Selasa, 28 April 2009

wayang palembang










Wayang Palembang, Tenggelam di Tepi Musi

Merangseknya budaya-budaya luar membuat generasi penerus tak mengenali dan tak menyukai budaya leluhur. Termasuk diantaranya, wayang Palembang yang kini telah semakin terpinggir dan mulai punah.
Wayang kulit Palembang memang tidak begitu dikenal dibanding wayang purwo asli Jawa. Walau sesungguhnya pernah tersohor di zamannya. Sayangnya, hingga kini peninggalan leluhur Palembang ini mulai punah ditelan zaman.
Di era 70 an dunia perwayangan Kota Palembang masih kerap menggelar kegiatan pentas di tengah masyarakat Palembang, seperti resepsi perkawinan serta khitanan. Namun kebiasaan masyarakat asli Palembang tidak menular ke generasi saat ini yang lebih mengenal kebudayaan luar.
Saat ini Wayang Purwa dari Jawa masih terus digandrungi dan digemari masyarakat Jawa. Bahkan bukan saja pada even tertentu saja, tetapi pementasan wayang purwa kerap diadakan oleh masyarakat Jawa khususnya yang tinggal di perkampungan. Seperti hiburan masyarakat, antara lain untuk acara khitanan dan resepsi perkawinan, bahkan perayaan syukuran kepala desa, maupun setelah selesai panen padi, masyarakat kerap menanggap wayang purwa ini.
Berbeda dengan wayang Palembang, agaknya era wayang Palembang sudah tenggelam. Tergeser oleh dominasi seni pop modern yang dinilai lebih menghibur. Berbagai hajatan rakyat, yang puluhan tahun lalu menjadi ruang pagelaran wayang Palembang, kini telah disergap pertunjukan organ tunggal yang marak di mana-mana.
Ironisnya, sebagian besar anak-anak di Palembang tidak begitu mengenal peninggalan leluhurnya ini. Tak sengaja, Jumat kemarin Sinar Harapan pernah bertanya kepada sejumlah siswa SLTP di Palembang. Sebagian besar mereka tidak mengetahui sama sekali bahwa Palembang memiliki wayang.
“Kita punya wayang asli kebudayaan Palembang ya, kak, dalangnya juga ada disini?saya kira Wayang berasal dari Jawa,” kata Heru, salah satu siswa SLTP Negeri di Palembang.
Karakter Khas
Johan Hanafiah budayawan Palembang menambahkan wayang Palembang sebenarnya kebudayaan yang memiliki karakter khas dibanding dengan wayang kulit purwa asal Jawa.
Namun sayang, lanjut dia wayang Palembang sudah kehilangan generasi penerus karena dalang terakhir wayang Palembang dengan menggunakan dialog bahasa Melayu Palembang itu, Ki Agus Rusdi Rasyid, telah meninggal pada Februari 2004. Saat ini, praktis tidak ada generasi penerus yang menguasai wayang tersebut.
Setelah era Alm Ki Agus Rusdi Rasyid usai, tambahnya seni tradisional, terutama wayang Palembang semakin ditinggalkan masyarakat, karena dinilai monoton dan tidak memiliki daya jual yang menarik.
Dia memaparkan Wayang Palembang, yang diperkirakan tumbuh sejak pertengahan abad ke-19 Masehi, saat Arya Damar yang terpengaruh budaya Jawa berkuasa di daerah Palembang. Wayang itu kemudian terus tumbuh dengan karakter lokal sehingga menjadi khas Palembang.
Wayang Palembang memiliki bentuk fisik dan sumber cerita yang sama dengan wayang purwa dari Jawa.
Bedanya, wayang Palembang dimainkan dengan menggunakan bahasa Melayu Palembang, dan perilaku tokoh-tokohnya lebih bebas. Sementara wayang purwa menggunakan bahasa Jawa dan perwatakan tokohnya ketat dengan pakem-pakem klasik.
Dia menilai merupakan kehilangan besar bagi masyarakat Sumsel, sehingga semua masyarakat Sumsel seharusnya bertanggung jawab untuk kembali menggali dan melestarikannya. (sh/muhamad nasir)

Tersimpan Rapi






Di rumah panggung kayu yang tersembunyi di Lorong Pasar, Pasar Tangga Buntung yang sesak tepatnya di Kelurahan 36 Ilir Palembang, dapat dijumpai peninggalan aset wayang Palembang.
Meski wayang tersebut sudah kusam, kotor dan rusak, sebagai warisan luluhur dan bukti sejarah wayang tersebut tetap tersimpan rapih di dalam peti khusus di kediaman Alm Ki Agus Rusdi Rasyid.
Dalang Muda Wirawan Rusdi, putra pertama Alm Rusdi, penerus dunia perwayangan Palembang bercerita banyak saat dijumpai di kediamannya.
Pedalang muda dari Sanggar Sri Wayang Palembang, Wirawan Rusdi anak dari pedalang senior asli Palembang, Ki Agus Rusdi Rasyid (alm) mengakui, kesenian tradisional wayang kulit Palembang, Sumatra Selatan, saat ini sudah mulai punah akibat tidak ada lagi generasi baru yang meneruskannya.
Selain itu, menurutnya, pedalang tua yang menguasai wayang dengan dialog berbahasa khas Melayu Palembang itu sudah tiada lagi.Sementara pemerintah dan lembaga kebudayaan tidak memiliki agenda konkret untuk melestarikan kekayaan tradisi itu.
Wirawan menjelaskan agar kebudayaan tersebut tidak punah, kepedulian Tim Peneliti dari UNESCO- sebuah badan dunia untuk urusan pendidikan dan kebudayaan ikut terlibat saat itu.
“Mereka mengutus Karen Smith wanita asal Australia menetap di Amerika dan Yushi Simishu pria asal Jepang yang menetap di Paris, markasnya UNESCO untuk berkunjung ke Sanggar kami yang terletak di Jalan PSI Lautan Rt.10,16 Ceklatah, 36 Ilir Palembang,” paparnya.
Hingga kini, sambungnya Sanggar Sri Wayang menjadi binaan UNESCO satu-satunya di Palembang, sebab wayang merupakan kekayaan seni tradisi lokal yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada tahun 2004.
Dia mengungkapkan, saat itu Tim UNESCO mengunjung Sanggar Sri Wayang tidak sendirian. Melainkan dibarengi pimpinan Yayasan Senawangi Jakarta, Sumari, Ketua Persatuan Pendalangan Indonesia (Pepadi) Pusat, Eko Cipto, Ketua Pepadi Sumsel, H.R Amin Prabowo,
Menurutnya, rasa tertarik untuk mendalami dunia wayang hanya karena tanggung jawab terhadap aset budaya yang saat ini dinilai hampir punah, sebab tidak ada lagi generasi penerus untuk dalang di Palembang ini. Apalagi bukan dari keluarga besar Ki Rusdi Rasyid (kakeknya).
“Saya tidak pernah berpikir untuk menjadi dalang meski pada saat kecil dulu kerap dikenalkan wayang oleh ayah,”ungkapnya.
Namun, karena sadar untuk meneruskan asli budaya wayang Palembang dari keluarga setidaknya dia sebagai anak tertua ikut menerusnya tradisi dalang ini.
Dia menerangkan terobsesi menjadi dalang setelah ayahnya meninggal, ketika itu sekitar 2005 dikunjungi oleh utusan UNESCO. Saat itu Sanggar Sri Wayang warisan orang tuanya tersebut sempat vakum.
Karena diberi bantuan wayang dan seperangkat gamelan tersebut, akhirnya sempat berpikir untuk menjadi dalang.
“Saya tidak ingin bantuan itu hanya untuk pajangan. Dengan rasa tanggung jawab itu akhirnya saya mulai belajar mendalami dunia dalang,”paparnya.
“Hampir semua peralatan wayang peninggalan ayah sudah rusak, hilang, atau entah ke mana. Kebanyakan peninggalan ikut ludes saat kebakaran rumah sekitar 2004dan sebagian lagi terendam banjir tahunan atau keropos dimakan usia, sehingga saat itu sempat hampir terlupakan, tetapi dari bantuan itu membuat motivasi bangkit lagi,”ujarnya.
Dia menerangkan meski wayang Palembang tidak begitu terkenal dan tersohor dibanding wayang Jawa, sebagai penerus dalang dari keluarga, dia sangat bangga. Sebab ayahnya pernah di undang dipertunjukan wayang tradisional di Taman Ismail Marzuki Jakarta, awal tahun 1990-an.
Dia mengakui di eranya jarang dipanggil untuk pentas. Kalaupun tampil hanya pada even tertentu. Untuk secara komersil, seperti hajatan perkawinan dan sunatan tidak pernah sama sekali, karena kesenian ini jauh ngetopnya dibanding kesenian modern.
Namun berkat niat, lanjutnya, dia pernah ikut diundang untuk mentas di Jogyakarta dalam acara The Indonesia Puppets Exhibitions.
Dinilainya, saat ini wayang Palembang tenggelam, apalagi banyak masyarakat tidak mengetahui dan senang dengan kebudayaan asli. Apalagi sebagian masyarakat Palembang yang mengerti kesenian mengganggap menyewa wayang untuk pertunjukan lebih mahal dari organ tunggal.
Padahal, sambung Wirawan, dia tidak pernah mematok tarif khusus. Paling tidak kalau memang dikomersilkan hanya Rp5 juta- Rp6 juta.
Dia menjelaskan wayang Palembang berbeda, karena mentas hanya 1-3 jam, sementara wayang Jawa bisa semalam suntuk. Sehingga tarifnya pun lebih murah dibanding wayang Jawa yang bisa mencapai belasan juta sekali mentas.
Wirawan berharap kepada pemerintah daerah dapat mengenalkan wayang Palembang di setiap sekolah, meski hanya dalam kegiatan ekstra kulikuler dan hanya dilakukan hanya satu tahun sekali.
Selain itu dia bercita-cita Wayang Palembang asli kesenian Palembang ini dapat dikenal di Tanah Air bahkan keseluruh negara.
Kini hanya dia yang menjadi dalang asli Palembang. Almarhum Ki Agus Rusdi Rasyid, merupakan salah satu dalang terakhir yang menguasai permainan wayang Palembang. Sementara ayahnya baru meninggal setahun lalu. Adapun dalang-dalang lain, seperti Syekh Hanan dan Ki Agus Umar, sudah meninggal beberapa tahun silam. Sebenarnya masih ada dalang yang tersisa, Sukri Ahkab, yang pernah menjadi Kepala Stasiun RRI Palembang. Sukri pun sudah pindah dari Palembang beberapa tahun lalu. (sh/muhamad nasir)



http://www.sinarharapan.co.id/berita/0905/02/hib02.html

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0905/01/hib03.html

Tidak ada komentar: