OLEH: ISYANTO/MUHAMMAD NASIR
Palembang - Di tengah laju pembangunan Kota Palembang dan Sumatera Selatan yang demikian pesat, Bas Musik Gema Suara justru berjalan tertatih-tatih.
Kelompok musik yang mengandalkan bas, drum, dan terompet ini memang usianya telah cukup tua, 80 tahun. Peralatan musik mereka yang tidak mengilap cukup membuktikan bahwa bas musik (sebagian orang Palembang menyebutkan musik “jidor”) sudah tidak muda lagi. Terompet, saksofon, bas gitar, dan alat tiup lainnya sudah tampak tua, bahkan beberapa bagian sudah terlepas dan terpaksa diikat dengan tali rafia agar tidak terlepas.
BM Gema Suara didirikan pada 1930. Beryukur, mereka masih bisa bertahan sampai sekarang. Resepnya adalah mengikuti perkembangan zaman. Pada zaman jayanya Miss Ribut, mereka membawakan lagu-lagu Miss Ribut. Zaman kejayaan Ida Laila, Sam Saimun, P Ramlee, dan Mashabi, mereka membawakan lagu-lagu Melayu. Pada zaman jayanya dangdut, mereka membawakan lagu Rhoma Irama, Elvie Sukaesih, dan pada zaman kejayaan Inul, Iis Dahlia, Megi Z, Imam S Arifin, dan Mansyur S, mereka masih bisa juga mengikutinya.
Namun, kini di zaman kejayaan Trio Macan, Julia Perez, Kucing Garong, dan Belah Duren, mereka makin keteter mengikutinya. Maklumlah, irama musik Kucing Garong dan Belah Duren sangat cepat. Padahal, para personel BM Gema Suara sudah berusia tua. Anggota termuda BM Gema Suara adalah Andy Sahrial, itu pun usianya sudah 35 tahun. Anggota lainnya rata-rata berusia 50 atau 60 tahun. Ketuanya, Ki Agus Kailani, bahkan sudah berusia 70 tahun.
“Saya adalah generasi ketiga yang diwarisi grup musik ini oleh ayah saya,” kata pemimpin BM Gema Suara saat ini, Ki Agus Udjang Kailani (70), di sela-sela acara pemancangan tiang pertama renovasi GOR Sriwijaya di Palembang oleh Gubernur Sumsel, Alex Noedin, Jumat (22/10) lalu.
Untuk mempertahankan hidup, BM Gema Suara dituntut pandai-pandai mengikuti permintaan pasar. Untuk acara pemancangan tiang seperti di atas, ia menggandeng penyanyi Melayu Neneng bin Binti Salim. Neneng pada acara pemancangan tiang siang itu dengan fasih membawakan lagu Melayu “Fatwa Pujangga” dan “Semalam di Malaysia”.
Untuk acara Imlek atau ulang tahun kelenteng (rumah ibadah umat Buddha atau Kong Hu Cu), BMGS menggandeng penyanyi Mei Fan, yang jago membawakan lagu-lagu gambang kromong dan Mandarin. Untuk acara yang agak ngepop, BMGS menggandeng penyanyi bar bernama Yuli.
“Kami hanya pengiring saja, penyanyinya kami sewa dari luar, tapi tinggalnya tidak jauh dari kami di 14 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 2. Umumnya, pemain kami masih bersaudara. Saya tidak pernah jemu meminta mereka untuk melestarikan musik keluarga ini,,” kata Udjang.
Menurut Udhang, sebagian besar dari 12 anggotanya bisa membaca not balok karena mereka pernah ikut pendidikan musik. Udjang sendiri kerap membeli keping CD yang berisi musik dan menuliskan not baloknya. Lagu tersebut dibangun ulang sesuai kemampuan personel BM GS.
Honor yang diterima BMGS dari satu kali pementasan Rp 1 juta. Uang tersebut harus dibagi 12, termasuk penyanyi. “Satu orang kira-kira mendapat Rp 80.000. Lumayan untuk menopang kehidupan personel saya yang sehari-hari bekerja sebagai tukang las, tukang cat atau buruh kasar,” ujar kakek dari 22 cucu dan buyut dari 4 cicit itu.
Kendala yang dihadapi Udjang saat ini adalah peralatannya yang sudah tua. Ia kesulitan memperbarui peralatannya karena tidak punya uang. “Kalaupun uangnya ada, mungkin peralatannya sudah tidak ada lagi di toko. Pasalnya, peralatan kami sudah jadul banget, ha ha ha,” kata Udjang berseloroh. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar