Selasa, 30 Desember 2008

Pelanggaran HAM

Pelanggaran Hak Sipil Masih Tinggi

Palembang:

Lembaga bantuan hukum (LBH) Palembang Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat kasus pelanggaran hak sipil politik di Sumsel sepanjang 2008 masih tinggi. Dua kasus menonjol adalah kasus perburuhan dan perampasan lahan.

Direktur LBH Eti Gustina mengungkapkan, kasus perburuhan yang dimaksud adalah kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perampasan lahan oleh aparat.

“Masih banyaknya kasus perburuhan yang muncul sepanjang 2008 menunjukkan bahwa penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2008 dirasakan sangat jauh di bawah standar hidup layak dan represivitas perusahaan menjadikan PHK pun terjadi besar-besaran,” ujarnya di Palembang Selasa (30/12).

Eti Gustina mengatakan, kaum buruh yang belum merasakan pemenuhan standar hidup layak pun banyak yang menuntut upah lembur dan hak-hak normatif lainnya. apalagi, di tengah situasi peningkatan kebutuhan biaya hidup lantaran kenaikan harga kebutuhan pokok akibat krisis. “Belum selesai persoalan UMP yang belum layak, masyarakat dihadapkan pada banyak kesulitan akibat krisis global.Berbagai posisi lemah pada kaum buruh membuat mereka dengan mudah di- PHK,”ujarnya.

Dalam pengaduan masyarakat, meliputi data statistik pelanggaran hak ekonomi sosial dan budaya yang ditangani LBH Palembang pada 2008, sudah 23 kasus dengan 171 orang jumlah korban dari pelanggaran kasus yang dilakukan perusahaan. “Di samping itu, terdapat pengaduan untuk kasus pidana dan perdata yang menunjukkan kesadaran krisis masyarakat mulai terbangun,” paparnya.

Perkembangan kasus-kasus lainnya, seperti perampasan lahan pada 107 kepala keluarga yang dilakukan perusahaan. Belum lagi, penggusuran pemukiman terjadi pada 181 warga yang berhubungan dengan perusahaan dan berbagai kasus pelanggaranhaksipillainnya, yangmasih menjadi PR pemerintah. Eti mengatakan,untuk sebagian besar kasus perburuhan yang ditangani diproses hukum melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Palembang.

Kasus hukum di PHI mempunyai kelemahan, yaitu eksekusi putusan tidak bisa bersifat langsung, konkret, dan final. ”Sebab,pihak perusahaan yang sudah ada putusan PHI untuk memberikan hak-hak buruh sesuai aturan hukum masih saja tidak mematuhi putusan tersebut, sehingga buruh pun menjadi korban kedua kalinya. Di satu sisi menjadi korban pelanggaran hak-hak buruh oleh pihak pengusaha, di sisi lain menjadi korban norma/aturan hukum perburuhan yang tidak tegas dan tidak berpihak pada buruh,” jelasnya.

Ke depan, pada 2009, pihak LBH memiliki ketegasan sikap pada sektor perburuhan, yaitu mendesak Pemerintah Provinsi Sumsel untuk lebih mengoptimalkan pengawasan dalam bidang perburuhan. Pemerintah dituntut mempunyai sikap tegas untuk menolak dan mengusir perusahaan-perusahaan yang merugikan buruh dan masyarakat sekitarnya.

Pihak LBH bersama YLBHI dan 14 kantor LBH daerah juga ikut mendesak revisi Undang-Undang (UU) Perburuhan yang tidak memihak kepada kaum buruh dan pekerja. Kepala Divisi Hak Ekosob pada LBH Palembang Tamzil menambahkan, untuk pemberantasan kasus-kasus korupsi dari APBN/APBD, aparat penegak hukum harus lebih optimal dan proaktif. Pengusutan kasus tersebut juga harus dilakukan menyeluruh hingga ke akar-akarnya.

Sepanjang 2008,pihaknya telah banyak mendampingi kasus pelanggaran hak sipil, terutama perburuhan dan kekerasan aparat kepolisian/ TNI. (sir)

Tidak ada komentar: