Rabu, 04 Maret 2009

Mir Senen

PROFIL

Muhammad Ali Gathmyr Senen,
Pelestari Seni Sumsel



Oleh
Muhamad Nasir

PALEMBANG - Terlahir dari keluarga “kayo lamo”, H Muhammad Ali Gathmyr Senen atau biasa dipanggil dengan Mir Senen, hingga kini menjadi pelestari budaya dan seni Sumatera Selatan (Sumsel).

Ribuan koleksinya tersimpan dengan baik dan desain-desain modifikasi songket karyanya seolah membawa pemakainya ke nuansa kejayaan Palembang tempo dulu.
Di Sumsel, siapa yang tidak mengenal Mir Senen. Pria kelahiran Palembang, 5 Mei 1955 ini, terkenal dengan kain songketnya yang eksklusif, mahal, dan bercita rasa tinggi. Pelanggannya pun mulai dari presiden hingga pengusaha.
Mir Senen terlahir dari keluarga kaya-raya dari Palembang. Pada masa paceklik sekitar tahun 1960-an, mendekati masa pecahnya Gerakan Tiga Puluh September (Gestapu), ayahnya memperoleh banyak barang antik milik masyarakat yang ditukar dengan beras dan gula. Barang antik itu tidak hanya berupa barang pecah-belah melainkan juga kain-kain kuno yang sekarang sudah tak ternilai harganya.
Kini, barang-barang itu ditata rapi di galeri berlantai empat berukuran 20x5 meter di Jalan AKBP HM Amin, Palembang. Dia memang berencana membuat museum koleksi barang seni dan budaya Sumsel, yang nantinya akan diserahkan kepada pemerintah.
Koleksi benda-benda antik inilah yang kemudian menjadi titik awal usaha Mir. Pada mulanya, putra pasangan HM Senen dan Hj Cik Imah ini, tidak mendapat restu orang tua saat menekuni bidang seni. Ayahnya lebih senang kalau Mir kuliah di bidang hukum agar bisa membantu ayahnya yang tuan tanah dan sering punya masalah.
Mir kemudian kuliah di Fakultas Hukum Unsri. Namun ia lalu kabur dari rumah dan meneruskan ke Akademi Perhotelan dan Kepariwisataan Trisakti, Jakarta, dan mengantongi sertifikat tahun 1976. Usai itu ia pergi ke Yogyakarta, kemudian mendaftar diam-diam di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI).
Mir lulus, namun untuk masuk kuliah ia tidak punya uang lagi. Karena dihantui rasa takut tak bisa jadi seniman, Mir kemudian mengirim surat dan minta restu orang tuanya untuk menekuni bidang seni.
Tak dinyana, sang ayah luluh juga. Sampai akhirnya Mir lulus dari jurusan Interior Dekorasi ASRI tahun 1978. Di Yogya ia banyak mendapat bimbingan dari Amri Yahya. Ia juga banyak berkecimpung di keraton serta bergaul dengan para seniman. Bimbingan dan pergaulannya itu merupakan “bekal hidup” yang kemudian dibawanya pulang ke Palembang.
Ayahnya menghendaki dia melanjutkan sekolah di Australia. Selama dua tahun anak ketiga dari delapan bersaudara ini lantas mengenyam pendidikan di Mr Wood Collage Australia. Di sini dia belajar berbagai hal di bidang seni, termasuk bagaimana perilaku dunia intenasional terhadap hasil karya seni Indonesia.

Pencipta Pelaminan
Mir kemudian menjadi pionir pencipta pelaminan khas Palembang, sekitar tahun 1980. Mulai kursi, lemari, hingga pelaminannya khas Palembang. Banyaknya peminat pada waktu itu, membuat Mir mengajak temannya dari Yogya untuk membuat kursi dan lemari hias pengantin.
Kecintaan peraih penghargaan upakarti tahun 1995 ini semakin melambung namanya sebagai seniman sekaligus perancang kain tradisional Sumatera Selatan. Mulai dari batik Palembang, kain pelangi, hingga songket Palembang, dia ciptakan dengan melakukan modifikasi sehingga digemari dunia internasional. Omzetnya kini mencapai Rp 600-700 juta per bulan.
Mir juga aktif membina perajin muda. Dari sekitar 5.000 muridnya, sudah sekitar 70 orang yang membuka usaha sendiri. ”Sebetulnya jumlah ini sangat sedikit ya, tapi saya tidak harus ngotot. Yang penting saya sudah melahirkan Mir Senen-Mir Senen baru yang bisa menggantikan posisi saya kelak,” ungkapnya.
Dengan motto a differently from the handmade master art yang diusungnya, kreasi Mir kini tersebar di dunia. Dia sangat paham selera orang Prancis atau Timur Tengah, dan ia punya pelanggan tetap para petinggi Malaysia dan Brunei Darussalam.
Dari modal satu ruko, kini usaha Mir sudah berkembang di atas lahan sekitar 1 hektare. Kawasan Serelo, 24 Ilir, nyaris merupakan area seni yang menjadi tempat usaha Mir Senen. Namun Mir berharap pemerintah membantu industri kerajinan Palembang untuk memperoleh bahan baku kain, seperti benang emas, benang dan kain sutera. Sebab selama ini ia membelinya di luar negeri atau Jakarta, sementara para perajin terpaksa membelinya dari tengkulak. n



Copyright © Sinar Harapan 2003

dikutip dari Sinar Harapan, Selasa 29 Mei 2007

Tidak ada komentar: