Meski
dipandang sebagai keputusan yang positif, menetapkan prasyarat bagi mahasiswa
strata 1 untuk menulis di jurnal ilmiah sebelum diwisuda dinilai akan membawa
banyak masalah.
Karenanya,
beberapa dosen dan guru besar di Palembang
menyatakan bahwa membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk mensosialisasikan
keputusan ini. Dan mempersiapkan agar
persoalan maupun kendala dapat diminimalisir.
Prof
Dr Indawan Syahri, MPd guru besar dari Universitas Muhamadyah Palembang,
menyatakan kebijakan ini secara idialis baik untuk meningkatkan mutu luaran
(output) S-1. “Namun secara praktis, banyak hal yang harus dilakukan sebagai
konsekwensi kebijakan ini. seluruh perguruan tinggi (PT) harus menyiapkan SDM
dan imprastruktur yang mumpuni,” ujarnya.
Selain
itu, Dosen harus lebih dulu aktif dan produktif menulis karya ilmiah, sehingga
dapat menjadi contoh bagi mahasiswa. “Lembaga harus mengenal secara akrab dengan
informasi dan teknologi berbasis internet. Nanti, karya tulis tidak hanya
dimuat dalam jurnal ilmiah, tetapi karya tersebut juga harus diunggah (upload)
di websites,” tambahnya.
Untuk
itu, Indawan menyarankan, agar tidak terjadi kebingungan di tingkat PT,
seharusnya DIKTI secara terus menerus melakukan sosialisasi kebijakan ini dan
melakukan pembinaan…
Rektor Universitas Sriwijaya,
Prof Dr Badiah Parizade menyatakan saat
ini, sedang disiapkan kemungkinan untuk
memperpanjang masa studi. “Bentuk publikasi dimaksud mungkin jurnal cetak atau cukup di web. Harus
ipertimbangkan, setiap tahun ada 5.000
sarjana baru yang diwisuda. Berapa banyak tukisan ilmiah yang harus
dipublikasikan,” ujar Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor ini.
Belum lagi, menurutnya, banyak persoalan terkait dengan publikasi tersebut.
Di antaranya sarana-prasarana, dana, SDM pengelola. Semuanya harus dibenahi
seiring kebijakan itu. Kalau tidak, bagaimana bisa memantau dan
mengevaluasinya.
Diakui guru besar di Usri ini, walau jurnal di jurusan sudah ada tapi
kapasitasnya tidak sebesar itu. Jangankan menampung tulisan mahasiswa, tulisan dosen pun tak tertampung kalau
semuanya aktif menulis.
Prof Dr Ratu Wardarita menyambut baik kebijakan ini. Menurutnya, dari sisi
positif, kebijakan ini memberikan kesempatan kepada mahasiswa
untuk mampu mengungkapkan pikiran dan
daya kritisnya melalui tulisan. Bagi kalangan akademisi, memang kekampuan dan
profesional salah satunya diukur dengan kemampuan menulis.
Hanya saja, ada sisi negatifnya. Tentu kalau mahasiswa, dosen, dan lembaga
tidak siap. Tentu bisa menghambat dan memperlambat penyelesaian studi.
Caranya, mungkin menyiasatinya dengan memperbanyak jurnal. Untuk itu
tentunya perlu didukung oleh pemerintah dan lembaga.
Menyiasatinya, tentu mahaaiswa dapat mengolah kembali tugas-tugas kuliahnya
untuk kemudian ditulis seuai dengan selingkung masing-masing jurnal. Jadi,
sebelum menyusun skripsi, mulai mengirim tulisan ke jurnal. Apalagi, perlu
waktu untuk proses penerbitannya. ”Dengan demikian, ketika mahsiswa
menyelesaikan skripsi, jurnalnya pun sudah dimuat. Memang untuk itu dituntut
kreativitas. Memang menulis pun merupakan aktivitas yang membutuhkan kemampuan
yang kompleks,” ujar doktor alumnuns Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tahun
2008 ini.
Tangapan cukup keras disampaikan mantan guru besar Universitas Sriwijaya,
Nangsari Ahmad, yang saat ini menjadi Direktur Pascasarjana Universitas PGRI
Palembang. Menurutnya, kebijakan itu dipandang sebagai peluang untuk memantau
kualitas. Makanya sah-sah saja.
Hanya saja, menurut doktor lulusan Universitas Michigan, USA tahun 1982
ini, kondisi masing perguruan tinggi tidak sama.
”Pemerintah saya nilai selalu sibuk mengurusi aturan standar dan lain-lain.
Tapi lupa untuk beri kesempatan berkreativitas, memfasilitasi. Mestinya,
mahasiswa dan dosen diundang menulis. Diberi kesempatan. Pemerintah masih
bertindak sebagai penguasa dibanding memberdayakan dan memfasilitasi.
Mestinya tidak usah diatur, fasilitasi dan dukung saja. Nanti para mashsisa
atau dosen ini sendiri yang menentukan
kemana dan bagaimana tulisan
mereka dimuat. Mereka harusnya kreatif.
”Bayangkan saja, kalau ada perguruan tinggi setiap tahun menelurkan 5.000
an sarjana baru,. Bagaimana agar dengan waktu yang tersedia mereka bisa
mempublikasikan tulisannya. Kalau kondisinya masih seperti saat ini, akan
menimbukan banyak persoalan,” katanya yakin.
Hal senada diungkapkan Dr Syarwani Ahmad, Rektor Universitas Palembang.
Menurutnya, jangan sampai karena banyaknya mahasiswa seperti perguruan
tingginya yang mencapai 15.000 an membuat
karya tulis yang dimuat di jurnal menjadi tidak berkualitas. ”Hanya
sebatas memenuhi syarat. Belum lagi, jurnal yang harus dipersiapkan untuk bisa
menampung karya tulis mahasiswa,” ujarnya.
Ketua Stisipol Candradimuka
Palembang, Lishapsari juga menyatakan perlu persiapan yang matang dan waktu
yang memadai untuk sosialisasi sehingga tidak membuat mahasiswa ’gagap’.
”Apalagi, menulis selama ini bukanlah aktivitas yang dikuasai secara memadai
oleh mahasiswa. Jangankan mahasiswa, dosennya pun sering tak akrab dengan
kegiatan menulis. Terlihat dari minimnya tulisan yang biasanya diterima tim
jurnal di kampus-kampus,” ujar kandidat doktor komunikasi di Universitas
Pajajaran ini.
Darwin Effendi, dosen di Universitas
Tridinanti Palembang menyatakan pesimis persyaratan ini bisa menggiring
mahasiswa memiliki keterampilan menulis yang baik kalau kondisi dan iklim
belajar serta kondisi di perguruan tinggi masih seperti saat ini. ”Saya
menbgajar mata kuliah menulis. Saya banyak melihat bagaimana minimnya kemampuan
dan minat mahasiswa untuk menulis ilmiah. Harus ada
Perubahan dan dukungan yang kuat agar mereka secara sadar bisa merasakan
dan menerima kenyataan bahwa menulis sangat dibutuhkan di dunia akademis,”
katanya. (sir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar