Senin, 05 September 2011

H. Syarwani Ahmad, Rektornya Para Guru

Palembang: Doktor H. Syarwani Ahmad, lebih tepat disebut sebagai rektor guru. Karena lembaga pendidikan yang dipimpinnya ini telah menelurkan belasan ribu guru yang kini telah mengabdi di berbagai pelosok wilayah Sumsel. Bahkan mungki ada yang diluar Sumsel. Sebelumnya, lelaki kelahiran Mengulak, OKU Timur ini, juga sempat memimpin Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Palembang. STKIP ini sendiri merupakan cikal bakal Universitas PGRI yang dipimpinnya kini.
Sebagai lembaga kawah candradimukanya para guru, STKIP yang berdiri tahun 1984 ini kemudian berubah menjadi Universitas PGRI Palembang di tahun 2000. Rektor pertamanya, H Usman Madjid. Menggantikan posisi H Usman Masjid, sebelumnya sejak 2011 hingga 2010, Syarwani menjabat sebagai Dekan FKIP. Kini, termasuk mahasiswa baru, tercatat sedikitnya 14.000 mahasiswa sedang menuntut ilmu di lima fakultas yang ada. ”Namun, tetap didominasi oleh mahasiswa FKIP,” ujar Syarwani. Sementara untuk dosennya, tercatat 1.109 orang. Terdiri dari dosen berpendidikan S-1, S-2, dan S-3. Awal September ini, kembali menelurkan 1.680 sarjana baru dari berbagai bidang ilmu, pendidikan, hukum, teknik, MIPA, dan ekonomi. Meniti karier dari guru, Syarwani mengaku memang sangat cinta dengan dunia pendidikan. Saat duduk di kelas II Sekolah Pendidikan Guru (SPG), suami dari Hj Rosmalina ini sudah mengajar di SD. Dia menamatkan SPGN 1 Palembang tahun 1968. Namun baru tahun 1971 diangkat sebagai PNS. Di luar itu, setelah menyelesaiakn pendidikan lanjutan di Unsri, dia juga aktif mengajar di SMP, SMA bahkan di perguruan tinggi. Hanya sampai tahun 1977, dia mengabdi sebagai pahlawan tanpa tanda jasa di pendidikan dasar. Kemudian menjadi penilik kebudayaan hingga 1977. Karenanya, berbagai pengalaman mendidik anak-anak sudah dirasakannya. Baginya, yang paling sulit itu memang mendidik anak-anak saat mereka mulai masuk pendidikan formal. Kariernya berlanjut ke bidang adminsitasi pendidikan karena kemudian dipercaya sebagai Kasubag Kepegawaian Kandepdikbud Kota Palembang. Hingga jabatan terakhirnya sebagai Kabag TU Dinas Diknas Sumsel. Kecintaannya pada profesi guru juga tergambar dari karier organisasinya di PGRI, dimulai dari Pengurus PGRI SU II Palembang sampai akhirnya ditahun lalu didaulat menjadi Ketua DPD PGRI Sumsel, menggantikan H. Aidil Fitrisyah. Merintis PGSD Swasta Melihat kondisi pendidikan guru SD berpendidikan S-1 yang masih kurang, doktor alumnus Universitas Negeri Jakarta ini punya komitmen bisa menelurkan sarjana pendidikan khusus untuk SD.
“Selama ini, memang kami mendidik guru dan calon guru, termasuk untuk tingkat SD. Namun, penyetaraan bagi guru SD, rasanya kurang pas. Karena mereka nantinya mejadi guru bidang studi. Seperti guru bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bimbingan dan konseling, akuntansi, sejarah, matematika, olahraga, dan seni musik,” ujarnya. Padahal, sejatinya para guru SD itu memang lulusan sarjana pendidikan sekolah dasar (PGSD). Yang disiapkan memang untuk mengajar di tingkat SD. Saat ini yang menghasilkan sarjana demikian, PGSD. ”Sayangnya, PGSD itu baru ada di perguruan tinggi negeri. Karenanya, kami mendesak agar lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) juga diberi izin untuk membuka pendiikan guru SD. Sehingga, formasi yang dibutuhkan di pendidikan dasar juga bisa dipasok oleh perguruan tinggi swasta,” harapnya. Diakuinya, selama ini pun kebutuhan tenaga guru tidak bisa hanya dipenuhi oleh perguran tinggi negeri. Dan, data yang tak bisa dipungkiri, dalam waktu dekat ini sedikitnya 30.000 guru di SD yang tamatan SPG akan memasuki pensiun. Ini harus diantisipasi. Kalau tidak, maka akan terjadi kekurangan jumlah guru yang cukup merepotkan. ”Jika perguruan tinggi swasta diperkenankan, maka kekurangan tersebuit bisa diantisipasi. Karena pada saatnya nanti, sarjana khusus untuk mendidikan di pendidikan dasar sudah tersedia,” tambah ayah tiga anak ini, Deri Setiawan, Febriansyah, Feni Astuti, dan Meli Damayanti. Dari keempat anaknya, hanya yang bungsu mengikuti jejaknya sebagai pendidik. Saat ini, Universitas PGRI yang dipimpinnya, termasuk perguran tinggi swasta dengan jumlah mahasiswa yang paling banyak di Sumatera. Sementara di lingkungan PGRI sendiri, PTS yang paling banyak jumlah mahasiswanya di Indonesia. Kondisi ini bukan diperoleh dengan mudah. Tetapi, berbekal pengetahuannya sebagai pegawai di kepegawaian yang memiliki informasi kebutuhan tenaga guru, maka jurusan dan program studi yang dibuka di FKIP adalah yang memang dibutuhkan. Seperti Bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Mipa, Akuntasi, sejarah, dan sendratasik. Awal pendirian, pernah menerima mahasiswa jurusan olahraga dan seni. Namun karena tak diizinkan akhirnya mahasiswa jurusan olahraga harus dicatatkan sebagai mahasiswa Universitas Bekasi. Sampai akhirnya mereka lulus, dan ternyata semua lulusananya kini sudah terserap sebagai tenaga pendidikan. Baru kemudian enam tahun terakhir, jurusan olahraga dan sendratasik dibuka kembali. Dan ternyata lulusannya pun memang diserap oleh dunia pendidikan. Kini, PTS ini selain memiliki lima fakultas, juga memiliki program pascasarjana. Khususnya, program studi bahasa Indoneia dan bahasa Inggris. Dengan visi dan isi memajukan dunia pendidikan, upaya peningkatan mutu terus dilakukan. ”Terutama, untuk melaksanakan tri darma perguruan tinggi. Pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. ”Untuk penelitian, digenjot, paling tidak dalam setahun ada 50 penelitian yang dilakukan oleh dosen dengan dukungan dana dari lembaga. Begitu juga dengan mahasiswanya,” ujarnya. Paling tidak, keberadaan Universitas PGRI memang telah berdiri sejajar dengan PTN maupun PTS lainnya di Sumsel. Terbukti, tahun ini tercatat ada 3.600 mahasiswa baru. Bisa merangkul mahasiswa, tentu buka persoalan mudah. Berbagai cara dan strategi dilakukan. Misalnya dengan rangkul anak-aak para guru, juga guru-guru yang belum menempuh pendidikan S-1. Juga melalui media massa dan media lainnya. Tidakhanya di kota, tetapi juga hingga ke pelosok. ”Khusus mahasiswa yang berasal dari daerah selalu ditanamkan motivasi kalau mereka menyelesaikan pendidikan diharapna bisa dan bersedia mengabdi di daerahnya masing-masing. Karena memang tak bisa dipungkiri, kebutuhan guru di daerah jauh lebih banyak dibanding di perkotaan yang sudah demikian banyak,” cerita Syarwani soal perekrutan mahasiswa. Menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat (SR) di Desa Mengulak pada tahun 1962, SMP Negeri di Martapura pada tahun 1965, SPG Negeri di Palembang pada tahun 1968. Melanjutkan di FKIP Universitas Negeri Sriwijaya 1979 tamat Sarjana Muda, dan baru meneruskan ke jenjang S1 tahun 1986 dan lulus S1 tahun 1988. Melanjutkan ke jenjang Magister Manajemen ( S2) di Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Budi Luhur Jakarta lulus pada tahun 2001. Kemudian pada tahun 2002/2003 melanjutkan ke jenjang Doktor (S3) di Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta pada program Manajemen Pendidikan. (sh/muhamad nasir) Sisi Lain Mengajar Membaca Sebagai pendidik, H Syarani Ahmad yang punya hobi jalan pagi dan tenis ini, punya pengalaman yang paling berkesan saat mengajar di kelas-kelas awal. Khususnya belajar membaca. ”Dulu, di kelas I dan II SD itu ada pelajaran membaca permulaan menggunakan metode SAS (struktural analitik sintetik). Sebelumnya menggunakan metode eja,” ceritanya
Cukup sulit mengajarkan membaca kepada anak didik yang sebelumnya sama sekali tidak mengenal aksara dan huruf. Harus eksta sabar dan telaten. Alhamdulillah, pengalaman di tahun 1970 an itu, biasanya tak kurang dari tiga bulan, anak didik sudah bisa membaca. Bahkan, di kelas II, mereka sudah lancar membaca. Untuk membuktikannya, kepada anak didik diberikan koran, saat itu koran yang ada seperti Angkatan Bersenjata atau Sinar Harapan. ”Mereka umumnya lancar membaca. Hati rasanya sangat senang melihat anak didik sudah bisa membaca dengan suara keras,” tambahnya. (sh/muhamad nasir)

1 komentar:

metodesas@gmail.com mengatakan...

aku punya kotak program metode sas dan moddul kaartu kata untuk belajar membaca:ketik metode sas adalah mudah ........klik gambar
aku di ponorogo