Syamsu Indra Usman Hs
Penyair Gunung yang Jadi Ikon Daerah
Palembang:
Gaya bicaranya blak-blakan. Meski dia orang seni, ternyata bahasanya justru meledak-ledak. Tak ada gambaran kalau dia seniman. Berbeda jika dia sudah bergulat dengan puisi, baru kelihatan bahwa dia seorang seniman.
Nama Syamsu Indra Usman, sesungguhnya memang sudah dikenal di wilayah Sumsel. Tak sekadar di daerahnya, Kabupaten Empat Lawang. Bahkan, dalam benak beberapa sastrawan dan budayawan di Jakarta pun namanya sudah terpatri.
Kalau rajin membuka Direktori Penulis Indonesia, atau Buku Pintar Sastra Indonesia karya Pamusuk Eneste, pun Direktori Seni dan Budaya Indonesia 2000 memang namanya sudah tercatat.
Dalam dunia tulis menulis, sastrawan unik ini memiliki sedikitnya lima nama alias. Kelimanya, Indra Usman Karang Cayo, Indra Usman Ulu Musi, Indra Usman Rajo Teleguh, Indra Usman Patiugau, dan IIN Sarosa.
Meski usianya sudah kepala lima, lelaki kelahiran Lahat 12 Oktober 1956 ini memang masih penuh semangat. Suami Wesi ini masih aktif dalam organisasi kesenian. Dia bahkan kini dipercaya sebagai Ketua Dewan Kesenian Empat Lawang.
Meski karyanya sudah tak terhitung lagi, memang ayah dari Dwi Maresta Putri, Alva Agusti Sriosa, dan Pebi Ayu Lestari ini lebih suka tinggal di desanya di Lubuk Puding Kecamatan Ulu Musi, Empat Lawang. Karenanya, oleh teman-temannya dia dijuluki sebagai Penyair Gunung.
Alumni Akademi Bank danManajemen, Jurusan Perbankan Jember ini, memang lebih memilih berkarya dari kampung halamannya. Meski demikian, karya-karya telah merambah ke berbagai media dan dinikmati oleh banyak orang.
Selain sebagai seniman, di daerahnya dia juga mengabdi sebagai guru dan juga aktif di berbagai organisasi. Puluhan karyanya pun telah diterbitkan diantaranya, Orang-Orang Tertindas (Kumpulan Puisi), Balada Gadis Urban (Kumpulan Puisi), Hati Seorang Perempuan (Novel), Resep Makanan Daerah Empat Lawang, Petatah Petitih daerah Empat Lawang, Kumpulan Rejung Empat Lawang ( kumpulan pantun), juga Kamus Bahasa Daerah Empat Lawang.
Selain karya-karya yang telah diterbitkan, uniknya Syamsu Indra Usman ternyata masih telaten menyimpan tulisan tangan asli karya-karya itu. ”Selama ini saya memang menulis sendiri dengan tangan karya-karya saya. Mengetik pun saya tak bisa. Apalagi, menggunakan komputer,” ujarnya ketika ditemui di kediamannya di Tebingtinggi yang baru dihuninya sekitar setahun terakhir.
Salah satu karya yang tengah diselesaikannya adalah membuat kamus bahasa Empat Lawang. ”Ini bukan proyek dan saya bekerja sendiri mengumpulkan data-datanya,” ujarnya bersemangat. Memang tak ada nada-nada rendah dalam gaya bicaranya.
Keprihatinannya terhadap seni dan budaya daerah yang nyaris punah pun diungkapkannya dengan bersemangat. Disebutkannya misalnya di daerahnya Empat Lawang yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Lahat terdapat delapan tarian tradisional.
Sayang, lima diantaranya kini sudah punah. Yakni tarian gegerit, senggam sirih, kekok, ngelsambai, dantari selendang. Kini yang masih lestari hanya tiga tarian, yakni tari ngarakpenganten, melami menda, dan tari pereng.
Padahal, menurutnya tarian yang sudah takpernah lagi dibawakan itu punya ciri-ciri khas. Seperti tari kekok, merupakan tari komedi yangf dibawakan penari dengan memakai dua tempurung kelapa yang diletakkan di tangan dan kiri. Tari gegerit, dimainkan tujuh gadis di depan gerbang saat menyambut tamu dengan upacara adat yang diiringi dengan tabuhan gong kulintang dan rebab.
Lalu tarian ngelsambai, dibawakan muda-mudi sembari melantunkan pantun bersahut.
Punahnya tarian ini memang disebabkan banyak faktor. Diantaranya, tak ada lagi mereka yang menguasai tarian itu. Sementara, generasi muda tak ada yang mewarisinya.
Tahun 1960-an lalu, sebenarnya masih ada sekitar 10 empu tari tradisional. Namun hingga 1980-an, tinggal seorang lagi. Sampai akhirnya, empu terakhir, Cik Inah meninggal dan kini tak ada lagi yang meneruskannya.
Karenanya, tugas berat Syamsu Indra Usman, berusaha menggali kembali budaya yang punah ini dengan berbagai cara dan media. Dia yaklin usahanya akan membawa hasil. Apalagi, semangatnya memang patut diacungi jempol. Sama seperti semangatnya soal pemekaran daerahnya.
Dia dikenal telah menggunakan sebutan Empat Lawang sejak 1992 dalam karya-karyanya. Padahal, saat itu dia sering disebut gila dan edan. Apalagi, isu pemekran sama sekali masih tabu di era orde baru ketika itu. (sh/muhamad nasir)
Sisi Lain
Membidani Pemekaran
Diluar profesinya sebagai seniman, Syamsu Indra Usman termasuk salah seorang yang membidani lahirnya Kabupaten Empat Lawang. Bagaimana, ide gilanya itu telah dimulai sejak 1992. Dalam karya-karyanya dia telah memasukkan nama Empat Lawang. Suatu pemikiran yang ketika itu memang belum bisa diterima. Di rumahnya pula beberapa tua adat dan tokoh masyarakat pernah bermusyawarah membentuk wacana melepaskan diri dari Lahat dan berdiri sebagai wilayah otonom.
Perjuangan untuk itu memang tidak mudah. Berbagai cara dan jalur dilakukan. Banyak tokoh daerah dan mereka yang sukses di luar terlibat dalam kegiatan besar itu. Termasuk beberapa organisasi dan persatuan warga empat lawang.
Paling tidak, perjuangannya yang dilakukan bersama-sama itu kini memang terbukti. Dia masih ingat ketika menyebut-nyebut soal pemekaran tudingan gila langsung mengarah. Tetapi berkat musyawarah dengan semua, dibicarakan keuntungan dan kelebihannya, akhirnya makin banyak jemo (orang) ang ngerti. Kalau awalnya jemo gilo (orang gila) nya masih sedikit, lama-lama terus bertambah. Dan perjuangan pun semakin kuat. Hingga di akhir reformasi, semakin gencar dan dia tak terlibat lagi. Perjuangannya sudah di tingkat yang berbeda. (sh/muhamad nasir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar