Jumat, 17 Agustus 2012

Tukang Keruntung di Pasar 16 Palembang






Hidup, Bergantung Bahu


Banyak barang bawaan, akan susah berjalan di tengah keramaian pasar. Mau naik becak, Anda berada di kawasan bebas becak. Naik angkot, tak ada trayek yang bisa mengantarkan Anda ke tempat tujuan. Soalnya, lorong-lorong pasar sempit dan begitu sumpek. Nah, ada satu pilihan, tukang keruntung. Barang apa pun, kalau Anda berada di Pasar 16 Ilir Palembang, bisa diangkut tukang keruntung. Lelaki yang biasanya akan menawari semua orang yang terlihat mengalami persoalaan dengan barang bawaan, apakah itu barang belanjaan ataupun barang jenis apapun yang memang perlu diangkut. Tarifnya? Bisa berdamai. Selama bulan puasa pun, mereka justru seakan terus bertambah jumlahnya.


Memang tidak ada angka pasti mengenai jumlah tukang keruntung, penjual jasa mengangkut barang menggunakan keruntung (keranjang terbuat dari rotan, pen), yang menggantungkan hidupnya di pasar 16 Ilir Palembang. Namun, saat di Pasar 16 Ilir masih ada Pasar Pagi, sedikitnya ada sekitar 500 tukang keruntung yang berkompetisi merebut  pembeli jasa. Begitupun sejak kapan mereka mulai tumbuh, tak ada yang tahu pasti. Yang jelas, menurut informasi yang diperoleh keberadaan tukang keruntung ini telah ada seiring hadirnya Pasar 16 Ilir yang terletak di bawah dan seputaran Jembatan Ampera tahun 1970-an. 

Dengan keruntung milik sendiri ataupun sewaan, para tukang keruntung ini  memulai aktivitasnya beragam. Ada yang  mulai sejak pukul 02.00 WIB dini hari. Ada pula yang mulai sejak pukul 10.00 WIB. Dan ada pula yang memulai aktivitasnya pada sore hari. Begitupun dengan berakhirnya aktivitasnya, juga bervariasi. Ada yang masih pagi sudah berada di rumah, dan ada pula yang sampai dini hari ternyata masih juga terlihat di seputaran Pasar 16.

Modal untuk menjadi tukang keruntung memang tidak begitu besar. Cukup dengan  uang Rp 40.000 dan tenaga yang kuat, terutama bagian bahu, maka siaplah seseorang menjadi tukang keruntung. Uang modal ini, digunakan untuk membeli keruntung di Pasar 4 Ulu, seberang Sungai Musi. Sementara tenaga dibutuhkan untuk menyangga keruntung berisi barang milik pembeli jasa.

Namun bila tidak punya uang Rp 40.000,  bukan berarti tidak bisa menjadi tukang keruntung. Karena di Pasar 16 ada sedikitnya 50 tauke keruntung yang menyewakan keruntungnya. Setoran  yang ditetapkan, antara Rp 2.000 hingga Rp 2.500 per hari (hampir sama dengan setoran becak).    

Untuk jadi tukang keruntung, juga tidak diperlukan penampilan. Cukup dengan ‘pakaian dinas’ berupa baju jenis apa saja dan celana, pendek ataupun panjang, plus handuk pengelap keringat, maka tugas pun siap dilaksanakan. 

Bila sudah siap, tinggal negosiasi dengan pemakai jasa. Kalau sepakat, maka barang milik pelanggan pun di masukkan ke keruntung dan pemilik barang biasanya berjalan di belakang tukang keruntung.  Penentuan tarif ini, tidak aturan khusus. Menurut Usman (35) dan Yus (40), yang beroperasi untuk mengangkat barang-barang kering, berupa berang belanja seperti pakaian ataupun barang-barang elektronik, untuk menentukan tarif bergantung berat dan jenis  barang, juga  jarak yang akan ditempuh.  Namun untuk tarif barang tertentu berupa daging, sayur ataupun ikan,  sudah ada ketentuan tersendiri.


Ikan patin, misalnya, satu kali angkat dari mobil ke penyimpanan ikan disepakati Rp 1.000. Kalau ada mobil ikan datang, maka tukang keruntung langsung mendekat dan siap mengangkat. Tak perlu negosiasi lagi. Begitu juga dengan daging. Pedagang daging  siap  membayar upah angkut barangnya  Rp 1.500 dari  becak atau angkot ke los/petak dagangannya. Hal yang sama juga ditemui di jenis angkutan sayur.

Dengan keruntung yang digantung di bahu dan diletakkan di punggung, tukang keruntung biasanya bergerak cukup lincah di sela-sela sesaknya penghuni pasar.

Biasanya, pemilik barang, memanfaatkan jasa tukang keruntung untuk mengangkat barangnya dari  pelabuhan motor boat dari pinggir Sungai Musi yang memang di sisi Pasar 16 Ilir ke pasar atau ke angkutan kota (angkot).  Atau ada juga mereka yang habis berbelanja di pasar ke angkot. Bahkan ada juga yang dari angkot yang satu ke angkot yang lain. Pokoknya, bergantung keperluan, dan juga bisa tidaknya barang diangkut sendiri oleh pemilik barang.

Kehadiran tukang keruntung memang nyaris tanpa pesaing. Habis, mereka bekerja di sela-sela pasar yang  tidak bisa dilewati becak ataupun angkot.. Mungkin, yang menjadi saingan hanya sesama tukang keruntung saja. Namun, ini bagimereka tidak dirasakan sebagai saingan. Karena mereka ternyata sudah punya kode etik sendiri, yang sadar ataupun tidak, tidak akan dilanggar
          Kode etik ini misalnya, tidak saling serobot. Kecuali kalau sudah batal dengan rekan yang lain. Soal wilayah, tidak ada pembatasan. Dimanapun,  bisa beroperasi. Juga, tak  wilayah yang terlarang. Artinya, tidak ada daerah bebas tukang keruntung, seperti halnya daerah bebas becak.
          Penghasilan tukang keruntung, bergantung rezeki. Tak ada seorang pun  tukang keruntung yang mengaku tahu pasti berapa penghasilan tetapnya sehari. Paling tidak mereka sedikitnya biasanya mendapatkan uang Rp 10.000. Itu kalau lagi apes. Namun kalau lagi tak bernasib, ada juga yang hanya mendapat Rp 5.000.     Meski demikian, terkadang ada juga kalanya mereka bisa mengantongi Rp 70.000 dalam satu hari.
          Memang, profesi tukang keruntung tidak membutuhkan  syarat-syarat yang berat. Namun demikian, hidup mereka bergantung kepada bahu. Bagaimana kekuatan bahu mereka untuk menyangga keruntung yang telah disesaki barang. 


Berkurang

Seiring dipindahkannya Pasar Pagi 16 Ilir ke Pasar Induk Jakabaring, jumlah tukang keruntung menyusut tajam. Kini, jumlahnya palig banyak 50 orang. Jam bekerjanya pun berubah. Kalau dulu ada yang mulai dini hari hingga matahari terbit, melayani pedagang sayur. Ata pagi hingga sore hari, kni tak ada pilihan. Hanya bisa beroperasi pagi hingga sore hari. Karena tak ada aktivitas lagi di Pasar 16 saat dini hari hingga pagi.
Rezeki pun berkurang, dan tukang keruntung pun menyusut. (muhamad nasir)


Di Desa Punya Angkot dan Motor Ojek

          Rusidi (39), adalah seorang tukang keruntung yang memulai aktivitas tak menentu. Terkadang pagi hari. Waktu lain, sore hari. Di lain hari,  malam hari dia baru   keluar dari rumah. “Dak tentu Mas. Bergantung ikan yang datang. Juga, sir-siran (kehendak hati, red),” ujar lelaki yang mengaku baru sekitar tiga tahun menggeluti profesi itu.  
          Suami dari Ayu Lestari yang telah memberinya empat anak, yang sulung telah duduk di kelas tiga SLTA dan bungsu baru berumur satu tahun, menuturkan bahwa profesi yang digelutinya cukup membuatnya tenang. Penghasilannya lumayan, jam kerjanya juga terserah kita. “Kita tidak diperintah-perintah. Kalau kita berkenan, kerjakan. Tidak, ya tinggalkan,” aku lelaki yang merantau di Palembang sejak tahun 1980 ini.
          Lelaki bertubuh kekar dengan kulit terbakar matahari ini, saat ini tinggal bersama istri dan anak bungsunya di Lr Semeru Kelurahan  Tuan Kentang, Kecamatan 1 Ulu Palembang.  Sementara tidak anaknya yang lain tinggal bersama orang tuanya. “Anak-anak saya di Desa Mas. Desanya Bumi Ayu, Jawa Tengah.   Di sana, sebenarnya saya punya angkot dan motor ojek. Dari penghasilan itulah, saya menyekolahkan anak-anak,” ujar Rusidi yang ditemui sedang istirahat.
          Diakui tukang keruntung yang pernah menjalani berbagai profesi di beberapa daerah ini, memang angkot dan ojek bukan didapatnya dari profesinya sekarang ini. Tapi menurutnya, paling tidak selama tiga tahun ini dia merasa  cukup. Meski demikian, dia tetap tinggal di rumah sewaan yang kecil yang muat untuk istri dan anak bungsunya.    Sebelum menjalani tugas sebagai tukang keruntung, memang Rusidi ternyata pernah menjadi sopir angkot di Jakarta. Juga bekerja sebagai tukang bangunan. 
Lelaki yang menjalani profesi tukang keruntung mengangkat ikan patin ini menceritakan bahwa dalam sehari, penghasilannya cukup lumayan. Kalau lagi banyak ikan,  bisa mencapai Rp 70.000. Tapi kalau lagi sepi, paling-paling  Rp 20.000. “Tapi itu, Mas. Badan kotor dan bau. Soalnya, ikan yang diangkat kan basah. Airnya mengalir ke tubuh. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana jadinya,” tambah Rusidi yang jam kerjanya terkadang pagi hari, terkadang sore, tak jarang malam, bahkan dini hari.
Tapi, biasanya Rusidi dan kawan-kawan tahu  jadwal kapan ikan adatang. Jadi,  pas jadwal itulah, biasanya kami siap di tempat. Sedikitnya ada sekitar 200 tukang keruntung yang mengangkat ikan. Mereka, biasanya jarang beroperasi dalam waktu bersamaan. Paling-paling yang bersamaan, terlihat sekitar 50 orang.  
           

Punya 40 Keruntung
          Yus, lengkapnya Yus Iskandar  (45), menggeluti profesinya sejak tahun 1985. Berbagai pengalaman telah dilaluinya. Dari pengalaman pahit sampai yang menyenangkan. Pahitnya, pernah diminta mengganti televisi hitam putih yang diangkatnya, akibat dia terpeleset dan televisi itupun rusak. “Selain dimarah-marah, saya juga disuruh mengganti. Gimana tidak sakit. Padahal, saat itu saya tidak punya tivi . Jadinya, saya keluar duit, tapi barangnya tidak dimiliki,’ cerita, lelaki asal  Serang ini.
          Masih untung, menurut Yus Iskandar yang anak sulungnya saat ini hampir tamat S-1 di perguruan tinggi negeri di Palembang dan anak keduanya kuliah di perguruan tinggi swasta, saat itu ternyata televisi itu masih bia diperbaiki. Tapi, ya itu, biayanya cukup besar karena kerusakannya cukup parah.
          Tapi, itu bagi Yus yang saat ini berkat keuletannya sempat memiliki 40 keruntung yang disewakan, menjadi pelajaran yang paling berharga. “Saya jadi berhati-hati dan juga sangat memperhitungkan kalau mengangkat barang-barang berharga. Tapi bukan berarti tidak mengangkat barang berharga,” akunya.
          Pengalaman yang menyenangkan, sering menemui pemilik barang yang baik hati. Terkadang memberi uang lebih. Meski telah ditampik, masih saja memasukkan uang ke kantong. “Saat itulah, rasanya saya sangat dihargai. Ternyata, masih ada orang yang seperti itu,” katanya sembari tersenyum membayangkan pengalamannya itu            
Dengan 40 keruntung yang dimilikinya, Yus memang sedikitnya dipastikan mengatongi  Rp 80.000 sehari. Meski demikian, dia tidak meninggalkan profesinya. Dengan keruntung andalannya, Yus tetap berkutat di Pasar 16 Ilir. “Paling tidak, saya masih tetap bisa mengontrol keruntung-keruntung saya,” kilah Yus yang ditemui habis mendapat borongan mengangkat kelapa sebanyak satu perahu dan mendapat bayaran Rp 15.000.
          Ditanya soal profesinya, Yus mengaku tidak malu. Baginya, tidak ada kata malu, Yang penting, halal dan bisa menghidupi anak istri. “Mau kerja yang lain, rasanya saya tak mampu. Cuma ini yang saya bisa,” ujar Yus yang kini hidupnya cukup mapan. Meski keruntungnya tak sebanyak dulu lagi. Kini, sebagai bos keruntung, dia pu nyambi  menjadi tukang keruntung. (muhamad nasir)
         





















































Tidak ada komentar: