Minggu, 08 Februari 2009

Pandai Besi Ogan Ilir

Pandai Besi di Desa Tanjung Dayang, Ogan Ilir, Sumsel
Pengerjaannya Tak lagi Manual



Oleh
Muhamad Nasir

Palembang-Pandai besi yang tinggal di Desa Tanjung Dayang, Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel), saat ini tidak lagi menempa besi menggunakan cara manual seperti yang dilakukan para pendahulu mereka. Ini berkat masuknya listrik ke desa mereka.

Sebelumnya, membuat pisau, cangkul, dan perkakas berbahan besi lainnya harus dikerjakan oleh dua orang, seorang memompa dan yang lain menempa besi. Produk yang dihasilkan juga sangat terbatas. Sehari tidak lebih dari tujuh bilah pisau. Namun, sejak menggunakan peralatan penempaan besi listrik, di samping bisa menghemat energi karena cukup dilakukan satu orang, hasilnya pun juga bisa mencapai dua kali lipat dibanding pola-pola manual.
Hanya saja, ketika proses pembuatan besi sudah tidak manual lagi, pasarnya masih belum terbuka sehingga usaha tersebut menjadi tidak berkembang.
Menurut salah satu pandai besi Desa Tanjung Dayang, Ahmad Masful (45), saat ditemui SH beberapa waktu lalu, dengan bantuan listrik saat ini ia dapat menghasilkan 30 bilah pisau setiap harinya.
Untuk mengubah besi hitam menjadi pisau, menurut Ahmad, langkah awalnya adalah dengan membakar besi tersebut sampai berubah warna jadi merah menyala. Setelah itu, besi tersebut ditempa sampai menjadi pisau dalam berbagai ukuran. “Besar kecilnya pisau yang kami hasilkan sangat tergantung kepada pemesanan,” kata dia.
Menyinggung soal modal kerja setiap harinya, menurut Ahmad, setidaknya membutuhkan dana sebesar Rp 45.000. Uang sebesar itu dipakai untuk membeli 10 kg besi bekas per mobil yang harganya Rp 4.500 per/kg. Selain itu, Ahmad juga mengeluarkan dana sebesar Rp 18.000 untuk membeli satu karung arang.
”Jadi, kalau dihitung, dalam sebulannya kami butuh modal sebesar Rp 3 juta. Dari jumlah itu, Rp 1,35 juta untuk membeli 300 kg besi, Rp 540.000 untuk 30 kg arang, dan Rp 300.000 untuk membayar listrik,” kata Ahmad yang dalam bekerja setiap harinya dibantu tiga anaknya.
Sementara itu, mengenai harga jual yang didapat dari pisau buatannya, menurut Ahmad, sekitar Rp 10.000-15.000 per bilahnya.
Harga itu merupakan harga di tingkat juragan, bukan harga di pasaran karena ternyata dalam proses pembuatan pisau tersebut Ahmad mendapatkan pasokan modal dari para juragan yang ada di desanya.
”Kami ini adalah orang yang dibayar tenaganya,” ujar Masful yang ditemui di tempatnya bekerja di Desa Tanjung Dayang yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Palembang.

Tidak Punya Modal
Sejak tahun 1970-an, usaha Masful memang seakan tak pernah berkembang karena tak punya modal. Selain itu, memang pemasaran pisau itu pun masih terbatas di wilayah Sumsel saja. Selama ini, pemasaran biasa diserahkan kepada para juragan pemilik modal.
Di Desa Tanjung Dayang, setidaknya ada 20 perajin sejenis yang menghasilkan berbagai jenis senjata tajam dengan berbagai bentuk dan jenis, mulai dari pisau dapur hingga pedang. Usaha ini memang tak kenal musim.
Bupati Ogan Ilir Mawardi Yahya menyatakan, memang beberapa desa di wilayahnya dikenal sebagai basis pembuatan kerajinan dari besi. ”Itu sudah dilakoni mereka sejak turun-temurun. Pembinaan yang dilakukan kini hanya mengarahkan bagaimana supaya mereka bisa melakukan pengelolaan usahanya dengan manajemen yang lebih baik,” ujarnya.
Untuk meningkatkan produk dan pemasarannya, lanjut Mawardi, pihaknya saat ini sedang mengupayakan menciptakan terbukanya akses pasar sehingga memungkinkan para pandai besi di Tanjung Dayang menjadi lebih berkembang. Apalagi, bahan bakunya tidak kurang. n



Copyright © Sinar Harapan 2008


Selasa, 24 Februari 2009, halaman UKM

Tidak ada komentar: