Kamis, 25 November 2010

Aura Musi, Satukan Perupa Nusantara dan Musi




Palembang:

Musi, sebagai sungai bukan sekadar memberikan inspirasi yang bisa ditorehkan di atas kanvas. Lebih dari itu, sungai yang juga merupakan bagian dari aliran batanghari sembilan itu telah melahirkan seniman yang kemudian di kenal di nusantara. Sebut saja, Amri Yahya yang disusul oleh seniman lainnya.

Bagaimana jika seniman nusantara dan perupa di aliran Musi dipadukan dalam satu panggung?

Ini bisa dinikmati di Pameran bertajuk ”Aura Musi” yang digagas Galeri Nasional sejak Senin (21/11) hingga Sabtu (27/11) mendatang di Hall Ida Bayumi, Kampus Universitas IBA Palembang.

Meski tak seramai pasar malam, pameran ini paling tidak menyampaikan pesan-pesan dari seniman yang lahir dan berkarya di sepanjang Musi dan Batanghari Sembilan. Gambaran lokal ini bukan hanya ditampilkan seniman lokal tetapi juga mereka yang sudah lebih dahulu ’naik daun’ seperti Amri Yahya. Tetapi juga perupa-perupa muda seperti Edo Pop, Syahrizal Pahlevi, Ronald Aprian, Askanadni, dan lain-lain. Tercatat ada 25 seniman muda memamerkan karyanya.


M Agus Burhan, kurator Galeri Nasional dalam ’buku suci pameran’ menulis bahwa even ini bermaksud menghadirkan wajah seni lukis modern indonesia sekaligus membangkitkan potensi seni rupa modern di daerah setempat. Palembang, merupakan daerah kesekian setelah Medan, Manado, Balikpapan, dan Ambon yang dihampiri.

Melalui pameran ini, menurutnya, seniman nasional yang selama ini hanya dikenal lewat buku, media massa, dan informasi dunia maya, kini benar-benar bisa disapa secara langsung.

Supaya energi kreatifnya menular ke daerah, maka dipadupadankanlah karya menasional yang monumental dengan karya seniman di aliran Musi. Sehingga nantinya, nusantara dan Musi saling bersinergi, saling menularkan auranya.
Masyarakat lah nanti yang akan merasakan auranya. Maka, tak heran kalau pengunjung pun banyak yang mengabadikan diri mereka bersama karya-karya di arena pameran. Bukan hanya lukisan-lukisan yang telah berumur dan dikenal, tetapi juga lukisan-lukisan yang muncul kemudian.

Memang ada sedikitnya 80 lukisan dipamerkan. Baik koleksi pilihan galeri nasional maupun karya para perupa Sumsel.

Di dinding sebelah kiri dekat pintu masuk ada tiga lukisan karya pelukis terkenal tanah air. Lukisan pertama berjudul “Kakak dan Adik” karya almarhum Basoeki Abdullah. Lukisan cat minyak pada kanvas berukuran 65 x 79 cm itu, memperlihatkan sang kakak mendukung adiknya, begitu hidup dan seolah nyata. Pada keterangan lukisan tertera, tahun pembuatan 1978. Di sebelahnya, ada lukisan berjudul “Ibu Menjahit “ karya pelukis S Sudjojono.
Lukisan yang telah berumur 75 tahun ini diabadikan di atas kanvas 55,5 x 71 cm. Dengan cat minyaknya, S Sudjojono melukiskan sosok seorang ibu sedang duduk di atas sebuah kursi dan fokus menjahit. Ciri yang menandakan jaman dulu terlihat jelas, dimana sang ibu rambutnya disanggul, mengenakan kain dan kebaya.
Di sisinya dipajang karya Affandi “Bunga Matahari I”. Cukup besar, 100 x 170 cm, dibuat tahun 1974 dengan cat minyak dan dominasi warna kuning. Sementara, di dinding kanan depan, ada lukisan “Potret Diri” karya Haryadi Selobinangun berukuran 120 x 90 cm yang dibuat tahun 1962.
Perupa Sumsel, misalnya Amri Yahya, karya yang dipilih dari koleksi Galeri Nasional cukup tua bertahun 1963, dengan judul Lebak. Lukisan cat minyak. Karya almarhum kelahiran Ogan Ilir yang 2001 lalu mendapat honor causa dari Universitas Negeri Yogyakarta cukup menarik perhatian.

Begitu juga karya-karya lainnya dengan objek yang bervariasi. Mulai dari objek manusia yag ditangkap dan dialihkan ke kanvas, seperti “Menunggu I” karya D’maah yang menggambar sosok lelaki di aliran Sungai Musi dengan latar rumah rakit. Armada Ms, dengan lukisan Mei 98 yang menggambarkan realitas wajah memelas di balik sobekan kain yang berdarah. Lalu ada Heru Andriansyah yang menggoreskan suasana di kesultanan dalam lukisan berjudul Mengatur Strategi. Yulis Armita, dengan kreativitasnya menorehkan pena di atas kertas berupa tubuh dengan darah di dadanya berjudul ”Kesia-siaan” dan ”My First Baby” berupa rahim yang digambarkan berupa lingkaran berisi calon putrinya.
Gambaran kehidupan Palembang juga dipatrikan pelukis lainnya, seperti Rahman R hambour yang merekam kondisi banjir yang sudah biasa di kota Palembang berjudul ”Banjir Bukan Penghalang” sepasang bocah pelajar SD mengangkat celana pendek dan roknya ketika melintas banjir. Seragam putih merahnya begitu hidup. Lalu Fariz Fahlevi Akbar mengabadikan kebiasaan masyarakat menjadikan Musi sebagai MCK (mandi cuci dan kakus). Pelajar SMAN 8 Palembang ini memberi judul lukisannya ”Tak Lagi di Musi”.
Unsur budaya dan tradisi juga direkam perupa Musi, seperti Halimatus Sa’diyah yang memberi judul ”Misteri Pulau Kemaro” atas lukisannya menggunakan akrilik yang menggambarkan suasana Pulau Kemaro yang memang penuh legenda. Bersama Suparman S, memang siswa SMA Sampoerna ini berhasil mengabadikan pulau kemarau. Meski sudut pandangnya berbeda.
Lalu ada Emielson Saparudin yang memajang lukisan kehidupan Musi lengkap dengan rumah rakit dan Jembatan Ampera. Judulnya tegas, ”Permukiman Pinggiran”. Tempat ibadah di tepi Sungai bisa dinikmati dalam lukisan Nawir Mc Pitt bertitel Mesjid di tepi Batanghari”. Ada mesjid lalu ada perahu ketek berwarna hitam-putih..
Lukisan abstrak juga terlihat meramaikan even ini. Misalnya Muhamad Natsir dengan ”Deja Vu”-nya, Askanadi melalui ”Untitle”, Ronald Apriyan melalui ciptaannya berjudul Lonely Judge” berupa sebatang palu. Lalu ada ”Sungaiku yang Hilang” karya Rudi Maryanto, Edy Fahyuni dengan ”Bahayo Nang#1”. Fajar Agustono memberi judul lukisannya ”Satu Kita kalah, Bersatu kita Menang”, M Azizi Al Majid ”Di Bawah Jembatan Ampera” dan Baharizki Talibrata dengan ”Ikan-Ikan I” nya.
Amrul Hiban cukup berbeda melalui lukisan berjudul ”Kebiasaan di Dusun”. Ada ’sehekap’ alat penangkap ikan terbuat dari rotan, ada kotak-kotak hitam bak papan catur, ada manusia menaiki tangga, lalu ada buah dadu.

Bagi mereka yang berkesempatan hadir di pameran ini, memang akan cukup puas. “Kami bawa 25 lukisasaann karya pelukis Indonesia yang menjadi karya pilihan Galeri Nasional,”ungkap Kepala Galeri Nasional Indonesia, Tubagus Andre Sukmana.
A Erwan Suryanegara, selaku pendamping kurator mengatakan, dalam pameran ada 25 perupa Sumsel yang ikut ambil bagian. Setiap perupa menampilkan minimal satu dan maksimal tiga karya senirupa yang lulus seleksi. Hingga 27 November mendatang, ada beberapa rangkaian kegiatan yang akan dilaksanakan memeriahkan pameran ini. Tiara Putri Utami, pelajar SMAN Sumsel melengkapi pameran dengan karyanya tiga uit perahu kajang yang dibuat dari batang pohon kelapa
Musi terus mengalir, auranya bisa diabadikan di atas kanvas. Pelukis akan terus berkarya seiring arus Musi yang akan berlabuh ke laut yang luas. (sh/muhamad nasir)

1 komentar:

batanghariku mengatakan...

::: Siiip....P' Nasir...!