Rabu, 15 Agustus 2012

Dibutuhkan Peran Negara dalam Meningkatkan Kualitas Mutu Pendidikan Tinggi di Indonesia

UU Pendidikan Tinggi sudah disahkan oleh Pemerintah dan DPR pada tanggal 13 Juli 2012 lalu. Kendatipun sudah mencoba melibatkan representasi unsur-unsur penyelenggara pendidikan tinggi, stakeholder dan juga masyarakat luas, ruang-ruang diskusi maupun kajian terhadap proses perumusan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi sejak tahun 2011 lalu hingga pengesahannya pada Juli 2012 lalu tampak masih menuai sejumlah kritik.

 Sejumlah kritik dan kecurigaan tampak masih berkembang kuat di tengah-tengah masyarakat, stakeholder dan civitas akademika di Indonesia. Salah satu kritik yang sempat muncul dimana UU DIKTI juga dinilai etatis, serba negara. Hal ini dilandasi oleh penafsiran bahwa Negara terlalu berperan kuat mengatur PT, khususnya bagi kalangan PTN. Hal ini dinilai akan berdampak pada kadar otonomi perguruan tinggi. “UU Pendidikan Tinggi justru dimaksudkan menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan perlindungan masyarakat, otonomi perguruan tinggi, dan tanggung jawab Negara.

Hal itu barangkali yang memberi kesan UU Dikti bersifat etatis” ujar Prof Nizam, Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi dalam sebuah diskusi dengan tema “Pro Kontra Dibalik Pengesahan UU Pendidikan Tinggi” yang diselenggarakan di Orwil ICMI, Palembang Sumatera Selatan Rabu, 15 Agustus 2012. 

Menurut Nizam, hal yang harus dipahami adalah tidak semua Etatisme bersifat negatif. Etatisme yang negatif adalah kalau kekuasaan yang diatur, dimiliki dan dijalankan oleh Negara melalui Pemerintah dilakukan dengan pola otoritarianisme, totalitarianisme dan fasisme. Etatisme di sini bukan sebagai bentuk pengekangan ataupun campur tangan secara berlebihan dari negara, namun Etatisme justru dijalankan lebih sebagai bentuk tanggung jawab negara/Pemerintah untuk mengelola pendidikan tinggi sebagaimana amanah konstitusi. 

“Adalah tidak benar jika dikatakan bahwa UU Dikti adalah sangat etatis, karena Negara melalui UU Dikti ini dengan tegas menjamin adanya otonomi Pendidikan Tinggi dengan adanya kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuwan, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UU ini. Etatisme dalam kadar tertentu tetap diperlukan untuk di tengah menguatnya arus komersialisasi dan liberalisasi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi yang cenderung merugikan masyarakat” ujarnya 

Sementara itu, Dr.Tarech Rasyid, PR III Universitas IBA Palembang mengungkapkan bahwa gejala menguatnya kebutuhan penyelenggaraan pendidikan tinggi di satu sisi dan di sisi lain kecenderungan meningkatnya biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat yang hendak menempuh pendidikan tinggi memang membuka peluang bagi komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi.

“Logika pasar bebas memang sudah cukup kuat masuk dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Motivasi dan kepentingan masyarakat, sivitas akademika dan penyelenggara pendidikan tinggi memang beragam dari yang idealis hingga yang pragmatis. Berbagai kepentingan yang bertemu ini akan sangat berbahaya jika berujung pada menguatnya arus komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia” tegas Dr.Tarech.

 Jika kepentingan pragmatis lebih mendominasi, maka kita tidak hanya menjumpai merosotnya kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, namun yang lebih menghawatirkan adalah trend meningkatnya biaya pendidikan tinggi yang tidak dibarengi dengan kualitas dan jaminan mutu lulusan perguruan tinggi di Indonesia. “Situasinya memang seringkali cukup sulit khususnya bagi PTS. Satu sisi mereka dituntut untuk survive, mandiri dan bisa berkembang.


Namun tidak banyak peluang sumber pendanaan yang mereka miliki selain dari masyarakat. Karena itu, di sini adakalnya dibutuhkan peran Negara untuk mendukung peningkatan kualitas mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Tidak hanya bagi PTN, namun juga bagi PTS. Saya melihat, UU Pendidikan Tinggi ini tampaknya sudah membuka peluang tersebut. Lebih lanjut menurut Rasyid, etatisme dalam batas dan sudut pandang tertentu tetap dibutuhkan untuk memastikan adanya peran dan tanggung jawab Negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, seperti dalam hal pendanaan PTN maupun PTS. Ia juga menegaskan bahwa Tanggung jawab Negara juga dibutuhkan untuk melindungi masyarakat dari komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi, melindungi masyarakat dari penyelenggaraan pendidikan tinggi yang tidak bermutu, potensi adanya jual-beli ijazah dan gelar.

 “Saat ini, Pemerintah tampaknya belum mampu sepenuhnya mendukung peningkatan kualitas mutu pendidikan tinggi, khususnya di lingkungan PTS. Semangat UU ini sebenarnya sudah cukup bagus. Hanya saja yang harus dipikirkan adalah bagaimana negara mampu mendukung hal tersebut “pungkasnya.

 Acara diskusi yang diselenggarakan oleh Democratic Institute dan Kabar Publik ini mengundang sejumlah nara sumber seperti Prof.Nizam, Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi, Kemendikbud, Dr.Tarech Rasyid, PR III Universitas IBA Palembang, Prof.Syirozi,MA, PhD Ketua Dewan Pendidikan Sumatera Selatan, Aji Alamsyah,SIP, M.Si Dosen FISIP UNSRI dan Sekretaris Pusat Kajian Kepemudaan UNSRI. Acara ini juga dihadiri oleh para sivitas akademik dan para tokoh masyarakat yang berasal dari berbagai Ormas dan OKP yang ada di Propinsi Sumatera Selatan.

Tidak ada komentar: