tebing tinggi masih terbatas. Itupun, hanya penginapan kelas melati dengan fasilitas terbatas. (sh/muhamad nasir)
http://www.sinarharapan.co.id/cetak/detail-cetak/article/meniti-musi-dengan-dua-batang-bambu/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar