Selasa, 27 Januari 2009

Ulak Kerbau, Desa Penjahit

Sinar Harapan, 17 Januari 2009










Penjahit Ulakkerbau
Tetap Bertahan Ditengah Krisis


Oleh
Muhamad Nasir

Palembang – Krisis global tak berimbas pada usaha penjahit baju di Desa Ulakkerbau, Ogan Ilir (OI), Sumatera Selatan. Usaha kecil-kecilan ini justru berkembang dan bertahan.
Di kawasan ini, dari sekitar 500 kepala keluarga (KK) di Desa ini, hampir 50 persen masyarakatnya memiliki profesi sebagai tukang jahit.
Menariknya, nama para penjahitnya tidak pernah tertulis di produk yang mereka buat. Selama ini, yang tertera justru nama para penjahit dari kota Palembang. Padahal, asal pakaian tersebut dari Desa Ulakkerbau. Pakaian buatan penjahit Ulakkerbau, bisa ditemui di pusat-pusat perbelanjaan besar dan kecil yang ada di kota Palembang.
Hal ini terjadi karena Desa Ulakkerbau ternyata dikenal sebagai desa yang setiap harinya menerima order jahitan dari para pemilik modal. Para penjahit di Ulakkerbau menjadi pilihan karena setiap menerima order, mereka dapat menyelesaikannya tepat waktu. Para pemilik modal di Kota Palembang mengakui kinerja para penjahit yang tinggalnya 70 kilometer dari pusat kota tersebut.
Di samping itu, kualitas jahitan yang dihasilkan oleh para penjahit Ulakkerbau menurut ukuran para pemilik modal, untuk sementara ini, belum ada tandingannya.
Banyaknya order jahitan yang didapat para penjahit di Desa Ulakkerbau, dibenarkan oleh Tirmizi, salah satu penjahit desa tersebut yang ditemui SH, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, order yang ia terima sedikitnya berasal dari empat pemodal yang tinggal di Kota Palembang. ”Setiap dua hari sekali, saya mengantarkan pakaian yang selesai dijahit ke kota. Pulangnya membawa order jahitan baru. Hal itu sudah berlangsung cukup lama,” kata dia.
Untuk mengerjakan order dari para pelanggannya, Tirmizi dibantu oleh sepuluh orang. Kendati demikian, ia tetap mampu menyelesaikan 30 lembar pakaian setiap harinya. Dalam tahapan memotong kain hingga mengobras, Tirmizi dibantu oleh istrinya. Tetapi ketika menjahit potongan kain tersebut, pekerjaan itu diserahkan kepada anak buahnya.
Menyinggung soal upah, menurut Tirmizi sangat bervariasi. Tapi besarannya mulai Rp 15.000-20.000 per potong. ”Ongkosnya tergantung kemeja yang dijahit, kalau biasa Rp 15.000 tetapi kalau bahannya dari sutra atau batik harganya Rp 20.000 per potong,” kata dia, seraya menambahkan untuk jas, upahnya jelas berbeda dan yang pasti jauh lebih tinggi dari kemeja biasa ataupun batik dan sutra.
Selain kemeja dan jas, di Ulakkerbau, ada penjahit yang mengkhususkan diri hanya menerima jahitan jaket dan jas.
Kepiawaian penduduk Desa Ulakkerbau dalam soal menjahit sudah dikenal sejak tahun 1970-an. Bedanya, dulu yang menggantungkan hidup dari jahitan tidak sebanyak sekarang yang jumlahnya sudah mencapai 50 persen dari total jumlah penduduk.
Mengenai kendala yang dihadapi para penjahit di sana, menurut Tirmizi, salah satunya adalah belum adanya organisasi yang menaungi mereka. Keberadaan organisasi, seperti koperasi, sangat diharapkan warga di sana, mengingat dengan adanya organisasi maka tarif bisa dinegosiasikan. Tidak seperti sekarang ini yang besarannya ditentukan oleh para pemodal di Palembang.
Bupati Ogan Ilir, Ir H Mawardi Yahya menyatakan bahwa potensi Desa Ulakkerbau memang lumayan dalam memberikan kontribusi bagi pendapatan warganya. Karenanya, pihaknya memberikan perhatian yang lumayan dengan memberikan kesempatan kepada para penjahit untuk berkelompok dalam Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Dari KUBE inilah kemudian bantuan bergulir bagi industri kecil dan menengah.
”Ya, minimal mereka bisa mendapatkan mesin jahit maupun mesin obras yang digerakkan dengan listrik. Sehingga, suara mesin jahit dari rumah-rumah di Ulakkerbau tidak senyaring dulu. Mereka kini sudah mengerjakan jahitannya dengan mesin listrik. Tidak manual lagi,” ujar Mawardi. n



Copyright © Sinar Harapan 2008

Tidak ada komentar: