http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/militer-yang-sukses-di-sepakbola/
Rahmad Darmawan, Pelatih Sriwijaya FC
Militer yang Sukses di Bola
Kapten Rahmad Darmawan rasanya pantas mendapat predikat pelatih fenomenal. Prestasi militer aktif ini membawa Sriwijaya FC Palembang meraih prestasi yang cukup fenomena bisa diacungi jempol.
Prestasi tersebut, mengawinkan mahkota Liga Djarum Indonesia dan Copa Dji Sam Soe belum lama ini, hingga disebut double winner pada musim kompetisi tahun lalu merupakan rekor baru. Lalu di musim tahun ini kembali menoreh rekor baru, dua kali berturut-turun tim yang dilatihnya kesebelasan wong kito, meraih juara copa.
Prestasi mengawinkan duo piala dalam satu musim tersebut sebuah cacatan fantastis dan fenomenal dalm sejarah sepakbola Indonesia, terlebih Sumatera Selatan (Sumsel) yang baru memiliki sebuah klub profesianal baru 3 tahun. Sukses tim berjuluk ”Laskar Wong Kito” ini tidak lepas dari peran pria berusia 42 tahun ini.
Begitu juga dua tahun berturut-turut menggondol juara copa. Merupakan rekor yang belum pernah ada sebelumnya.
Pengalamannya sebagai pemain di lapangan hijau berpadu dengan ilmu kepelatihan, merupakan satu kemasan baginya dalam mengarsiteki klub yang baru berusia 3 tahun setelah sebelumnya mengambil-alih dari Persijatim, (Pesija Jakarta Timur). Ilmu kepelatihan sendiri diperolehnya saat kuliah di IKIP Jakarta jurusan Kepelatihan, serta sejumlah kursus internasional yang diikutinya.
“Melatih sepakbola bukan hanya harus memiliki pengetahuan dan kemampuan tentang dasar-dasar ilmu kepelatihan sepakbola. Tidak juga hanya menyangkut cara bermain, membentuk fisik peima tetapi juga yang tidak kalah pentingnya psikologi kepelatihan. Yang terakhir ini bahkan ini sangat penting dan dominan ketika dihadapkan kendala-kendala di luar teknik sepakbola,” ujar Rahmad Darmawan., saat ditemui sela-sela penandatanganan kontrak pemain 21 SFC yang tahun ini digelari the dream team, di rumah dinas Gubernur Sumsel, Griya Agung, pekan lalu.
Bagi Rahmad, faktor psikologis tidak bisa ditawar. Saat menukangi Persipura Jayapura, ia selalu mengikuti acara religius yang rutin dilakukan pemain menjelang pertandingan. Hasilnya, ia mengantarkan Mutiara Hitam ke panggung juara Liga Indonesia 2005. Latar belakangnya sebagai anggota Marinir (kapten aktif) terkadang pula digunakannya untuk menegakkan disiplin, seperti saat seorang pemain yang terlambat datang latihan. Namun, karena tidak berhasil, diapun mengubah pola pendekatan.
Di Sriwijaya FC, Rahmad menerapkan cara sedikit berbeda tetapi tetap bermuara pada faktor psikologis pemain. Dia memadukan pendekatan kekeluargaan dan profesional. Setiap pemain adalah bagian keluarga, tidak ada yang dianak-emaskan ataupun dianak-tirikan.
Prestasi gemilang untuk pelatih lokal di tengah banjirnya arsitek asing, sempat membuatnya dicalonkan menangani tim nasional menggantikan Ivan Kolev, walau kemudian PSSI lebih memilih Benny Dollo.
Bulutangkis
Rahmad dilahirkan di Punggur, Metro. Sebetulnya putra pasangan H Sumardi dan Hj Koesila itu pada kelas III Sekolah Dasar tidak bercita-cita menggeluti sepak bola. Dia lebih memilih bulu tangkis menjadi olahraga kegemarannya. Namun, takdir menghendaki lain bagi anak kelima dari tujuh bersaudara itu.
Dia meninggalkan bulu tangkis ketika kelas VI karena lapangan yang ada di depan rumahnya lebih banyak dipakai orang-orang tua. "Akhirnya saya bersama teman-teman bermain sepak bola," kata perwira staf administrasi personalia Lantamal III.
Adalah pemberian bola dan sepatu bola dari sang ayah yang dibelinya di Palembang membuat segalanya berubah. Minatnya pun berganti ke sepakbola yang di kemudian hari melambungkan dan mengharumkan namanya. Ia juga tidak harus resah meski dalam karier kemiliteran tertinggal dari teman-teman seangkatannya.
Bagi Cek Mad, demikian warga Kota Palembang kerap menyapanya, kedua orang tuanya pihak yang paling berjasa karena dari merekalah bakat dan kecintaannya di sepakbola mulai meretas. Sejumlah nama lain seperti Tarehatta (kini pelatih di UKI Jakarta), Maruli Sianipar (mantan menajer tim Persija), Hindarto (Pelatih Persija) pun di matanya sangat berperan dan mendominasi dalam kariernya sebagai pemaian maupun pelatih. Rahmad juga memberi apresiasi tinggi kepada istrinya Eti Yuliawati (38) serta dua anaknya Febia Aldina Darmawan (14) dan Ravaldi Agung Darmawan (9) yang terus memberi dukungannya selama dirinya sebagai pelatih.
Sepabola digeluti mulai dari tim sepakbola pelajar Lampung Tengah, kemudian membela PS Tanggul Angin hingga ke PS Metro. Pelatihnya Suwartono. Di sini, timnya sempat juara Suratin Cup zona Sumsel 1983. Dia pun membela tim PON Lampung. Prestasinya, Cek Mad, panggilan akrabnya sejak menjadi pelatih SFC, menjadi top skor dengan lima gol. Juga top skor di turnamen Cakerdonyo. Lalu diapun ditarik masuk Timnas. Dari Junior hingga senior. Posisinya, biasanya striker dan wing.
Rahmad Darmawan memulai kariernya sebagai pesepak bola di Persija "Macan Kemayoran" Jakarta 1985. juga masuk Timnas U-23. Juga sempat memperkat beberapa kesebalasan, seperti Army Force Malaysia, dan Persikota.
Saat training centre lawan Bayern Urdingan (klub divisi Utama Jerman), lututnya cedera. Mimpinya tampil di Pra Piala Dunia pun buyar. Dia kembali ke Jakarta. Mulanya menjadi asisten pelatih kesebelasan Bank Indonesia. Pelatih kepala saat itu Hari Tjong. Setahun kemudian dia menjadi pelatih kepala karena Hari Tjong menjadi pelatih PS Banda Aceh.
Tahun 1990 dia mengantongi sarjana IKIP. Lalu ditawari masuk Wamil karena ketika itu TNI punya PS ABRI yang bermain di Galatama. Hingga 1997 dia memperkuat berbagai tim sampai akhirnya kembali cidera lutut kiri saat memperkuat Persikota dan akhirnya memutuskan full sebagai pelatih.
Pensiun sebagai pemain di klub Ibu Kota itu, Rahmad mencoba peruntungannya sebagai pelatih di tim ”Bayi Ajaib” Persikota Tangerang. Rahmad melatih klub berjuluk Bayi Ajaib itu selama empat tahun, mulai dari tahun 2000.
Sembari melatih Persikota, pengagum Maradona dan Piere Lisbersky ini mengasah keterampilannya sebagai pelatih dengan belajar ke manca negara. Di penghujung karirnya sebagai Pelatih Persikota, Rahmad mengantungi International Licence di bawah bimbingan Horst Kriete dan Bernd Fisher. Usai mendapatkan lisensi tertinggi itu, Rahmad langsung hijrah ke Persipura Jayapura.
Di bawah tangan dinginnya, Persipura, yang mulai pudar namanya, kembali bangkit dan meraih gelar juara LI 2005. Prestasi ini langsung melambungkan nama Rahmad. Beberapa klub dalam dan luar negeri, seperti Perak FC Malaysia dan Persebaya Surabaya, tertarik untuk menggunakan jasanya. Tetapi, Rahmad melabuhkan hatinya ke Persija.
Pilihannya kembali ke Ibu Kota itu, pada akhirnya disesali Rahmad. Suami dari Eti Yuliawati itu mengakui kesalahannya menerima pinangan Persija. Pasalnya, di Persija dia tidak bisa berbuat banyak. Rahmad tidak bisa memilih pemain- pemain yang akan memperkuat timnya, padahal memilih pemain merupakan tugas dan kewajiban seorang pelatih kepala.
"Saya akui, saya yang salah. Kenapa mau ke Persija. Saat itu saya mau ke Persija karena dijanjikan akan ada Agu Casmir (bek Timnas Singapura), Emmanuel De Porras (mantan striker Persija dan PSIS Semarang), dan Ronald Fagundes (gelandang Persik Kediri). Ternyata semua nama-nama besar itu kabur," kata Rahmad yang mengagumi pelatih Hose Moreno, pelatih Intermilan yang sebelumnya melatih Chealse.
Musim kompetisi tahun 2006 itu menjadi masa-masa paling sulit dalam karir Rahmad. Tetapi, dengan materi pemain seadanya dan bukan pilihannya --belum lagi intervensi dari berbagai pihak-- kapten Marinir itu masih bisa membawa Persija ke babak delapan besar LI dan peringkat ketiga CI. Jauh dari target yang ditetapkan, yaitu meraih salah satu gelar juara.
Terperosok di Ibu Kota , Rahmad mengikat kontrak selama dua tahun dengan Sriwijaya FC Palembang (d/h Persijatim Jakarta). Di klub ini, Rahmad dibebaskan mengatur segi teknis tim, tanpa ada intervensi siapa pun. Hasilnya, Rahmad meraih double winner di tahun pertamanya di Palembang. Padahal, pria yang hobi bernyanyi tadinya hanya ditargetkan membawa Sriwijaya FC ke zona Liga Super.
”Saya ingin membawa SFC ke jenjang atas prsepakbolaan nasional. Menjadikan tim yang disegani dan sarat prestasi,” ujar lulusan SMA Negeri Kota Gajah, Metro, ihwal obsesinya ke depan.
Pria yang bertutur lemah-lembut dan rendah hati in merasa prihtain kerapnya terjadi kerusuhan di tengah lapangan baik karena kepemimpinan wasit maupun ulah pemain yang berlebihan. Sikap dan mental pemain di lapangan, baginya sangatlah penting. Terhadap keputusan wasit yang merugikan timnya, Rahmad menekankan agar pemain jangan larut dan ikut-ikutan melakukan protes.
“(Bermain) sepakbola memerlukan konsentrasi tinggi. Semakin sering pemain melakukan protes maka mengakibatkan konsentrasi buyar. Kalau sudah demikian, maka bersiaplah menerima kekalahan, karena lawan akan memanfaatkan moment tersebut,” ujar alumnus IKIP Negeri Jakarta (Sekarang Universitas Negeri Jakarta), Fakultas Pendidikan Olahraga jurusan kepelatihan, tahun 1990. Satu angkatan dengan Syafrudddin Fabanyo, eks pemain Kramayudha Tiga Berlian (era Galatama) Palembang, pelatih fisik SFC sekarang. Rahmad yang dipanggil Cekmad ini, masuk ke IKIP lewat jalur penulusran minat dan kemampuan (PMDK).
Dua Dunia
Menggeluti dua profesi, militer dan olahraga, bagi Cek Mad, bukanlah kendala. Justru memberikan manfaat ganda.
Menggeluti dunia sepak bola, bagi RD dirasakan memberikan manfaat banyak. Melalui bola dia merasakan sangat gampang menjalin pertemanan. Lalu, baginya, sepakbola itu adalah miniatur kehidupan. Dari bola bia belajar sportivitas, team work, dan mengambil keputusan tepat dalam waktu singkat. Juga dari bola, bisa berhubungan dengan dunia yang lebih besar. Tidak sebatas lapangan bola. Tapi, dengan banyak orang dan banyak lingkungan.
Terakhir, baginya, dengan bola bisa masuk ke dunia militer melalui wamil. “Saya diterima di TNI ya karena prestasi saya di bola,” ujarnya.
Dengan masuk ke lingkungan mliter, ternyata menambah spirit. Apalagi, di militer memberkan identitas tersendiri. Di tengah masyarakat, TNI itu identik dengan ksatria. Hingga dia punya kebangaan sendri sebagai seorang militer. Di militer juga dia bisa belajar tegas. Ketegasan yang kemudian dipadukan dengan jiwa seni mengocek bola, menjadi ilmu tersendiri sebagai pelatih. Pelatih yang tegas, mengayomi, sekaligus memahami kemampuan dan kekurangan timnya.
Ditambah, TNI ternyata juga memberi keleluasaan mengembangkan karier di sepak bola. Sehingga kalaupun pangkatnyamasih di kapten, sementara rekan-rekan seangkatan sudah ada yang letkol, tidak menjadi masalah. “Di sepak bola kan tidak ada tuh, letkol kesebelasan. Yang ada, kapten kesebelasan,” selorohnya.
(sh/muhamad nasir)
Sisi Lain
Punya Suara Emas
Lagu Aku Mau milik Once Dewa melantun dari atas panggung di ruangan Griya Agung. Tepukan pun menggema. Jika tak melihat siapa yang menyanyi, mungkin ada yang salah terka. Dikira Once show di ruangan itu.
Padahal, yang di atas panggung diiringi home band rumah dinas Gubernur itu ternyata adalah pelatih SFC, Rahmad Darmawan.
Dengan modal suara itu, jika Cek Mad pun menggeluti dunia tarik suara mungkin prestasi pun diraihnya dan albumnya bisa laku keras.
Sayangnya, suami dari Eti Yuliawati ini, tidak melakoni itu. Dia masih menekuni dunia kepelatihan. “Tapi paling tidak kalau pensiun dari pelatih mungkin bisa beralih menjadi penyanyi,” seloroh Presiden Direktur PT SOM, manajemern SFC, Dodi Reza Alex.
Sang istri pun, ternyata tertarik kepadanya bukan karena suara melainkan karena klehebatannya mengocek bola. Dulu, dia kenal dengan istrinya itu karena sang pujaannya hobi nonton Persija jika main di Stadion Menteng. Istrinya itu, kebetulan adik ipar dari Kamarudin Beta, salah seorang pemain bola yang cukup disegani kala itu.
Tapi dengan suara emasnya itu, sang istri pun terhibur. Terlebih saat mereka mengisi waktu-waktu kosong. (sh/muhamad nasir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar