Kayuagung: Tradisi midang memang masih terus lestari. Hanya saja, kini
tradisi ini tak lagi jadi ajang mencari jodoh. Meski demikian, Midang yang digelar
hari ke-3 dan ke-4 Lebaran Idul fitri tetap diminati warga Kayuagung, Ogan Komering
Ilir (OKI).
Musik tanjidor dengan lagu-lagu nostalgia tampak mengantarkan ratusan
pasang bujang gadis Kayuagung Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera
Selatan (Sumsel), berkeliling kota
Kayuagung.
Bupati OKI, H Ishak Mekki menyebutkan, midang merupakan suatu tradisi
yang digelar masyarakat Kota Kayuagung, khususnya sembilan marga atau morge siwe
yang dikenal masyarakat luar sebagai midang.
Midang Morge Siwe ini diartikan juga sebagai “Karnaval Sembilan Marga”.
Menurut dia, sembilan marga asli Kayuagung tersebut yakni Dusun Kayuagung Asli,
Dusun Perigi, Dusun Kotaraya, Dusun Kedaton, Dusun Jua-Jua, Dusun Sidakersa,
Dusun Mangunjaya, Dusun Paku, dan Dusun Sukadana.
“Midang ini merupakan suatu rangkaian adat perkawinan Mabang Handak
(burung putih) yang merupakan adat perkawinan tertinggi di kalangan masyarakat
Kayuagung yang dilaksanakan oleh mereka-mereka yang tergolong dalam keluarga
pesirah atau keluarga Keratin,”kata Ishak Mekki.
Dia menjelaskan, pada zaman dahulu, midang ini merupakan suatu bagian
dari adat perkawinan Kayuagung, di mana para peserta midang adalah para bujang
dan gadis marga Kayuagung.
Tujuan midang ini adalah memperlihatkan kepada masyarakat umum agar
mengetahui budaya dan adat Kayuagung. “Jika ada yang seorang bujang luar
menyukai gadis Kayuagung dan terpikat ingin meminangnya, dia (bujang) itu dapat
melamarnya dengan mengikuti semua adat istiadat perkawinan Kayuagung, seperti
melaksanakan midang ini,” ungkapnya.
Hanya saja, untuk melaksanakan pesta perkawinan sesuai adat istiadat
tidaklah mudah. Selain biayanya besar, juga cukup sulit. Karenanya, tradisi
midang ini dimaksudkan untuk melestarikan adat istiadat tersebut.
Bupati juga juga menyadari pergeseran tradisi midang di mata
remaja-remajanya. Baginya, itu tak masalah. Yang penting, para remaja itu tetap
suka menyaksikan dan sebagian ikut midang. Dan pemerintah tetap memberikan
perhatian sehingga kegiatan ini bisa dilaksanakan setiap tahun. ”Orang muda, kan wajar kalau juga
mengikuti perkembangan dan tren. Dari midang ini, mereka juga masih bisa
menyaksikan musik tradisional tanjidor,” ujarnya.
Bergeser
Kemajuan teknologi komunikasi tampaknya telah mempengaruhi para remaja
di Kayuagung, Ogan Komering Ilir (OKI) dalam mencari jodoh. Mereka kini telah
sangat akrab dengan jejaring sosial layaknya remaja perkotaan seperti,
Friendster, Twitter, maupun Facebook.
Pasangan muda-mudi yang berasal berbagai kecamatan di Kabupaten Ogan
Komering Ilir (OKI), Sumsel, memang mengikuti arak-arakan keliling Kota
Kayuagung. Tradisi midang ini dilaksanakan pascalebaran setiap tahunnya.
Kayuagung berjarak sekitar 100 km dari ibukota Provinsi Sumsel, Palembang. Atau ditempuh
selama 1,5 jam perjalanan melewati Jalintim dari Palembang ke arah Lampung. Seperti
tahun-tahun sebelumnya, tahun ini midang mendapat sambutan antusias oleh gadis
dan bujang Kayuagung. Kegiatan midang diikuti sekitar lima kelurahan di Kota Kayuagung, yaitu
Kelurahan Sidakersa, Kedaton, Kutaraya, Perigi, dan Kayuagung Asli. Para peserta midang ini berjalan menyusuri sepanjang
jalan di pinggir Sungai Ogan. Mereka melewati Kelurahan Sukadana, Paku,
Mangunjaya, Cintaraja, Sidakersa, dan Kelurahan Jua-Jua.
Hanya saja, mereka mengaku tak lagi menjadikan ajang ini untuk mencari
calon pasangan hidup. ”Wah, kayaknya idak (tidak). Kalau mau cari teman lebih
enak melalui internet,” ujar Efendi, remaja di Kayu agung yang tampak sibuk
mengutak-atik handphone 3G-nya.
Tampak memang, sembari menyaksikan iring-iringan midang, para remaja
sibuk dengan handphone masing-masing. Rupanya, mereka berinternet ria.
Sementara, para peserta midang yang mengenakan pakaian adat menyeberang
ke Kelurahan Kedaton, Kotaraya, Perigi. Dalam arak-arakan ini sepasang
muda-mudi dinaikkan ke atas juli (tandu yang dihiasi). Bemacam-macam bentuk
juli ini, ada yang berbentuk burung, ada yang berbentuk mobil, bahkan ada juga
yang berbentuk singgasana raja.
Pada zaman kolonial Belanda, para peserta Midang ini harus melewati
pendopoan sebagai bentuk tanda pengontrolan para petinggi Kolonial Belanda.
Makanya midang saat ini pun peserta midang harus melintas di depan pendopoan,
di hadapan pada pejabat dan tetua serta tokoh masyarakat.
Di pendopoan telah menunggu Bupati OKI Ir H Ishak Mekki,Ketua sementara
DPRD OKI HM Yusuf Mekki, Ketua TP PKK OKI Hj Tartila Ishak, beserta unsur
Muspida lainnya.
Walaupun hanya dilaksanakan
setahun sekali, antusias masyarakat untuk mengikuti dan menyaksikan midang ini
cukup tinggi. Terbukti, banyak masyarakat yang berbondong-bondong berdatangan
ingin menonton kegiatan tersebut. Akibatnya, jalanan yang dilalui pawai midang
menjadi macet.(sh/muhamad nasir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar