PALEMBANG - Menjelang peringatan kemerdekaan RI 17 Agustus, pedagang telok abang mulai marak di Palembang. Sepintas tak ada beda telok abang kini dan sebelumnya. Namun kalau diteliti, ternyata sangat jauh bedanya.
Mainan yang terbuat dari bahan utama kayu gabus ini dibentuk berbagai rupa miniatur, ada kapal layar, pesawat terbang, becak, jembatan Ampera, atau bentuk-bentuk lainnya. Dulu di atas miniatur itu digantungkan telur berwarna merah.
Bisa telur ayam negeri atau telur bebek yang diberi warna merah sumba sehingga namanya disebut telok abang yang artinya telur merah.
Kini, mungkin untuk menyiasati mahalnya harga telur menjelang Lebaran, mainan ini tidak lagi dilengkapi dengan telur. Meski demikian, masyarakat Palembang, terutama anak-anak tetap meminatinya.
“Tanpa telur pun tak apa karena telurnya pun kami ragu mau memakannya,” ujar Ny Romlah yang menemani anaknya membeli telok abang di Jalan Merdeka, Palembang.
Meski tanpa telur, Ny Romlah membayar miniatur perahu yang diincar anaknya dengan harga yang relatif sama dengan harga tahun lalu. “Rasanya tahun lalu saya membelinya Rp 20.000 dengan telur, sekarang tanpa telur juga sama,” ujarnya.
Biasanya momen penjualan telok abang memang mendekati peringatan 17 Agustus, harganya berkisar Rp 15.000-50.000. Bahkan untuk yang ukuran agak besar dan pembuatannya agak rumit, bisa mencapai Rp 150.000.
"Yang harganya mencapai Rp 150.000, misalnya, miniatur Jembatan Ampera dan kapal layar karena membuatnya agak rumit dan memakan waktu cukup lama," ujar Ismail, seorang perajin.
Ismail tidak sendirian. Sedikitnya ada 200-an perajin serupa yang memanfaatkan momen peringatan hari kemerdekaan RI. Kegiatan ini menjadi usaha rumahan warga Palembang yang umumnya merupakan pengusaha kecil dengan modal yang minim. Setahun sekali mereka mendapatkan rezeki, selebihnya momen lainnya juga dimanfaatkan, seperti saat tahun tahun baru dengan membuat terompet.
Ismail mengatakan, sedikitnya ia bisa menghasilkan 500-700-an unit mainan telok abang per hari. Dia tidak menjajakan, tetapi menitipkan kepada penjual yang biasanya memajang dagangannya di pinggir jalan.
Makin Meningkat
Seiring pelaksanaan 17 Agustus yang biasanya diramaikan dengan perlombaan perahu hias dan perlombaan kecepatan mendayung perahu di Sungai Musi, penjualan telok abang pun semakin meningkat. Setiap tahun, selama Agustus barang-barang bekas berupa kardus dan kayu gabus yang dipadu dengan kertas berwarna cerah lainnya telah mendatangkan rezeki tersendiri bagi warga Palembang.
Ismail memang terpaksa melakukan berbagai manuver agar usahanya tetap jalan, terutama menyiasasi sulitnya mendapatkan kayu gabus atau harga telur yang ikut membumbung menjelang Lebaran.
“Itulah risikonya kalau peringatan kemerdekaan bersamaan dengan bulan puasa dan menjelang Lebaran. Salah satunya, telok abang pun dikorbankan tanpa telur. Beruntung, pembeli tak begitu mempersoalkan ada atau tidaknya telur di mainan itu,” ujar Ismail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar