Kamis, 05 Maret 2009
Telkomsel Kelola Banjir
Peduli Banjir: Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno (tengah) bersama Camat Jatinegara Andriansyah (kiri) dan Country Manager NetApp Indonesia Steven Law (kanan) saat meresmikan inovasi Program Peduli Banjir di empat titik rawan banjir di Jakarta. Program berbasis Community Based Disaster Risk Management (CBDRM) pertama di Indonesia ini memberdayaan masyarakat sekitar dalam menerapkan manajemen resiko bencana, dimana masyarakat dilatih untuk secara aktif dan mandiri mampu menanggulangi dan menangani banjir.
Peduli Banjir: Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno memegang pelampung bersama Country Manager NetApp Indonesia Steven Law didampingi Camat Jatinegara Andriansyah (paling kanan) dan VP Jabotabek Jabar Telkomsel Irwin Jakarta (paling kiri) saat meresmikan inovasi Program Peduli Banjir berbasis Community Based Disaster Risk Management (CBDRM) pertama di Indonesia. Selain memberdayakan masyarakat untuk secara aktif dan mandiri mampu menanggulangi dan menangani banjir, Telkomsel juga memberikan bantuan peralatan seperti perahu, pelampung, senter, rompi, perangkat dapur dan genset.
Telkomsel, Pertama Kelola Banjir Berbasis Komunitas
Jakarta:
Hari ini Telkomsel meresmikan inovasi Program Peduli Banjir di empat titik rawan banjir di Jakarta. Berbeda dengan program peduli banjir sebagaimana umumnya, program ini lebih menekankan pada pemberdayaan masyarakat dalam menerapkan manajemen resiko bencana berbasiskan komunitas, dimana masyarakat dilatih untuk secara aktif dan mandiri mampu menanggulangi dan menangani banjir.
Program peduli banjir ini merupakan kerjasama sinergi (joint social program) Telkomsel dengan mitra kerja NetApp Indonesia. Program kepedulian ini sengaja ditujukan bagi wilayah Jakarta, dimana masalah banjir masih menjadi bencana utama yang datang hampir setiap tahun khususnya musim hujan.
Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno mengatakan, ”Dalam program ini, kami tidak hanya memberikan bantuan posko dan berbagai sarana penanggulangan banjir, tapi yang paling utama adalah upaya pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan Community Based Disaster Risk Management (CBDRM), dimana masyarakat dilibatkan secara aktif dalam proses identifikasi, analisa, penanggulangan, dan minimalisasi resiko bencana.”
”Konsep ini bersifat sustain dan bertujuan untuk meningkatkan potensi masyarakat dalam menghadapi bahaya banjir. Disini masyarakat dilatih untuk berperan di dalam pembuatan keputusan dan implementasi akan aktivitas manajemen resiko bencana,” tambah Sarwoto.
Manajemen resiko bencana berbasis komunitas ini membantu masyarakat untuk bisa lebih tanggap dalam mengantisipasi dan menangani bencana banjir. Salah satu contohnya adalah para relawan yang juga penduduk setempat dilatih mengevakuasi dan diberikan pemahaman tentang siapa yang harus dievakuasi lebih dahulu ( bayi, anak-anak, ibu hamil, lansia, orang sakit ataupun penderita cacat ).
Melalui program ini, masyarakat akan mempunyai sistem penanganan bencana yang efektif. Bahkan di wilayah rawan banjir tersebut telah dibangun jalur evakuasi dengan tanda/signage yang mudah dimengerti masyarakat berupa tiang, tali, dan bandul pelampung berwarna terang yang tetap terlihat walau terendam air. Masyarakat juga dibekali pengetahuan dan ketrampilan tentang penggunaan perahu, tali temali, evakuasi dan pengelolaan dapur umum.
Selain bantuan pengetahuan, teknis dan manajemen penanganan akibat banjir, bantuan juga diwujudkan dalam bentuk penyediaan ruang posko sebagai pusat koordinasi sekaligus tempat penyimpanan barang, serta bantuan peralatan evakuasi antara laini perahu, pelampung, senter, rompi yang menyala dalam gelap, perangkat dapur untuk keperluan bersama, genset dan bantuan lainnya.
Untuk saat ini, program ini dijalankan di Kampung Pulo-Kampung Melayu (Jakarta Timur), Ulujami (Jakarta Selatan), Kampung Klingkit-Rawa Buaya (Jakarta Barat), dan Jatiasih (Bekasi). Pemilihan lokasi ini didasarkan pada informasi bahwa daerah tersebut merupakan daerah hunian padat penduduk yang menjadi langganan bencana banjir dan sulit dijangkau karena akses jalannya banyak berupa lorong yang sempit.
Untuk itu program bantuannya dirancang sesuai kondisi dan situasi di lapangan, baik dari sisi sistem manajemen penanganan maupun perlengkapannya. Contohnya perahu yang dipakai evakuasi terbuat dari fiber dan bentuknya ramping, sehingga mudah untuk menjangkau hingga ujung gang sempit sekalipun dan tidak mudah rusak terkena benda tajam seperti seng atap rumah.
”Kami bangga karena masyarakat sangat antusias dan aktif mengikuti program pelatihan penanganan banjir menggunakan berbagai alat yang kami berikan. Hal ini sejalan dengan semangat internal Telkomsel dalam menerapkan konsep manajemen minimalisasi resiko bencana khususnya resiko pada operasional infrastruktur telekomunikasi yang menjadi core bisnis kami, dimana pada saat terjadi bencana, layanan telekomunikasi Telkomsel tetap dapat melayani masyarakat,” ungkap Sarwoto.
”Pengimplementasian sistem Community Based Disaster Risk Management (CBDRM) sebagai upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas kegiatan, dengan kunci keberhasilan utama yakni pemberdayaan warga setempat untuk mengoptimalisasi berbagai manfaat bantuan Telkomsel,” papar Sarwoto.
Di kawasan Asia Tenggara, konsep CBDRM telah dipromosikan sejak tahun 2000 melalui The Partnership for Disaster Reduction - Southeast Asia (PDR-SEA) bekerjasama dengan tiga organisasi, European Commission Humanitarian Aid Department (DIPECHO), United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP) and Asian Disaster Preparedness Center (ADPC).
Country Manager NetApp Indonesia, Steven Law, “Sebagai bagian dari program Community Outreach NetApp, kami sangat senang dapat bekerjasama dengan Telkomsel membangun Posko Peduli Banjir (Flood Care Center) di wilayah Jakarta. Program kerja sama antara Telkomsel dan NetApp ini khusus disediakan untuk masyarakat di Jakarta dan Bekasi sehingga mereka dapat lebih tanggap dalam mengantisipasi bencana banjir.
”Inilah peran kami dalam membantu masyarakat, yaitu dengan membantu, memberikan pelatihan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat khususnya para korban banjir, dan juga memberikan pengetahuan prosedur pengevakuasian yang benar dalam mengantisipasi ketika terjadi bencana sesuai dengan CBDRM,” tambahnya
Bentuk kepedulian yang diberikan sengaja dititik-beratkan pada bencana banjir, yang kerap menimpa Jakarta. Tercatat banjir terbesar terjadi pada tahun 2007, yang lebih luas dan lebih banyak memakan korban manusia dibandingkan bencana serupa yang melanda pada tahun 2002 dan 1996. (Sebagaimana yang diberitakan di berbagai media Februari 2007) sedikitnya 80 orang dinyatakan tewas selama 10 hari karena terseret arus, tersengat listrik, atau sakit. Warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang dan sebanyak 82.150 meter persegi jalan di seluruh Jakarta rusak ringan sampai berat. Kerugian material akibat matinya perputaran bisnis mencapai triliunan rupiah, diperkirakan 4,3 triliun rupiah. (rel/sir)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar