Palembang:
Kasus perkosaan dan kekerasan seksual serta kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mendominasi pelanggaran
hukum anak dan wanita Sumsel sepanjang 2011.
Women’s Crisis Centre (WCC) mencatat, kasus perkosaan dan kekerasan seksual
mencapai angka 156 kasus.
Jumlah tersebut sedikit lebih banyak dibandingkan kasus kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT), yakni 133 kasus.
Total kasus yang mendapat pendampingan jauh lebih banyak jumlahnya,
yaitu 386 kasus. Adapun kasus kekerasan dalam berpacaran 52 kasus, dan
perdagangan perempuan dan anak 11 kasus serta kekerasan lainnya 34 kasus.
Menurut Direktur Eksekutif WCC Yeni Roslaini Izi Jumat (30/12) ,kasus
kekerasan seksual yang terjadi itu meliputi perkosaan,pelecehan seksual,
penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, intimidasi/ serangan bernuansa
seksual, dan pemaksaan aborsi.
Jika diklasifikasi lagi, perempuan dan anak korban kekerasan sebagian
besar mengalami dua atau lebih dari dua jenis kekerasan (fisik, psikis, seksual
& tekanan ekonomi).
Kekerasan secara fisik seperti luka, cacat permanen hingga kematian.
Sedangkan kekerasan seksual seperti kehamilan yang tidak dikehendaki, tertular
penyakit IMS & HIV/Aids, trauma seksual.
Sementara, untuk kekerasan psikis yang dialami korban, biasanya seperti
trauma, stres berat sampai mengalami gangguan kejiwaan.
Sementara itu,pengamat sosial dari FISIP Unsri Prof KM Sobri
menyatakan,tingginya kasus tersebut dipengaruhi banyak faktor, baik internal
maupun eksternal.
Khusus eksternal, faktor yang memengaruhi bisa dari kecanggihan
teknologi dan informasi, baik internet maupun tayangan televisi. Selain itu,
perubahan gaya hidup dan berpakaian ikut memengaruhi.“ Jadi, langkah preventif
yang harus dilakukan adalah dengan memperketat pengawasan dan kontrol sosial.
Semua pihak harus dilibatkan dalam hal ini,termasuk Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI),” tandasnya
Kampanye
Yeni melanjutkan, pada 2011–2014, WCC Palembang bersama mitra terkait
juga telah bersepakat mengampanyekan masalah kekerasan seksual dengan tema
“Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani”. Sebagai langkah awal, WCC Palembang
telah melakukan sosialisasi dan melatih guru-guru bimbingan serta aktivis
kampus dan sekolah di beberapa perguruan tinggi dan SMA/ SMK negeri sederajat
di Kota Palembang.
Bahkan,pada 2012 direncanakan dilakukan road show ke sejumlah sekolah
di Kota Palembang, menyosialisasikan permasalahan kekerasan pada perempuan dan
anak ini.
Respon Rendah
Kendati secara faktual besaran kasus yang ada menunjukkan jumlah yang
tinggi, respons masyarakat dan negara (pemerintah) atas masalah ini masih jauh
dari harapan. Begitu pun tindakan (kebijakan, program,kelembagaan dan anggaran)
yang dijalankan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, juga dinilai masih sangat
lemah dan lamban.
“Sampai saat ini tidak ada kebijakan/regulasi yang kuat dan tepat di
provinsi maupun kabupaten/kota untuk mempercepat penghapusan kekerasan dan memaksimalkan
perlindungan korban. Begitu juga shelter atau rumah aman bagi perempuan dan
anak korban kekerasan yang difasilitasi pemerintah daerah, sejauh ini belum
ada,”ujarnya.
Akibat kondisi ini, para perempuan dan anak korban kekerasan di
Provinsi Sumatera Selatan terus mengalami hambatan serius untuk mendapatkan
berbagai bentuk layanan hak asasinya.Agar masalah ini tidak makin
berkelanjutan, WCC Palembang mendesak Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan agar
segera mengambil langkah-langkah tepat sebagai solusi.
Misalnya, dengan mengalokasikan anggaran yang memadai untuk mendukung
perlindungan hak asasi korban serta merealisasikan kebijakan yang tepat dan
kuat, serta menyosialisasikan dan menjalankan perdaperlindunganperempuan dan
anak yang sudah ada. “Yang penting juga adalah, meningkatkan status kelembagaan
yang memiliki kewenangan pemberdayaan dan perlindungan perempuan dan anak baik
di provinsi maupun kabupaten/kota di Sumatera Selatan,”tukasnya. (sir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar