Hidup, Bergantung Bahu
Banyak barang bawaan, akan susah berjalan
di tengah keramaian pasar. Mau naik becak, Anda berada di kawasan bebas becak.
Naik angkot, tak ada trayek yang bisa mengantarkan Anda ke tempat tujuan.
Soalnya, lorong-lorong pasar sempit dan begitu sumpek. Nah, ada satu pilihan,
tukang keruntung. Barang apa pun, kalau Anda berada di Pasar 16 Ilir Palembang,
bisa diangkut tukang keruntung. Lelaki yang biasanya akan menawari semua orang
yang terlihat mengalami persoalaan dengan barang bawaan, apakah itu barang
belanjaan ataupun barang jenis apapun yang memang perlu diangkut. Tarifnya?
Bisa berdamai. Selama bulan puasa pun, mereka justru seakan terus bertambah
jumlahnya.
Memang tidak ada angka pasti mengenai
jumlah tukang keruntung, penjual jasa mengangkut barang menggunakan keruntung
(keranjang terbuat dari rotan, pen), yang menggantungkan hidupnya di pasar 16
Ilir Palembang. Namun, saat di Pasar 16 Ilir masih ada Pasar Pagi, sedikitnya
ada sekitar 500 tukang keruntung yang berkompetisi merebut pembeli jasa. Begitupun sejak kapan mereka
mulai tumbuh, tak ada yang tahu pasti. Yang jelas, menurut informasi yang
diperoleh keberadaan tukang keruntung ini telah ada seiring hadirnya Pasar 16
Ilir yang terletak di bawah dan seputaran Jembatan Ampera tahun 1970-an.
Dengan keruntung milik sendiri ataupun
sewaan, para tukang keruntung ini memulai
aktivitasnya beragam. Ada yang mulai
sejak pukul 02.00 WIB dini hari. Ada pula yang mulai sejak pukul 10.00 WIB. Dan
ada pula yang memulai aktivitasnya pada sore hari. Begitupun dengan berakhirnya
aktivitasnya, juga bervariasi. Ada yang masih pagi sudah berada di rumah, dan
ada pula yang sampai dini hari ternyata masih juga terlihat di seputaran Pasar
16.
Modal untuk menjadi tukang keruntung
memang tidak begitu besar. Cukup dengan
uang Rp 40.000 dan tenaga yang kuat, terutama bagian bahu, maka siaplah
seseorang menjadi tukang keruntung. Uang modal ini, digunakan untuk membeli
keruntung di Pasar 4 Ulu, seberang Sungai Musi. Sementara tenaga dibutuhkan
untuk menyangga keruntung berisi barang milik pembeli jasa.
Namun bila tidak punya uang Rp
40.000, bukan berarti tidak bisa menjadi
tukang keruntung. Karena di Pasar 16 ada sedikitnya 50 tauke keruntung yang
menyewakan keruntungnya. Setoran yang
ditetapkan, antara Rp 2.000 hingga Rp 2.500 per hari (hampir sama dengan
setoran becak).
Untuk jadi tukang keruntung, juga tidak
diperlukan penampilan. Cukup dengan ‘pakaian dinas’ berupa baju jenis apa saja
dan celana, pendek ataupun panjang, plus handuk pengelap keringat, maka tugas
pun siap dilaksanakan.
Bila sudah siap, tinggal negosiasi dengan
pemakai jasa. Kalau sepakat, maka barang milik pelanggan pun di masukkan ke
keruntung dan pemilik barang biasanya berjalan di belakang tukang
keruntung. Penentuan tarif ini, tidak
aturan khusus. Menurut Usman (35) dan Yus (40), yang beroperasi untuk
mengangkat barang-barang kering, berupa berang belanja seperti pakaian ataupun
barang-barang elektronik, untuk menentukan tarif bergantung berat dan
jenis barang, juga jarak yang akan ditempuh. Namun untuk tarif barang tertentu berupa
daging, sayur ataupun ikan, sudah ada
ketentuan tersendiri.
Ikan patin, misalnya, satu kali angkat
dari mobil ke penyimpanan ikan disepakati Rp 1.000. Kalau ada mobil ikan
datang, maka tukang keruntung langsung mendekat dan siap mengangkat. Tak perlu
negosiasi lagi. Begitu juga dengan daging. Pedagang daging siap
membayar upah angkut barangnya Rp
1.500 dari becak atau angkot ke
los/petak dagangannya. Hal yang sama juga ditemui di jenis angkutan sayur.
Dengan keruntung yang digantung di bahu
dan diletakkan di punggung, tukang keruntung biasanya bergerak cukup lincah di
sela-sela sesaknya penghuni pasar.
Biasanya, pemilik barang, memanfaatkan
jasa tukang keruntung untuk mengangkat barangnya dari pelabuhan motor boat dari pinggir Sungai Musi
yang memang di sisi Pasar 16 Ilir ke pasar atau ke angkutan kota (angkot). Atau ada juga mereka yang habis berbelanja di
pasar ke angkot. Bahkan ada juga yang dari angkot yang satu ke angkot yang
lain. Pokoknya, bergantung keperluan, dan juga bisa tidaknya barang diangkut
sendiri oleh pemilik barang.
Kehadiran tukang keruntung memang nyaris
tanpa pesaing. Habis, mereka bekerja di sela-sela pasar yang tidak bisa dilewati becak ataupun angkot..
Mungkin, yang menjadi saingan hanya sesama tukang keruntung saja. Namun, ini
bagimereka tidak dirasakan sebagai saingan. Karena mereka ternyata sudah punya
kode etik sendiri, yang sadar ataupun tidak, tidak akan dilanggar
Kode
etik ini misalnya, tidak saling serobot. Kecuali kalau sudah batal dengan rekan
yang lain. Soal wilayah, tidak ada pembatasan. Dimanapun, bisa beroperasi. Juga, tak wilayah yang terlarang. Artinya, tidak ada
daerah bebas tukang keruntung, seperti halnya daerah bebas becak.
Penghasilan
tukang keruntung, bergantung rezeki. Tak ada seorang pun tukang keruntung yang mengaku tahu pasti
berapa penghasilan tetapnya sehari. Paling tidak mereka sedikitnya biasanya
mendapatkan uang Rp 10.000. Itu kalau lagi apes. Namun kalau lagi tak bernasib,
ada juga yang hanya mendapat Rp 5.000. Meski
demikian, terkadang ada juga kalanya mereka bisa mengantongi Rp 70.000 dalam
satu hari.
Memang,
profesi tukang keruntung tidak membutuhkan
syarat-syarat yang berat. Namun demikian, hidup mereka bergantung kepada
bahu. Bagaimana kekuatan bahu mereka untuk menyangga keruntung yang telah
disesaki barang.
Berkurang
Seiring dipindahkannya Pasar Pagi 16 Ilir
ke Pasar Induk Jakabaring, jumlah tukang keruntung menyusut tajam. Kini,
jumlahnya palig banyak 50 orang. Jam bekerjanya pun berubah. Kalau dulu ada
yang mulai dini hari hingga matahari terbit, melayani pedagang sayur. Ata pagi
hingga sore hari, kni tak ada pilihan. Hanya bisa beroperasi pagi hingga sore
hari. Karena tak ada aktivitas lagi di Pasar 16 saat dini hari hingga pagi.
Rezeki pun berkurang, dan tukang
keruntung pun menyusut. (muhamad nasir)
Di Desa Punya Angkot dan Motor Ojek
Rusidi
(39), adalah seorang tukang keruntung yang memulai aktivitas tak menentu.
Terkadang pagi hari. Waktu lain, sore hari. Di lain hari, malam hari dia baru keluar dari rumah. “Dak tentu Mas.
Bergantung ikan yang datang. Juga, sir-siran (kehendak hati, red),” ujar lelaki
yang mengaku baru sekitar tiga tahun menggeluti profesi itu.
Suami
dari Ayu Lestari yang telah memberinya empat anak, yang sulung telah duduk di
kelas tiga SLTA dan bungsu baru berumur satu tahun, menuturkan bahwa profesi
yang digelutinya cukup membuatnya tenang. Penghasilannya lumayan, jam kerjanya
juga terserah kita. “Kita tidak diperintah-perintah. Kalau kita berkenan,
kerjakan. Tidak, ya tinggalkan,” aku lelaki yang merantau di Palembang sejak
tahun 1980 ini.
Lelaki
bertubuh kekar dengan kulit terbakar matahari ini, saat ini tinggal bersama
istri dan anak bungsunya di Lr Semeru Kelurahan
Tuan Kentang, Kecamatan 1 Ulu Palembang.
Sementara tidak anaknya yang lain tinggal bersama orang tuanya.
“Anak-anak saya di Desa Mas. Desanya Bumi Ayu, Jawa Tengah. Di sana, sebenarnya saya punya angkot dan
motor ojek. Dari penghasilan itulah, saya menyekolahkan anak-anak,” ujar Rusidi
yang ditemui sedang istirahat.
Diakui
tukang keruntung yang pernah menjalani berbagai profesi di beberapa daerah ini,
memang angkot dan ojek bukan didapatnya dari profesinya sekarang ini. Tapi
menurutnya, paling tidak selama tiga tahun ini dia merasa cukup. Meski demikian, dia tetap tinggal di
rumah sewaan yang kecil yang muat untuk istri dan anak bungsunya. Sebelum menjalani tugas sebagai tukang
keruntung, memang Rusidi ternyata pernah menjadi sopir angkot di Jakarta. Juga
bekerja sebagai tukang bangunan.
Lelaki yang
menjalani profesi tukang keruntung mengangkat ikan patin ini menceritakan bahwa
dalam sehari, penghasilannya cukup lumayan. Kalau lagi banyak ikan, bisa mencapai Rp 70.000. Tapi kalau lagi
sepi, paling-paling Rp 20.000. “Tapi
itu, Mas. Badan kotor dan bau. Soalnya, ikan yang diangkat kan basah. Airnya
mengalir ke tubuh. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana jadinya,” tambah Rusidi
yang jam kerjanya terkadang pagi hari, terkadang sore, tak jarang malam, bahkan
dini hari.
Tapi, biasanya
Rusidi dan kawan-kawan tahu jadwal kapan
ikan adatang. Jadi, pas jadwal itulah,
biasanya kami siap di tempat. Sedikitnya ada sekitar 200 tukang keruntung yang
mengangkat ikan. Mereka, biasanya jarang beroperasi dalam waktu bersamaan.
Paling-paling yang bersamaan, terlihat sekitar 50 orang.
Punya 40 Keruntung
Yus, lengkapnya Yus
Iskandar (45), menggeluti profesinya
sejak tahun 1985. Berbagai pengalaman telah dilaluinya. Dari pengalaman pahit
sampai yang menyenangkan. Pahitnya, pernah diminta mengganti televisi hitam
putih yang diangkatnya, akibat dia terpeleset dan televisi itupun rusak.
“Selain dimarah-marah, saya juga disuruh mengganti. Gimana tidak sakit.
Padahal, saat itu saya tidak punya tivi . Jadinya, saya keluar duit, tapi
barangnya tidak dimiliki,’ cerita, lelaki asal
Serang ini.
Masih untung, menurut
Yus Iskandar yang anak sulungnya saat ini hampir tamat S-1 di perguruan tinggi
negeri di Palembang dan anak keduanya kuliah di perguruan tinggi swasta, saat
itu ternyata televisi itu masih bia diperbaiki. Tapi, ya itu, biayanya cukup
besar karena kerusakannya cukup parah.
Tapi, itu bagi Yus yang
saat ini berkat keuletannya sempat memiliki 40 keruntung yang disewakan, menjadi
pelajaran yang paling berharga. “Saya jadi berhati-hati dan juga sangat
memperhitungkan kalau mengangkat barang-barang berharga. Tapi bukan berarti
tidak mengangkat barang berharga,” akunya.
Pengalaman yang
menyenangkan, sering menemui pemilik barang yang baik hati. Terkadang memberi
uang lebih. Meski telah ditampik, masih saja memasukkan uang ke kantong. “Saat
itulah, rasanya saya sangat dihargai. Ternyata, masih ada orang yang seperti
itu,” katanya sembari tersenyum membayangkan pengalamannya itu
Dengan 40 keruntung yang
dimilikinya, Yus memang sedikitnya dipastikan mengatongi Rp 80.000 sehari. Meski demikian, dia tidak
meninggalkan profesinya. Dengan keruntung andalannya, Yus tetap berkutat di
Pasar 16 Ilir. “Paling tidak, saya masih tetap bisa mengontrol
keruntung-keruntung saya,” kilah Yus yang ditemui habis mendapat borongan
mengangkat kelapa sebanyak satu perahu dan mendapat bayaran Rp 15.000.
Ditanya soal profesinya,
Yus mengaku tidak malu. Baginya, tidak ada kata malu, Yang penting, halal dan
bisa menghidupi anak istri. “Mau kerja yang lain, rasanya saya tak mampu. Cuma
ini yang saya bisa,” ujar Yus yang kini hidupnya cukup mapan. Meski
keruntungnya tak sebanyak dulu lagi. Kini, sebagai bos keruntung, dia pu nyambi
menjadi tukang keruntung. (muhamad
nasir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar