Selasa, 24 Februari 2009

Tanjung Atap, Desa Alumunium

Desa Tanjung Atap, Desa Aluminium di Sumsel
Produknya Tak Kalah dengan Buatan Pabrikan



Oleh
Muhamad Nasir

Palembang -- Dengan menggunakan peralatan sederhana buatan sendiri, warga Desa Tanjung Atap, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan membuat berbagai perkakas dapur berbahan dasar aluminium.

Desa ini merupakan sentra kerajinan perkakas rumah tangga yang terbuat dari aluminium. Karenanya desa ini sering dijuluki desa alumunium.
Meski dibuat secara sederhana, hasil kerajinan tangan ini lumayan bagus, bahkan bisa melebihi keluaran pabrik. Dengan terampil, Irman pelan-pelan memukulkan palu kayu ke pinggiran pelat aluminium yang sudah berbentuk dandang. Meski sudah berumur, ia masih cukup kuat dan terampil untuk membengkokkan pelat aluminium setebal 0,8 milimeter.
Pekerjaan itu dilakoninya turun-temurun. Sedikitnya ada 40 unit usaha di desa itu yang melakoni pekerjaan yang sama. Dari ratusan pengrajin yang mengeluti usaha ini, sedikitnya 28.800 buah perkakas dapur dipasarkan ke berbagai daerah di Sumsel. Bahkan, sampai ke provinsi tetangga. Sebut saja Jambi, Lampung, bahkan Bangka-Belitung, dan Bengkulu
Irman mengatakan, kerajinan ini diawali dari ketidaksengajaan. Sekitar tahun 1943, pada masa penjajahan Jepang, di Desa Ketiau, Kecamatan Tanjung Batu ada sebuah pesawat terbang milik Jepang yang jatuh di dekat Desa Tanjung Atap. Sejumlah warga desa kemudian memotong-motong bagian pesawat yang terbuat dari aluminium. Selanjutnya lembaran atau pelat aluminium tersebut dipakai warga untuk membuat berbagai macam perkakas rumah tangga.
“Sebagian warga kini masih memakai perkakas yang terbuat dari bekas badan pesawat itu,” tutur Ahmad Rizal Syamso, mantan Kepala Desa Tanjung Atap yang masih menggeluti usaha kerajinan peralatan dapur dari alumunium ini.
Sampai kini pembuatan berbagai perkakas dapur seperti dandang, belango, kukusan, sudu, sendok, irus, rantang bertingkat, masih berlanjut. Bedanya, kini kerajinan membuat perkakas dapur itu, bahannya alumunium, paku alumunium, dan kawat alumunium.
Di usianya yang sudah menginjak kepala enam, Irman masih sanggup membuat tiga hingga empat buah, bergantung ukuran dan detail pada perkakas. Irman mengatakan, hasil kerajinan tersebut dijual ke Pasar Kayu Agung.
Satu rantang bertingkat dua harganya sekitar Rp 50.000, panci Rp 50.000, kukusan kecil Rp 40.000 dan untuk ukuran besar Rp 150.000.
“Harganya tergantung ukuran. Biasanya semakin besar semakin mahal karena bahan yang dipakai juga semakin banyak," papar Irman. Dalam satu hari, Irman mengaku bisa menjual dua sampai tiga produk perkakas yang dibuatnya.

Masalah Modal
Terkait pemasaran, menurut Ahmad Rizal Syamso kerajinan dari desanya selama ini tidak banyak menemui kendala karena hampir semua perabot yang dibuat oleh warga pasti terjual. Namun, warga sebenarnya menginginkan ada yang bisa menampung hasil kerajinan warga untuk kemudian dipasarkan.
Seperti nasib para pengusaha kecil lainnya, permasalahan utama yang dihadapi para pengrajin di Desa Tanjung Atap adalah permodalan yang akan dipakai untuk membeli bahan baku pelat aluminium. Selain itu, menurut Ahmad Rizal, keterbatasan pengetahuan tentang model perkakas juga masih jadi kendala.
Saat ini mereka berupaya untuk semakin mempercantik perkakas yang dihasilkan sehingga mempunyai nilai jual yang lebih tinggi.
“Nantinya, perkakas ini selain untuk di dapur, diusahakan juga bisa untuk hiasan,” kata Ahmad Rizal. Bahkan, diarahkan untuk juga membuat cendera mata dari bahan aluminium serta perkakas dapur seperti dandang ataupun oven yang disesuaikan dengan kondisi saat ini. n

Sinar Harapan, 13 Desember 2008 halaman UKM

Copyright © Sinar Harapan 2008

Tidak ada komentar: