Rabu, 08 Februari 2012

Banyak Persoalan yang Perlu Dipecahkan




Palembang:

Meski dipandang sebagai keputusan yang positif, menetapkan prasyarat bagi mahasiswa strata 1 untuk menulis di jurnal ilmiah sebelum diwisuda dinilai akan membawa banyak masalah.


Karenanya, beberapa dosen dan guru besar di Palembang menyatakan bahwa membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk mensosialisasikan keputusan  ini. Dan mempersiapkan agar persoalan maupun kendala dapat diminimalisir.

Prof Dr Indawan Syahri, MPd guru besar dari Universitas Muhamadyah Palembang, menyatakan kebijakan ini secara idialis baik untuk meningkatkan mutu luaran (output) S-1. “Namun secara praktis, banyak hal yang harus dilakukan sebagai konsekwensi kebijakan ini. seluruh perguruan tinggi (PT) harus menyiapkan SDM dan imprastruktur yang mumpuni,” ujarnya.
Selain itu, Dosen harus lebih dulu aktif dan produktif menulis karya ilmiah, sehingga dapat menjadi contoh bagi mahasiswa. “Lembaga harus mengenal secara akrab dengan informasi dan teknologi berbasis internet. Nanti, karya tulis tidak hanya dimuat dalam jurnal ilmiah, tetapi karya tersebut juga harus diunggah (upload) di websites,” tambahnya.

Untuk itu, Indawan menyarankan, agar tidak terjadi kebingungan di tingkat PT, seharusnya DIKTI secara terus menerus melakukan sosialisasi kebijakan ini dan melakukan pembinaan…

Rektor Universitas Sriwijaya,  Prof Dr Badiah Parizade menyatakan saat ini, sedang disiapkan  kemungkinan untuk memperpanjang masa studi. “Bentuk publikasi dimaksud  mungkin jurnal cetak atau cukup di web. Harus ipertimbangkan, setiap tahun ada 5.000  sarjana baru yang diwisuda. Berapa banyak tukisan ilmiah yang harus dipublikasikan,” ujar Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor ini.

Belum lagi, menurutnya, banyak persoalan terkait dengan publikasi tersebut. Di antaranya sarana-prasarana, dana, SDM pengelola. Semuanya harus dibenahi seiring kebijakan itu. Kalau tidak, bagaimana bisa memantau dan mengevaluasinya.

Diakui guru besar di Usri ini, walau jurnal di jurusan sudah ada tapi kapasitasnya tidak sebesar itu. Jangankan menampung tulisan mahasiswa,  tulisan dosen pun tak tertampung kalau semuanya aktif menulis.

Prof Dr Ratu Wardarita menyambut baik kebijakan ini. Menurutnya, dari sisi positif,  kebijakan ini  memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk  mampu mengungkapkan pikiran dan daya kritisnya melalui tulisan. Bagi kalangan akademisi, memang kekampuan dan profesional salah satunya diukur dengan kemampuan menulis.

Hanya saja, ada sisi negatifnya. Tentu kalau mahasiswa, dosen, dan lembaga tidak siap. Tentu bisa menghambat dan memperlambat penyelesaian studi.

Caranya, mungkin menyiasatinya dengan memperbanyak jurnal. Untuk itu tentunya perlu didukung oleh pemerintah dan lembaga.
Menyiasatinya, tentu mahaaiswa dapat mengolah kembali tugas-tugas kuliahnya untuk kemudian ditulis seuai dengan selingkung masing-masing jurnal. Jadi, sebelum menyusun skripsi, mulai mengirim tulisan ke jurnal. Apalagi, perlu waktu untuk proses penerbitannya. ”Dengan demikian, ketika mahsiswa menyelesaikan skripsi, jurnalnya pun sudah dimuat. Memang untuk itu dituntut kreativitas. Memang menulis pun merupakan aktivitas yang membutuhkan kemampuan yang kompleks,” ujar doktor alumnuns Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tahun 2008 ini.

Tangapan cukup keras disampaikan mantan guru besar Universitas Sriwijaya, Nangsari Ahmad, yang saat ini menjadi Direktur Pascasarjana Universitas PGRI Palembang. Menurutnya, kebijakan itu dipandang sebagai peluang untuk memantau kualitas. Makanya sah-sah saja.

Hanya saja, menurut doktor lulusan Universitas Michigan, USA tahun 1982 ini, kondisi masing perguruan tinggi  tidak sama.

”Pemerintah saya nilai selalu sibuk mengurusi aturan standar dan lain-lain. Tapi lupa untuk beri kesempatan berkreativitas, memfasilitasi. Mestinya, mahasiswa dan dosen diundang menulis. Diberi kesempatan. Pemerintah masih bertindak sebagai penguasa dibanding memberdayakan dan memfasilitasi.


Mestinya tidak usah diatur, fasilitasi dan dukung saja. Nanti para mashsisa atau dosen ini sendiri yang menentukan  kemana dan bagaimana  tulisan mereka dimuat. Mereka harusnya kreatif.

”Bayangkan saja, kalau ada perguruan tinggi setiap tahun menelurkan 5.000 an sarjana baru,. Bagaimana agar dengan waktu yang tersedia mereka bisa mempublikasikan tulisannya. Kalau kondisinya masih seperti saat ini, akan menimbukan banyak persoalan,” katanya yakin.

Hal senada diungkapkan Dr Syarwani Ahmad, Rektor Universitas Palembang. Menurutnya, jangan sampai karena banyaknya mahasiswa seperti perguruan tingginya yang mencapai 15.000 an membuat  karya tulis yang dimuat di jurnal menjadi tidak berkualitas. ”Hanya sebatas memenuhi syarat. Belum lagi, jurnal yang harus dipersiapkan untuk bisa menampung karya tulis mahasiswa,” ujarnya.

Ketua Stisipol  Candradimuka Palembang, Lishapsari juga menyatakan perlu persiapan yang matang dan waktu yang memadai untuk sosialisasi sehingga tidak membuat mahasiswa ’gagap’. ”Apalagi, menulis selama ini bukanlah aktivitas yang dikuasai secara memadai oleh mahasiswa. Jangankan mahasiswa, dosennya pun sering tak akrab dengan kegiatan menulis. Terlihat dari minimnya tulisan yang biasanya diterima tim jurnal di kampus-kampus,” ujar kandidat doktor komunikasi di Universitas Pajajaran ini.

Darwin Effendi, dosen di Universitas  Tridinanti Palembang menyatakan pesimis persyaratan ini bisa menggiring mahasiswa memiliki keterampilan menulis yang baik kalau kondisi dan iklim belajar serta kondisi di perguruan tinggi masih seperti saat ini. ”Saya menbgajar mata kuliah menulis. Saya banyak melihat bagaimana minimnya kemampuan dan minat mahasiswa untuk menulis ilmiah. Harus ada
Perubahan dan dukungan yang kuat agar mereka secara sadar bisa merasakan dan menerima kenyataan bahwa menulis sangat dibutuhkan di dunia akademis,” katanya. (sir)



Tidak ada komentar: