Jumat, 12 Oktober 2012

Oke-oke Saja Kalau Profesional

http://www.shnews.co/detile-9019-okeoke-saja-kalau-profesional.html
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Pasal 36, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelumnya, untuk memeriksa kepala daerah atau wakil kepala daerah membutuhkan izin presiden, kini dengan putusan MK itu, izin presiden tidak diperlukan lagi.
Putusan MK ini di satu sisi akan mempercepat proses hukum dan menjamin persamaan hukum setiap warga negara, tetapi di sisi lain, juga menyimpan potensi penyelewengan dari kemudahan memeriksa kepala daerah/wakil kepala daerah.
Sesuai data Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam, sejak Oktober 2004 sampai September 2012, presiden telah mengeluarkan 176 surat izin penyelidikan pejabat negara yang diajukan Kejaksaan Agung, kepolisian serta Puspom TNI. Sekitar 74 persen dari izin pemeriksaan itu berkaitan dengan kasus korupsi.
Sementara itu, berdasarkan jabatan, ada 103 izin untuk memeriksa bupati/wali kota, 31 izin pemeriksaan wakil bupati/wakil wali kota, ada 24 izin untuk penyelidikan anggota MPR/DPR, permohonan untuk memeriksa gubernur 12 izin, wakil gubernur tiga izin, anggota DPD dua izin dan hakim Mahkamah Konstitusi satu izin.
Ada beragam tanggapan mengenai putusan dari MK itu. Yang jelas, kepala daerah atau wakil kepala daerah tersangkut langsung dengan putusan MK ini. Nah, bagaimana tanggapan dari kepala daerah?
Gubernur Sumatera Selatan H Alex Noerdin ketika ditemui usai mengikuti Upacara HUT TNI di pelataran Benteng Kuto Besak Palembang (BKB), Jumat (5/10), mengatakan putusan MK itu harus dihormati.
"Sebelumnya, memang pemeriksaan kepala daerah harus seizin presiden. Namun, ketika ada keputusan, yang menyatakan bahwa tidak perlu izin presiden untuk itu, tentu juga harus dihormati. Saya melihat ini sebagai suatu yang positif. Silakan saja, sepanjang tidak dijadikan sebagai alat untuk hal-hal yang mengarah kepada tujuan yang tidak baik, tentu saja oke-oke saja," ujar Alex yang sempat mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI.
Menurutnya, kejaksaan ataupun kepolisian adalah penegak hukum. "Mereka tentu bekerja profesional. Sepanjang profesional, tentu sebagai kepala daerah juga harus menghormati itu,” tuturnya.
Dia juga tidak melihat keputusan ini akan membuka peluang pemerasan oleh penegak hukum kepada kepala daerah. "Intinya, kalau memang sudah begitu mekanismenya ya kita harus mengikuti. Itu saja," katanya.
Terobosan
Bupati Muba Fahri Azhari juga mendukung keputusan ini karena dapat mempercepat proses penyelesaian hukum terhadap kepala daerah yang bermasalah. "Bagi saya, ini justru membuat kepala daerah lebih berhati-hati. Ini suatu terobosan dalam upaya penyelesaian hukum," ujarnya.
Fahri tidak melihat kalau hal itu akan jadi ajang pemerasan oleh kepolisian ataupun kejaksaan. Izin atau tanpa izin presiden, menurutnya, sama saja. Kalaupun terjadi pemerasan tentu bergantung kepada pribadinya. Bedanya, kalau tanpa izin presiden pemeriksaan dan pengusutan bisa cepat sama seperti penanganan terhadap pihak yang lainnya.
Wali Kota Batu Eddy Rumpoko kepada SH, Kamis (4/10) malam, menuturkan, putusan itu bertujuan agar proses hukum seperti penyelidikan maupun penyidikan berjalan cepat, demikian pula dengan prinsip peradilan yang independen, equality before the law, nondiskriminasi, dan peradilan cepat.
Menurutnya, pendapat seperti itu sah-sah saja. Tetapi, ada hal penting lain yang juga perlu dipertimbangkan. Bahwa dalam melaksanakan tugasnya, kepala daerah seperti wali kota, bupati ataupun gubernur juga memerlukan perlindungan dari atasannya.
Wali kota, misalnya, diangkat oleh presiden dan dilantik oleh gubernur. Secara institusi, dia adalah pembantu presiden, yang artinya pula berada di bawah perlindungan presiden.
Jadi, untuk memeriksa wali kota, bupati ataupun gubernur, secara etika tetap memerlukan izin tertulis dari atasannya, dalam hal ini pesiden. Tinggal mekanismenya diatur lebih baik lagi.
Eddy Rumpoko menjelaskan, sekarang ini menjadi seorang kepala daerah bukan dari penunjukan, tetapi dipilih langsung. Harus diakui, banyak dari kepala daerah itu dipilih lebih karena kepopulerannya.
Tetapi, tidak semua wali kota/bupati terpilih itu memiliki kemampuan manajerial di bidang pemerintahan, sehingga tidak tertutup kemungkinan seorang kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya melakukan kekeliruan.
Kekeliruan atau kesalahan semacam itu kan harus dipilah. Tidak bisa langsung dinyatakan sebagai bentuk korupsi. Apalagi kalau kekeliruan itu tersebar di publik karena surat kaleng atau laporan LSM (lembaga swadaya masyarakat) tentu yang tidak kredibel.
Kemudian, turun tim dari penegak hukum langsung melakukan penyelidikan. Karena sudah telanjur diberitakan media, masalahnya jadi bias. Buntutnya bukan lagi kebenaran dan kepastian hukum, tetapi sudah men-judge kepala daerah bersalah sehingga mau tidak mau harus dihukum.
Berdampak
Kondisi ini, katanya, berdampak karena ada kepala daerah yang jadi takut membangun wilayahnya. Takut mengelola keuangan daerah. “Ya itu tadi, karena dia takut dituduh korupsi. Buntutnya, ya rakyat juga yang dirugikan,” tuturnya.
Kondisi seperti itu sebenarnya bisa dihindari kalau mekanisme pemerintahan dan komunikasi/ koordinasi antarlembaga berjalan baik.
Bila kepala daerah diduga melakukan penyimpangan atau kekeliruan, sebenarnya mudah mengeceknya. Tinggal minta lembaga pengawas seperti BPK atau BPKP melakukan tugasnya. Bila dari hasil audit ditemukan ada kekeliruan, ya tinggal diperbaiki sesuai saran yang diberikan BPK.
Terkait ketakutan adanya pemerasan oleh oknum kepolisian atau kejaksaan terhadap kepala daerah, tak perlu dikomentari terlalu berlebihan. Ketika informasi tentang penyelewengan dan korupsi sudah mencuat di area publik, tak perlu polisi maupun jaksa dengan serta-merta memanggil kepala daerah untuk diperiksa.
Masih banyak cara untuk mendapatkan kebenaran material. Misalnya, pihak kepolisian dan kejaksaan bisa langsung berkoordinasi dengan BPK, sehingga bisa ditentukan layak atau tidak sebuah perkara dilanjutkan ke proses hukum.
Bila memang tidak layak, ya pemeriksaan perkara bisa segera diakhiri tanpa harus memanggil dan memeriksa kepala daerah. Semua ini sebenarnya tergantung dari komunikasi antarlembaga.(eka Susanti)

Tidak ada komentar: