Rabu, 22 Agustus 2012

Midang Bukan Lagi Ajang Mencari Jodoh




Kayuagung: Tradisi midang memang masih terus lestari. Hanya saja, kini tradisi ini tak lagi jadi ajang mencari jodoh. Meski demikian, Midang yang digelar hari ke-3 dan ke-4 Lebaran Idul fitri tetap diminati warga Kayuagung, Ogan Komering Ilir (OKI).

Musik tanjidor dengan lagu-lagu nostalgia tampak mengantarkan ratusan pasang bujang gadis Kayuagung Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel), berkeliling kota Kayuagung.

Bupati OKI, H Ishak Mekki menyebutkan, midang merupakan suatu tradisi yang digelar masyarakat Kota Kayuagung, khususnya sembilan marga atau morge siwe yang dikenal masyarakat luar sebagai midang.

Midang Morge Siwe ini diartikan juga sebagai “Karnaval Sembilan Marga”. Menurut dia, sembilan marga asli Kayuagung tersebut yakni Dusun Kayuagung Asli, Dusun Perigi, Dusun Kotaraya, Dusun Kedaton, Dusun Jua-Jua, Dusun Sidakersa, Dusun Mangunjaya, Dusun Paku, dan Dusun Sukadana.

“Midang ini merupakan suatu rangkaian adat perkawinan Mabang Handak (burung putih) yang merupakan adat perkawinan tertinggi di kalangan masyarakat Kayuagung yang dilaksanakan oleh mereka-mereka yang tergolong dalam keluarga pesirah atau keluarga Keratin,”kata Ishak Mekki.

Dia menjelaskan, pada zaman dahulu, midang ini merupakan suatu bagian dari adat perkawinan Kayuagung, di mana para peserta midang adalah para bujang dan gadis marga Kayuagung.

Tujuan midang ini adalah memperlihatkan kepada masyarakat umum agar mengetahui budaya dan adat Kayuagung. “Jika ada yang seorang bujang luar menyukai gadis Kayuagung dan terpikat ingin meminangnya, dia (bujang) itu dapat melamarnya dengan mengikuti semua adat istiadat perkawinan Kayuagung, seperti melaksanakan midang ini,” ungkapnya.

Hanya saja, untuk melaksanakan pesta perkawinan sesuai adat istiadat tidaklah mudah. Selain biayanya besar, juga cukup sulit. Karenanya, tradisi midang ini dimaksudkan untuk melestarikan adat istiadat tersebut.

Bupati juga juga menyadari pergeseran tradisi midang di mata remaja-remajanya. Baginya, itu tak masalah. Yang penting, para remaja itu tetap suka menyaksikan dan sebagian ikut midang. Dan pemerintah tetap memberikan perhatian sehingga kegiatan ini bisa dilaksanakan setiap tahun. ”Orang muda, kan wajar kalau juga mengikuti perkembangan dan tren. Dari midang ini, mereka juga masih bisa menyaksikan musik tradisional tanjidor,” ujarnya.

Bergeser

Kemajuan teknologi komunikasi tampaknya telah mempengaruhi para remaja di Kayuagung, Ogan Komering Ilir (OKI) dalam mencari jodoh. Mereka kini telah sangat akrab dengan jejaring sosial layaknya remaja perkotaan seperti, Friendster, Twitter, maupun  Facebook.

Pasangan muda-mudi yang berasal berbagai kecamatan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel, memang mengikuti arak-arakan keliling Kota Kayuagung. Tradisi midang ini dilaksanakan pascalebaran setiap tahunnya.

Kayuagung berjarak sekitar 100 km dari ibukota Provinsi Sumsel, Palembang. Atau ditempuh selama 1,5 jam perjalanan melewati Jalintim dari Palembang ke arah Lampung. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini midang mendapat sambutan antusias oleh gadis dan bujang Kayuagung. Kegiatan midang diikuti sekitar lima kelurahan di Kota Kayuagung, yaitu Kelurahan Sidakersa, Kedaton, Kutaraya, Perigi, dan Kayuagung Asli. Para peserta midang ini berjalan menyusuri sepanjang jalan di pinggir Sungai Ogan. Mereka melewati Kelurahan Sukadana, Paku, Mangunjaya, Cintaraja, Sidakersa, dan Kelurahan Jua-Jua.

Hanya saja, mereka mengaku tak lagi menjadikan ajang ini untuk mencari calon pasangan hidup. ”Wah, kayaknya idak (tidak). Kalau mau cari teman lebih enak melalui internet,” ujar Efendi, remaja di Kayu agung yang tampak sibuk mengutak-atik handphone 3G-nya.

Tampak memang, sembari menyaksikan iring-iringan midang, para remaja sibuk dengan handphone masing-masing. Rupanya, mereka berinternet ria.

Sementara, para peserta midang yang mengenakan pakaian adat menyeberang ke Kelurahan Kedaton, Kotaraya, Perigi. Dalam arak-arakan ini sepasang muda-mudi dinaikkan ke atas juli (tandu yang dihiasi). Bemacam-macam bentuk juli ini, ada yang berbentuk burung, ada yang berbentuk mobil, bahkan ada juga yang berbentuk singgasana raja.

Pada zaman kolonial Belanda, para peserta Midang ini harus melewati pendopoan sebagai bentuk tanda pengontrolan para petinggi Kolonial Belanda. Makanya midang saat ini pun peserta midang harus melintas di depan pendopoan, di hadapan pada pejabat dan tetua serta tokoh masyarakat.

Di pendopoan telah menunggu Bupati OKI Ir H Ishak Mekki,Ketua sementara DPRD OKI HM Yusuf Mekki, Ketua TP PKK OKI Hj Tartila Ishak, beserta unsur Muspida lainnya.

 Walaupun hanya dilaksanakan setahun sekali, antusias masyarakat untuk mengikuti dan menyaksikan midang ini cukup tinggi. Terbukti, banyak masyarakat yang berbondong-bondong berdatangan ingin menonton kegiatan tersebut. Akibatnya, jalanan yang dilalui pawai midang menjadi macet.(sh/muhamad nasir)







Tidak ada komentar: