Persekongkolan Jahat Merampok Anggaran
Penulis : Editorial Sinar Harapan
Berita seputar kasus suap proyek pembangunan wisma atlet SEA Games 2011 di Palembang makin seru. Kasus itu kian menarik karena semakin terkuak siapa saja yang terlibat dalam skandal yang merugikan negara tersebut. Dana pelicin untuk proyek itu ternyata tidak hanya mengalir ke Muhammad Nazaruddin, Gubernur Sulawesi Selatan Alex Noerdin, Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, melainkan juga ke banyak orang lain.
Dana yang dibagi-bagikan ke sejumlah pejabat, pengusaha, anggota legislastif, dan pelaksana proyek itu menunjukkan bahwa korupsi proyek pemerintah dilakukan secara berjamaah. Permainan proyek wisma atlet senilai Rp 191 miliar itu terungkap dalam surat dakwaan kepada Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah (DGI), Mohammad El Idris, pada sidang perdana kasus suap proyek itu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (13/7).
Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Salim, terungkap bahwa jatah uang dari proyek itu disepakati melalui satu negosiasi antara Mohammad El Idris, Direktur PT DGI, Dudung Purwadi, Mindo Rosalina Manulang, dan Muhammad Nazaruddin. Komisi untuk Nazaruddin sebesar 13 persen atau senilai Rp 4,3 miliar, Wafid Muharam 2 persen atau setara Rp 3,3 miliar. Kemudian, Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin sebesar 2,5 persen, Komite Pembangunan Wisma Atlet sebesar 2,5 persen, dan panitia pengadaan mendapat jatah 0,5 persen.
Selain orang-orang tersebut, masih ada pihak-pihak lain yang diduga menerima dana proyek wisma atlet tersebut. Namun, nama-nama orang penting itu berusaha ditutup-tutupi. Kita berharap agar KPK tidak berhenti pada orang-orang yang sudah terungkap saja. Berdasarkan informasi yang beredar, terutama dari pesan BBM dan SMS Nazaruddin, terdapat sejumlah nama yang sempat disebut-sebut menerima aliran dana proyek wisma atlet. Seharusnya, KPK tidak mengabaikan nama-nama yang pernah diungkapkan Nazaruddin. Sebut saja misalnya Menpora Andi Alfian Mallarangeng, anggota DPR dari Partai Demokrat Angelina Sondakh, Mirwan Amir, anggota DPR dari Fraksi PDIP, dan I Wayan Koster.
Sekalipun mereka membantah, bukan berarti mereka sudah terbebas dari kasus yang menghebohkan ini. Semua informasi yang disampaikan para terdakwa maupun tersangka lainnya tidak bisa diabaikan KPK. Masyarakat terus mengawasi sejauh mana pengungkapan kasus ini ditangani serius oleh KPK. Masyarakat sudah muak dengan berbagai kasus korupsi yang katanya gencar diberantas, tetapi justru kian bertumbuh subur. Pelakunya tidak lagi tunggal, melainkan berjamaah, atau melalui sebuah persekongkolan jahat sejumlah pihak.
Untuk itu, kita berharap KPK bisa lebih gencar mengungkapkan siapa saja yang ikut bermain. Ini momentum penting untuk mengungkap, sehingga semuanya terang benderang. Kalau perlu KPK harus menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam kasus wisma atlet.
Dengan menggunakan UU Pencucian Uang ini, KPK tidak hanya menyentuh Nazaruddin, melainkan juga mafia anggaran yang sesungguhnya. Penggunaan UU Pencucian Uang ini dinilai penting karena kasus suap wisma atlet ini sangat kompleks, karena uang yang dibagikan mengalir ke banyak orang.
Kita semakin prihatin dengan kasus suap atau korupsi yang melibatkan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh, dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR dan juga sebagai pengurus DPP Partai Demokrat, Nazaruddin sangat merajalela memainkan proyek pemerintah seperti di Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, Kementerian Negara Pemud dan Olah Raga, dan Kementerian Tenaga Kerja.
Sebagai anggota DPR dari partai penguasa, Nazaruddin melalui kaki tangannya bisa bermain ke semua instansi pemerintah untuk mendapatkan proyek. Kemudahan mendapatkan proyek dengan mengatasnamakan partai itu bukan hal baru, namun sudah berlangsung lama. Tetapi baru pada periode beberapa tahun terakhir aktivitas perampokan anggaran pemerintah maupun BUMN dilakukan secara kasar dan makin terang-terangan.
Pengurus partai, terutama partai berkuasa, semakin merajalela merampok dengan menguasai semua proyek-proyek yang ada di pemerintah maupun BUMN. Kalau kondisi ini tidak dicegah, tentu akan sangat berbahaya. Jangan sampai partai menjadi benteng korupsi. Pemerintah seharusnya punya rasa malu, karena mengklaim antikorupsi, tetapi kader-kader partai ataupun pejabatnya bergelimang kasus korupsi.
Sinar Harapan, Jumat, 15 Juli 2011. http://www.sinarharapan.co.id/content/read/persekongkolan-jahat-merampok-anggaran/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar